Ironi Industri Kreatif: Seniman Freelance dalam Bayang-Bayang Eksploitasi

Ilustrasi: Katrin

Bayangkan menjadi seorang seniman penuh mimpi dan ambisi, lalu bergabung di sebuah studio seni dengan balutan nama ‘komunitas’ yang memberi tawaran pekerjaan, kesempatan untuk mengembangkan skill, dan portofolio ciamik. Namun, semua itu hanya iming-iming belaka. Nyatanya yang didapat hanyalah stres dan tekanan karena pekerjaan hingga burn out tanpa gaji yang setimpal.

Pada pertengahan Maret 2025 lalu, sebuah isu tentang eksploitasi ilustrator oleh salah satu makelar studio di Semarang tiba-tiba mencuat di media sosial. Awalnya, salah seorang digital artist di X membagikan postingan berisi peringatan kepada para ilustrator agar menghindari lowongan pekerjaan ilustrator yang bertempat di Semarang. Pada unggahannya, pemilik akun tersebut berbagi pengalamannya yang pernah dieksploitasi saat bekerja di salah satu studio di bawah naungan JRUHUB (Jaringan Rumah Usaha)—sebuah komunitas berbasis kewirausahaan yang yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) di bidang visual dan digital.

Tanpa menunggu waktu lama, unggahan tersebut langsung bisa menarik para ilustrator lain dengan pengalaman yang sama untuk angkat bicara. Banyak dari mereka yang bekerja sebagai ilustrator magang dan pekerja harian lepas dengan durasi kerja layaknya pekerja tetap (fulltimer). 

Pekerja harian lepas yang selanjutnya disebut freelancer pada hakikatnya adalah pekerja yang tidak terikat kontrak kerja dengan suatu perusahaan atau lembaga. Maka dari itu, freelancer juga seharusnya tidak terikat pada jam kerja, dengan kata lain, freelancer dapat bekerja dengan waktu yang fleksibel walau tetap memiliki tenggat waktu. Apalagi dalam hal ini adalah seorang seniman yang tentu membutuhkan waktu ekstra karena proses berkarya yang tidak mudah. Namun, daripada bekerja secara fleksibel, mereka memiliki garis waktu (timeline) untuk bekerja dari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore dengan mengerjakan 5–8 proyek dan semua proyek yang sedang dikerjakan harus selesai saat itu juga.

Dengan sistem kerja seperti itu, gaji yang diterima juga terbilang jauh dari Upah Minimum Regional (UMR). Tercatat pada tahun 2025, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Semarang berada pada nominal Rp 3.454.827. Pemilik akun tidak menyebutkan secara jelas berapa gaji yang ia terima, tetapi berdasarkan pengakuan dari beberapa orang yang angkat bicara, seniman sebagai pekerja magang hanya diberi royalti sebesar Rp200.000–Rp300.000 dari harga karya yang dijual dengan nilai jutaan. Berdasarkan pasal 90 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Magang memang berfokus pada pelatihan kemampuan, tetapi bukan berarti tidak mendapat apresiasi, apalagi jika sampai dipekerjakan layaknya karyawan tetap.

Jika pekerja magang yang memiliki kontrak kerja saja hanya diberi royalti sebesar Rp200.000–Rp300.000 untuk karya mereka, bagaimana dengan para seniman pekerja lepas yang tidak terikat dengan kontrak kerja? Memandang hal tersebut, sepatutnya ada regulasi hukum kuat yang mengatur tentang pekerja lepas atau freelancer tanpa ikatan kontrak kerja, terutama bagi seniman. Jika tidak, seniman pekerja lepas akan selalu menjadi sasaran empuk eksploitasi karena posisinya tidak dilindungi. Terlebih, seniman memiliki kerentanan untuk dieksploitasi karena passion mereka dapat dijadikan sebagai alasan, yang mana dalam kasus ini, studio-studio di bawah JRUHUB seringkali “meyakinkan” pekerja seninya kalau mereka harus fokus pada pengembangan kemampuan daripada bayaran. Hal tersebut juga hanya akan menambah daftar pendiskreditan terhadap kemampuan seniman yang sebelumnya memang sudah merajalela.

