Dok. Hayamwuruk |
Sejumlah elemen warga yang terdiri dari aparat TNI-Polri, warga sekitar dan Organisasi Masyarakat (Ormas) Pemuda Pancasila (PP) mendatangi Asrama Mahasiswa West Papua Semarang di Candi, Kelurahan Candi Sari, Kota Semarang, Minggu (18/08/2019) pagi hari.
Bersama aparat TNI-Polri, sejumlah warga memaksa untuk memasang spanduk yang bertuliskan “Kami warga Kel. Candi, tidak setuju Asrama West Papua digunakan untuk kegiatan yang mengarah pemisahan Papua dari NKRI. Jika hal tersebut diatas dilakukan, kami sepakat menolak keberadaan West Papua di Kelurahan Candi. NKRI HARGA MATI.” Di depan asarama mahasiswa Papua.
Ney Sobolim, anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Semarang, menyampaikan bahwa mahasiswa Papua sudah mencoba berkomunikasi dengan warga dan Muryanto selaku ketua RW 4 untuk menanyakan alasan pemasangan spanduk tersebut. Namun, mereka tetap bersikeras untuk memasangnya.
“Kami menolak pemasangan spanduk dan meminta warga untuk menurunkan spanduk karena mengandung unsur diskriminatif terhadap kami, mahasiswa Papua sebagai orang Papua,” kata Ney.
Ketika ditanyai oleh salah seorang mahasiswa Papua mengapa hanya di depan asrama mahasiswa Papua saja spanduk dipasang, Muryanto membantah, “Kami tidak diskriminasi, karena melakukan (pemasangan spanduk) ini tidak hanya untuk Papua, tapi untuk seluruh (wilayah) warga.”
Perihal diskusi yang beberapa kali diadakan oleh anggota asrama mahasiswa Papua Semarang, Ney mengatakan, “Kami diskusi karena kami sadar akan adanya kolonialisme di Papua. Penjajahan sejak aneksasi wilayah Papua melalui operasi Trikora hingga sekarang,” ujar Ney, saat diwawancarai Hayamwuruk via online.
Buku berjudul Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation karya Richard Chauvel, menjelaskan bahwa peristiwa pengibaran bendera Bintang Fajar dan nyanyin nasional “Hai Tanahku Papua” pada 1 Desember 1961 ini, bahwa pada saat itulah Papua memperoleh kedaulatan kemerdekaan. (Dilansir dari tirto.id, artikel berjudul: Bintang Kejora dari Tanah Papua).
Setelah percobaan mediasi gagal dilakukan, sekitar pukul 11 pagi, ketua RW 4 dan pengurusnya beserta beberapa Ormas memaksa masuk kedalam asrama.
“Mereka meminta dan kumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) penghuni asrama. Setelah itu mereka keluar,” ujar Ney.
Reporter: Airell, Qanish
Penulis: Airell
Editor: Qanish