
Rancangan Revisi Undang-undang (RUU) No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai kritik dan protes keras dari masyarakat. Mereka menilai bahwa RUU tersebut mengancam supremasi sipil karena berpotensi melanggengkan golongan militer untuk menduduki posisi sipil, serta memberikan kewenangan yang lebih luas bagi TNI untuk melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) tanpa perlu berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sejak hari Kamis, 20 Maret 2025 mahasiswa dan masyarakat sipil telah melakukan demonstrasi di berbagai daerah untuk menuntut agar keputusan penetapan hasil RUU TNI dibatalkan. Bentuk penolakan seperti unjuk rasa atau demonstrasi menjadi lumrah di masyarakat saat melakukan perlawanan terhadap keputusan pemerintah yang dianggap merugikan banyak pihak.
Walaupun demonstrasi di jalanan menjadi langkah populer masyarakat sipil dalam melakukan unjuk rasa (protes) sebagai bentuk ketidakpuasan mereka atas kebijakan pemerintah. Namun, masih ada langkah lain menyampaikan bentuk protes mereka terhadap pemerintah yakni dengan mengajukan gugatan hukum (yudisial).
Penggunaan jalur yudisial dipilih oleh sembilan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dalam melakukan perlawanan terhadap keputusan pemerintah perihal RUU TNI. Mengutip dari Kompas, adapun para penggugat tersebut yakni, Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siahaan, Kelvin Oktariano, M Nurobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan Yuniar A. Alpandi beserta dua penasihat hukum yang berasal dari Mahasiswa FH UI Aktif, yaitu Abu Rizal Biladina dan Muhammad.
Mereka mengajukan gugatan berupa permohonan pengujian terhadap hasil pembahasan RUU No.34 Tahun 2004 tentang TNI kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menyoroti asal muasal atau alur pembahasan (aspek formil) yang melandasi terciptanya hasil pembahasan RUU TNI.
Dihubungi secara daring melalui aplikasi pertemuan Virtual Zoom meeting, tiga orang perwakilan penggugat dari Mahasiswa FHUI yakni Alif Hakim ditemani dua temannya yakni, Kelvin dan Nurrobby ikut serta dalam pengajuan gugatan ke MK melaksanakan wawancara bersama Anggota LPM Hayamwuruk, Marricy dan Irsyad pada Senin, 25 Maret 2025.
Alif Hakim menjelaskan berbagai macam kontroversi yang terdapat dalam RUU TNI yang telah disahkan oleh DPR RI pada Kamis, 20 Maret 2025.
Apa yang mendorong Anda dan kawan kawan untuk mengambil langkah hukum yudisial terhadap permasalahan ini? Kira kira dari teman teman sendiri, mengapa mengambil jalur hukum ini?
Langkah ini diambil karena kalau bapak-ibu di DPR itu bisa main keras dengan langsung mengetuk palu, kami juga bisa main prosedur hukum dengan mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, partisipasi publik tidak disertakan dalam pembahasan RUU Ini. Padahal di dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) termaktub dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011, di situ jelas ada partisipasi masyarakat, di mana salah satunya, upaya pemerintah untuk memenuhi hak tersebut adalah melakukan “penyebarluasan,” bahasa undang-undangnya, dari naskah akademik dan juga draft Undang-Undang, sementara pihak DPR tidak melakukan hal tersebut.
Bilamana hasil dari pembahasan revisi undang-undang TNI hari Kamis lalu sudah diturunkan atau disebarkan ke publik, apakah dari kalian juga akan mengkritisi hasil dari pembahasan undang-undang TNI pada 20 Maret kemarin?
Kita tunggu dulu hasil dari UU TNI yang sudah konkrit yang dikeluarkan langsung oleh DPR RI-nya, baru kita kemudian analisis apakah ada pasal-pasal yang mungkin tidak sejalan atau justru lebih memberikan ruang bagi dwifungsi. Lalu kita juga perlu melihat latar belakangnya, sebab hal ini merupakan Traumatical History. Kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, pegangan kita masa lalu. Makanya sejarah dibilang berulang-ulang karena orang-orangnya beda, peristiwanya sama.
Kami juga melihat bahwa hal ini diakibatkan karena proses pembentukan yang tidak transparan dan tidak melibatkan semua orang, sehingga asumsi yang di otak kita saat ini pasalnya buruk dan jelek karena dibahas di tempat tertutup. Makanya berangkat dari traumatik tersebut, maka muncul pertanyaan besar landasan apa yang membuat Pembahasan RUU TNI ini prosesnya begitu singkat seakan diburu-buru.
