Dok. Hayamwuruk |
Ratusan mahasiwa Papua yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat Semarang (PRPPBS) gelar demonstrasi pada Sabtu (24/8/2019) di Patung Diponegoro, Peleburan, Semarang sekitar pukul 12.00 siang hari. Aksi ini bertujuan untuk menolak ujaran rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di sejumlah daerah yang bermula saat pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya oleh sejumlah Organisasi Masyarakat (Ormas) dan aparat TNI-Polri.
Sejumlah massa aksi mengenakan pakaian khas Papua: Koteka. Beberapa massa aksi juga mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai tanda pembebasan West Papua.
Massa aksi melakukan longmarch dari asrama West Papua di Jalan Tegalwereng, menuju Jalan Sriwijaya, Jalan Pahlawan, Simpang Lima, dan berhenti di Patung Diponegoro, Peleburan sebagai titik aksi terakhir.
|
Juven Tosh, koordinator PRPPBS mengatakan kepada Hayamwuruk via Whatsapp, bahwa negara Indonesia gagal mengindonesiakan rakyat Papua. Dan hal ini sudah berlangsung sejak Papua masuk ke dalam bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Negara Indonesia hanya merampas, mencuri hasil alamnya saja. Sedangkan manusia Papuanya ditindas, diteror, disiksa, diperkosa oleh TNI/Polri,” ujar Juven.
Laporan Amnesty International Indonesia yang berjudul “Sudah, Kasi, Tinggal Dia Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua”, mengatakan tercatat sejak Januari 2010 sampai Februari 2018, laporan dugaan pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) oleh aparat setempat (Papua dan Papua Barat) telah memakan sebanyak 95 korban jiwa. Dalam 34 kasus, tersangka berasal dari kepolisian, dalam 23 kasus pelaku berasal dari militer, dan dalam 11 kasus kedua institusi keamanan negara ini diduga melakukannya bersama-sama.
Menurut press release-nya, PRPPBS menilai bahwa rasisme, hinaan berupa “Monyet Papua”, merupakan bagian dari penjajahan yang berkepanjangan di West Papua. Penjajahan Indonesia telah mengakibatkan pembantaian terhadap orang Papua dalam rangkaian operasi militer pendudukan kolonial Indonesia. Penjajahan mengakibatkan orang Papua kehilangan sumber produksi, kekayaan alam diambil keluar oleh penjajah dan pemodal, dan menciptakan ketergantungan bagi rakyat West Papua.
Simbol perlawanan yang tertera di lembar akhir press release PRPPBS |
PRPPBS juga menolak otonomi khusus (otsus) dan meminta penentuan nasib sendiri. “Itu (otsus) hanya sebuah nama saja. Realisasi dari otsus itu tidak ada sama sekali dan tidak dirasakan oleh rakyat Papua sejak otsus dikeluarkan tahun 2001,” ujar Juven.
Reporter: Airell
Penulis: Airell
Editor: Qanish