Optimisme Dunia Animasi Indonesia Lewat Film Jumbo

Dok. IMDb.com

 

Pada 5 Desember tahun lalu trailer perdana film Jumbo rilis. Film keluarga ini bercerita tentang anak laki-laki bernama Don yang kerap direndahkan dan dipanggil Jumbo karena gemuk. Maka untuk itu, ia mencoba mencari cara untuk membuktikan diri dengan menampilkan pentas drama berdasarkan buku peninggalan orang tuanya. Pada suatu hari, muncul sesosok makhluk bernama Meri dari dunia lain yang meminta bantuan Don untuk menemukan kedua orang tuanya. Awal pertemuan Don dan Meri tersebut nantinya akan menjadi sebuah petualangan yang mengubah hidup Don. Bersama kedua sahabat Don, Mae dan Nurman, mereka nantinya bakal mencapai tujuan masing-masing.

Kesan pertama yang saya dapat dari trailer berdurasi dua menit tujuh detik itu ialah takjub. Kualitas animasi film Jumbo bukan sekadar hal yang kaleng-kaleng. Gerakan tiap karakter yang mulus, background yang serasi dengan karakter, kualitas pewarnaan yang apik, dan pengisi suara yang lancar. Kombinasi dari hal-hal tersebut tak ayal membuat sekilas film Jumbo bisa disandingkan dengan film garapan Pixar ataupun Disney. Harus diakui hal tersebut mampu menjadi angin segar bila menilik dari dinamika dunia animasi Indonesia beberapa waktu ke belakang.

Dikutip dari Kemenparekraf.go.id, animasi awal mulanya masuk ke Indonesia pada tahun 1950, namun untuk serialisasi dan film baru tumbuh tahun 1983 lewat Si Huma. Memasuki periode 90-an muncul serial animasi seperti Satria Nusantara dan Petualangan si Kancil. Lanjut kepada hadirnya film animasi berjudul Janus Prajurit Terakhir (2003), beberapa waktu berselang hadir Hebring (2007).

Pada tahun 2008, muncul animasi Indonesia yang mampu go internasional, film berformat tiga dimensi (3D) ini berjudul Meraih Mimpi. Dari titik itu kemudian dunia animasi terus maju, salah satu pencapaiannya ialah lewat film Battle of Surabaya (2015) yang mendapat banyak penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri.

Selanjutnya mulai banyak bermunculan animasi-animasi lokal yang kebanyakan berformat 3D. Sebut saja serial Adit Sopo Jarwo, Kiko, Keluarga Somat, lalu ada film Knight Kris (2017), Riki Rino (2020), dan Nussa (2021). Tapi kebanyakan dari film animasi tersebut jumlah penontonnya kalah jauh ketimbang film live action. Nussa sebagai film animasi Indonesia terlaris hanya mampu meraup penonton sekitar 400.000-an dibandingkan film terlaris di Indonesia yaitu KKN di Desa Penari yang jumlah penontonnya sampai lebih dari 9 juta orang.

Sebuah perbedaan yang amat besar. Apa yang membedakan kedua film tersebut sehingga jaraknya amat jauh? Berdasar pandangan saya ada dua faktor utama, yaitu target pasar dan popularitas. Terlihat jelas bahwa sasaran utama film Nussa ialah untuk anak-anak dan keluarga, dengan isi cerita yang tidak jauh-jauh dari pengajaran untuk anak-anak yang cukup sederhana. Selain itu, sebelum ada film ini terdapat serial Nussa dan Rara dengan target audiens anak-anak, yang walau mampu mendongkrak 400.000 penonton tetap saja susah untuk mencapai angka 1 juta.

Sementara itu, film KKN Desa Penari dengan rating 13+ ini sudah pasti targetnya bukan anak-anak. Target dengan demografis yang mencakup remaja dan dewasa memiliki keunggulan berupa minat yang tinggi kepada hiburan. Selain itu jika film cukup menarik, remaja cenderung akan menjadi penggemar jangka panjang. Melalui hype yang kuat dari sebuah kisah viral di medsos, membuat film KKN Desa Penari ini begitu ditunggu dan dinanti. Hype dan rasa penasaran itu membuat popularitas KKN di Desa Penari meroket sampai menobatkannya menjadi film Indonesia yang paling banyak ditonton. Adakalanya juga selera pasar turut berpengaruh kepada keberhasilan menggaet penonton. Badan Perfilman Indonesia (BPI) 2022 melihat film bergenre horor paling laris, disusul dengan drama, aksi, komedi, dan romansa.