Tekanan yang didapatkan dari adanya timeline pekerjaan juga berdampak pada moral seniman. Para ilustrator mengaku terpaksa membuat karya dari hasil modifikasi Akal Imitasi (AI) agar bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai timeline. Dengan begitu, dapat dilihat bahwa dampak dari eksploitasi seniman sangat besar. Tidak hanya tentang uang dan waktu, tapi juga menjalar ke persoalan lain terkait penggunaan AI dalam industri kreatif.

Selain itu, ilustrator juga dianggap sebagai kasta terendah pekerja di studio sebagai mesin produksi semata. Karya mereka tidak boleh dijadikan portofolio pribadi karena telah menjadi hak milik studio dan klien. Padahal, ilustrator juga masih memiliki hak sebagai pencipta jika ingin menjadikan karyanya sebagai portofolio pribadi. Lain halnya jika karya tersebut dikomersilkan kembali secara pribadi. Ilustrator bahkan mengalami keterbatasan akses informasi seperti tidak adanya transparansi mengenai arus uang dan orderan klien. Hal ini seharusnya juga dapat dipandang sebagai pelanggaran hukum karena sekali lagi, seniman memiliki hak cipta atas karyanya, termasuk persetujuan ketika karyanya akan dijual oleh studio.

Keterbatasan hak seperti itu akan membuat seniman bukannya merasa berkembang, tetapi merasa sia-sia jika hak mereka sendiri tidak bisa mereka dapatkan. Hal ini hanya akan semakin memperlihatkan bagaimana stereotip dan peran seniman yang kurang dipandang masyarakat.

Gerakan yang dilakukan oleh pemilik akun X yang menguak isu ini untuk merangkul kawan-kawan seniman lainnya merupakan tahap awal yang harus didukung agar para seniman lebih berani menyuarakan dan menuntut hak-haknya. Namun, kesadaran dari para seniman untuk menghindari tawaran pekerjaan yang berpotensi untuk dieksploitasi saja tidak cukup. Pemerintah harus membuat regulasi tegas yang mengatur posisi, peran, serta hak pekerja freelance terutama dalam industri kreatif.

Seniman bukan robot produksi yang bisa dipekerjakan seenaknya tanpa bayaran setimpal. Bahkan robot pun membutuhkan energi untuk dapat bekerja, maka sangat disayangkan rasanya kalau manusia diperlakukan dengan tidak lebih baik daripada robot.

Mengutip dari SINDIKASI, berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional pada 2021 (Badan Pusat Statistik, 2022), sebanyak 60,39% pekerja ekonomi kreatif berada dalam sektor informal (freelance). Kalau para pekerja freelance kehilangan “passion”-nya dan meninggalkan industri kreatif karena pengalaman dieksploitasi, ini akan menjadi ancaman baru bagi budaya negara. Industri kreatif akan kehilangan warnanya jika seniman terus dihadapkan dengan kenyataan yang kelabu.

 

Penulis: Lia

Editor: Alena

Referensi:

Dinas Tenaga Kerja Kota Semarang. (2025, 3 Januari). UMK Kota Semarang Tahun 2025. Diakses pada 29 Maret 2025 dari https://disnaker.semarangkota.go.id/artikel/iJwbpZXfWX10l3FPl97ISoU1YsFMcGH2na5kV9hhOlzkgUszu6KCSESKx62eMcXM-T2XzXB33DFBKU5kOHtHUDrEK4IhI7pZPLJoFWm9wm64uvT0SkBoTyaFbZkoLZZNc

Latief, R. Poppy dan Arifanda, D. (2023, 6 April). Maraknya Eksploitasi Pekerja Menghalangi Kondisi Ideal Industrial Peace. Diakses pada 28 Maret 2024 dari https://kaltimtoday.co/maraknya-eksploitasi-pekerja-menghalangi-kondisi-ideal-industrial-peace

Rale. [@0R4LE]. (2025, 13 Maret). X. https://x.com/0R4LE/status/1900160543618744444?t=BqJeo3mRzooGKrMZQqB8bQ&s=19

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

Wilujeng, E. Putri, dkk. (2024). Upah Layak untuk Semua: Model Pengupahan Pekerja Lepas Industri Media dan Kreatif. Jakarta: Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).

https://id.quora.com/Ketika-menyantumkan-portofolio-hasil-karya-di-perusahaan-sebelumnya-apakah-seorang-Desainer-Grafis-harus-meminta-izin-ke-mantan-atasannya-dulu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top