Apakah dengan tidak adanya transparansi dan juga partisipasi publik dalam pembentukan atau pembahasan revisi Undang-Undang TNI ini apakah menjadi salah satu faktor bagi kawan-kawan dalam melayangkan gugatan?
Dalam UU P3, tepatnya di UU No. 13 tahun 2022 itu adalah amanat dari konstitusi pasal 22A, menjelaskan bahwa di pasal 96 ayat 4 bahwa naskah akademik dan juga rancangan Undang-Undang itu harus bisa diakses dengan sangat mudah oleh masyarakat. Ini adalah transparansi yang sangat bisa kita rasakan sebagai warga negara biasa. Kita seharusnya bisa mengakses melalui website DPR RI dengan mudah jadi kita bisa menelisik apa alasan dari revisi UU TNI ini, apa saja pasal-pasalnya supaya kita bisa memberikan masukan, kritik, dan lain sebagainya.
Lantas, naskah dan juga RUU mana yang yang mereka pakai untuk melaksanakan RDPU bersama teman-teman masyarakat sipil? Nah, ini menjadi pertanyaan yang sangat besar. Bahkan ini dibenarkan oleh wakil ketua Komisi Satu bahwa memang sengaja mereka tidak menyebarkan draft rancangan undang-undang ini karena takut menimbulkan perdebatan. Ini cukup kontradiksi dengan semangat negara kita yang demokrasi, kita bebas untuk mengekspresikan pendapat, kritik dan sebagainya. Artinya mereka mencoba untuk membungkam dialektika tersebut.
Tadi sudah disinggung jika tidak ada transparansi dan draft RUU itu tidak accessible, itu berarti kan tidak memperhatikan partisipasi publik. Apakah hal tersebut juga menjadi concern atau pertimbangan teman teman untuk mengajukan gugatan ke MK? Dan apakah akan disinggung bila jadwal sidang telah ditetapkan?
Sebenarnya hal itu menjadi fokus utama kami, makanya partisipasi publik harus terlihat sebab didalam UU P3 terdapat tiga syarat terpenuhinya partisipasi publik; Hak untuk didengar pendapatnya; Hak untuk dipertimbangkan pendapatnya; dan Hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Posisi partisipasi publik ini balik lagi karena kita, mereka terpilih atas nama rakyat, seharusnya kita didengar dengan pemenuhan tiga hal tadi. Tapi sayangnya, sejauh ini kami melihat bagaimana perilaku dari DPR itu sendiri menghindar, terus tidak ada kejelasan terkait draft naskah yang benar dan lain sebagainya.
Bagaimana tanggapan teman-teman terhadap tidak terbukanya anggota dewan terhadap kritik dari masyarakat dan tetap memilih untuk tetap meloloskan RUU TNI?
Justru ini yang menjadi pertanyaan seperti yang saya bilang tadi. Kenapa hal hal seperti ini harus disembunyikan? Padahal ini sangat penting dan efeknya langsung ke masyarakat. Kalau ini justru menimbulkan asumsi-asumsi yang menurut saya tidak perlu, buat apa melakukan rapat di hotel yang pada saat ini sedang dilakukan efisiensi. Maksudnya dalam tanda kutip ini benar dan tertuju pada rakyat dan masyarakat setuju, jadi dibuka aja draft-nya silahkan di-publish dan menurut saya tidak ada salahnya, kan profesor atau dosen-dosen dari kampus atau bahkan mahasiswa bisa memberikan kajian-kajiannya tersendiri yang bisa digunakan oleh para anggota DPR.
Kalau dari teman-teman sendiri apa harapan setelah dilayangkan dengan gugatan?
Sebenarnya harapan kita tentu permohonan dikabulkan secara menyeluruh dan kita ingin MK menyatakan bahwa undang-undang TNI yang baru disahkan ini tidak sesuai dengan pembentukan proses perundang-undangan yang telah ditetapkan melalui UUD 1945. Kita ingin bahwasanya undang-undang TNI yang baru disahkan ini dinyatakan tidak mengikat secara hukum, juga kita ingin, MK menyatakan bahwa pasal-pasal yang telah diubah itu tidak mengikat secara hukum sehingga hubungannya itu balik lagi ke undang-undang TNI yang 2004 sebelum direvisi ini, dan tentunya kita meminta MK untuk memuat seluruh pernyataan ini di dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Sumber:
Prodjo, W. A. (2025, Maret 25). UU TNI Dinilai Cacat Prosedur, Mahasiswa Hukum UI Ajukan Gugatan ke MK. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/edu/read/2025/03/25/132531171/uu-tni-dinilai-cacat-prosedur-mahasiswa-hukum-ui-ajukan-gugatan-ke-mk?page=all#page2
Reporter : Irsyad, Marricy
Penulis : Irsyad
Editor :Diaz