Tolak Tindakan Represif Negara, Teater Emka dan LPM Hayamwuruk Gelar Aksi

Dok. Hayamwuruk
Teater Emka dan LPM Hayamwuruk menggelar aksi berupa teatrikal yang diselenggarakan di Crop Circle, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip). Aksi pada hari Senin (16/9) ini membawa isu mengenai represifitas negara yang sedang marak terjadi akhir-akhir ini.
“Karena isu itu (represifitas negara) dari dulu sampai sekarang masih belum selesai. Dan sekarang itu lagi banyak isu-isu represif yang baru anget. Misalnya di Papua, Papua Barat. Terus juga di Tambakrejo, yang belum lama lah. Terus sama di Kebumen (Petani Urutsewu) yang baru-baru viral. Kenapa akhirnya itu diangkat, karena kita mempertanyakan kebebasan berekspresi. Kenapa ketika kebebasan berekspresi itu ada, tapi tindakan represif juga terus ada, (dilakukan aparat-aparat),” ujar Rian, Ketua Acara.
Aksi dimulai sekitar pukul 1 siang. Sesosok pria terlihat berdiri di atas kursi pada tengah-tengah ornamen pertunjukkan. Ia berteriak, “aaaaaa..” dengan menggunakan megaphone. Kemudian ia turun, dan mengelilingi tempat pertunjukkan. Sosok ini disimbolkan sebagai seseorang yang terus menyuarakan penindasan yang melanda rakyat.
Selanjutnya, disusul dengan perempuan yang berperan sebagai anak-anak dengan kostum baju tidur dan rambut yang dikepang. Ia mengitari tempat pertunjukkan, berusaha mencari anggota tubuh boneka manequin yang terpisah-pisah. Ia mengumpulkannya hingga terbentuk boneka secara utuh. Manequin yang terpisah dan berusaha dikumpulkan ini dilambangkan sebagai demokrasi Indonesia yang telah tercerai-berai.
Di akhir, aktor ketiga dalam teater ini ialah pria bertubuh gempal dengan dandanan topi dan sepatu kulit khas Satpol PP. Ia merangsek masuk dalam pertunjukkan teater, menghancurkan kardus-kardus yang menjadi ornamen, dan mencengkeram sosok pria yang terus berteriak dengan megaphone itu, dan mengikatnya pada kursi dengan lilitan rantai besi.
Rian, Ketua Acara sekaligus pemeran menanggapi salah-satu tindak represif yang dilakukan aparat TNI kepada para petani Urutsewu, Kebumen. Menurutnya, tindak fisik yang dilakukan aparat TNI tidak diperlukan karena masih dapat ditempuh dengan jalur dialog. 
“Kenapa tidak diadakan dialog saja, jika memang mengakui bahwa sistem negara ini demokrasi. Untuk apa kebebasan berpendapat. Dan untuk apa adanya aturan 11 wajib TNI. Itu sih yang perlu disorotin,” tutur Rian saat Hayamwuruk temui pasca pentas berakhir.
Rian pun menyampaikan harapannya agar tindak represifitas tidak lagi terjadi dikemudian hari. 
“Jangan mengaku bahwa negara ini negara yang demokratis, jika orang yang menyampaikan isi pikirannya dan udah diatur di kebebasan berekspresi, malah justru mendapatkan tindak represif. Jangan sampailah itu terjadi, Indonesia sudah banyak luka,” ujarnya.
Acara ini diakhiri dengan diskusi di Joglo Besar FIB dari siang hingga sore hari. Diskusi berjalan dengan banyaknya pertanyaan dan tanggapan yang berkaitan dengan isu represifitas negara kepada rakyat yang dipertontonkan di pertunjukkan.
Reporter: Qanish
Penulis: Qanish
Editor: Airell

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top