
Minggu (27/03/22) Spora Institute menggelar diskusi publik bertajuk “Monopoli Oligarki terhadap Ilmu Pengetahuan” di kanal Zoom. Diskusi menghadirkan Abdil Mughis Mudhoffir (Jurnal IndoProgress), Elvan Dwi Putra (praktisi hukum), dan Ade Indriani Zuchri (Ketua Sarekat Hijau Indonesia) sebagai pemantik.
Diskusi ini digelar sebagai respons pasca dilaporkannya Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti ke polisi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Luhut menampik data dan temuan kedua terlapor yang berkolaborasi dengan berbagai lembaga terkait adanya dugaan keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang dan operasi militer di Papua.
Menurut Abdil Mughis Mudhoffir, kasus Haris-Fatia terjadi karena struktur kekuasaan oligarki yang dominan di pemerintahan. Perlawanan yang belum cukup terorganisir dan signifikan oleh masyarakat menurutnya belum bisa mengimbangi kekuatan tersebut.
“Meskipun ada undang-undang tidak cukup untuk menghalangi kekuatan politik yang dominan untuk memenangkan kepentingan privat mereka. Revisi UU Minerba (Mineral dan Batu Bara) dan UU KPK, itu yang mereka lakukan dengan begitu mudahnya. Kita memang teriak-teriak melawan, tapi perlawanan kita belum cukup terorganisir dan signifikan,” ungkap Abdil.
Kelemahan ini Abdil lihat salah satunya lewat kaum akademisi yang kerap berada di pihak negara dan penguasa. “Masih ada yang bermental pegawai negeri, selalu mengikuti instruksi atasan dan hanya mengabdi pada pemerintah,” ucapnya.
Walaupun menurutnya, masih banyak juga yang mengambil sikap kritis, termasuk saat demonstrasi besar menentang revisi UU KPK dan pengesahan UU Omnibus Law tahun 2019-2020. “Masih banyak aliansi-aliansi akademisi yang menggalang kekuatan bersama dengan elemen lain,” jelasnya. “Itu sudah merupakan awalan yang cukup baik,” tambahnya.
Abdil mencontohkan negara-negara sosial-demokratik seperti Skandinavia yang melalui gerakan signifikan dan terorganisir dapat menyejahterakan warga dalam taraf tertentu dengan derajat dan persentase yang berbeda-beda. “[Perubahan itu] dipaksa oleh bentuk perlawanan yang mereka (buruh) lakukan seperti pemogokan, sabotase, dsb.,” lanjutnya.
Yang diperlukan, menurutnya, adalah kekuatan politik yang riil. “Ngga ada negara sejahtera lahir begitu saja. Itu hasil dari mendorong agar ada konstitusi untuk menjamin bahwa hak warga atas pendidikan (misalnya) itu mesti dipenuhi oleh negara. Ngga cukup dengan begitu tapi harus dengan pertarungan kekuatan yang riil dengan kelas borjuasi,” tambahnya.
Selain dominasi ekonomi politik, Ade Indriani Zuchri melihat lemahnya gerakan sipil akibat adanya dominasi ilmu pengetahuan oleh negara dan oligarki. “Ilmu pengetahuan mereka dominasi sebagai alat pertukaran (reciprocity), bukan untuk social exchange (perubahan sosial). Social exchange ketika posisi kita setara. Ketika posisi kita tidak setara, ada yang mendominasi, maka itu reciprocity,” kata Ade.
Menurut Ade, negara membangun imajinasi kesejahteraan versinya. “‘Untuk kalian sejahtera, ngga usah, deh, demo-demo (demontrasi). Kalian kami kasih BLT (bantuan langsung tunai), kami kasih bantuan UMKM, kami kasih bansos, yang pengangguran kami kasih kartu prakerja,’” ujar Ade melakoni tindakan pemerintah.
Negara, lanjut Ade, sudah melakukan perampasan ilmu pengetahuan (main idea grabbing) sehingga banyak yang memilih untuk berada di pihaknya. “Saya ngga bilang ngga boleh masuk ke [pihak] negara, ya, tapi dengan struktur negara yang seperti saat ini, ya, kita juga melakukan dukungan terhadap praktik-praktik yang dilakukan oleh negara,” lanjutnya.
Bahkan menurutnya, organisasi-organisasi nonpemerintah pun kerap dikontrol oleh pihak pendana. “Gerakan jadi jalan di tempat karena mereka sudah membangun story yang sama dengan para oligark,” ujarnya.
Masyarakat, sambung Ade, kini diombang-ambing oleh pengetahuan yang diproduksi negara sehingga mengaburkan realitas. Padahal seharusnya, menurut Ade, ilmu pengetahuan dapat menjadi basis kontrol oleh masyarakat sipil dan pekerja untuk melawan. “[Misalnya] kita membenarkan dulu di pikiran kita bahwa ada ketidakadilan, maka kita akan counter secara ilmu pengetahuan,” pungkasnya.
Reporter: Andriv Pambudi Wicaksono
Penulis: Aida Feriska
Editor: Rilanda