Apakah film animasi bisa mengalahkan film live action? Jawabannya ialah bisa. Kemampuan film animasi untuk berhasil di kancah penjualan masih memiliki probabilitas yang besar. Sebagai contoh Toy Story (1995) mampu menjadi film terlaris di tahunnya rilis. Efek dari film itu juga cukup besar, sebagai tonggak animasi 3D dan Computer-Generated Imagery (CGI), film itu merevolusi perkembangan animasi digital hingga saat ini. Lebih dekat lagi yaitu film baru yang berasal dari Tiongkok yaitu Ne Zha 2 (2025) mampu meraih sampai 120 juta penonton dalam negeri dengan keuntungan sampai 2,66 miliar dolar AS. Jika ditelisik faktor kesuksesan tersebut terjadi karena waktu perilisan yang cocok yaitu saat libur Imlek, antisipasi dari film pertama,  dan kebanggaan terhadap animasi lokal.

Lalu, bagaimana dengan film Jumbo sendiri? Film yang digarap selama 4 tahunan dan disutradarai oleh Ryan Adriandhy ini memiliki senjata utama yaitu kualitas animasi yang mampu bersanding dengan Disney dan Pixar. Jumbo terasa begitu mumpuni terkait kualitas animasinya. Gambar-gambar yang halus disertai dengan pewarnaan yang padu, menciptakan keseimbangan dalam cuplikan adegan di trailer-nya. Dengan format 3D film dan bentuk karakter yang khas membuatnya mirip produksi Disney atau Pixar.

Apabila dibandingkan dengan film animasi Indonesia lain sejauh pengamatan saya, kualitas Jumbo berada di klasemen teratas. Sebagai bahan banding yang setara ialah film Nussa. Memang gerakan animasi di film ini terlihat halus, namun latar belakang karakter dan desain terkesan cukup sederhana dari bentuk tumbuhan, jalan, pakaian, rambut, dan hal lainnya. Simpel adalah kata yang cocok untuk Nussa. Sedangkan untuk Jumbo, ada gambar hal-hal detail yang dimasukkan seperti goyangan rambut, dedaunan, ornamen bangunan,  dan efek cahaya yang membangun harmoni. Untuk itulah Jumbo bisa mendapat penilaian lebih tinggi dari Nussa.

Film ini dikabarkan akan tayang pada waktu lebaran di bioskop. Hal ini merupakan tindakan yang tepat karena saat waktu tersebut banyak orang berlibur dan berkumpul bersama keluarga. Dari situ film bisa menjadi salah satu media guna menghabiskan waktu bersama ataupun sendirian. Terlebih film yang rilis di bioskop saat lebaran yang bisa menjadi rival Jumbo menurutku hanya ada dua yaitu Norma: Antara Mertua dan Menantu serta Minecraft

Melirik kepada Ne Zha 2, kebanggaan  masyarakat Tiongkok terhadap animasi dalam negeri begitu besar. Faktor kebanggaan inilah merupakan salah satu hal yang sentral. Kebanggaan atas karya anak bangsa dengan kualitas yang mampu bersanding di dunia. Tapi, sebelum sampai kepada kebanggaan, mulailah dari yang namanya menghargai dunia kreatif lokal.

Menghargai dalam KBBI V diartikan sebagai memandang penting sesuatu. Penting dalam hal ini adalah sesuatu yang bernilai, hal yang dianggap berharga. Dalam masyarakat Indonesia produk animasi dianggap sebagai konsumsi anak-anak dan orang dewasa dianggap tidak cocok untuk hal itu. Memang di awal perkembangannya animasi ditujukan untuk anak-anak dengan cerita ringan.  Namun, zaman sudah berubah, kini target penonton film animasi menjadi lebih menjangkau berbagai kalangan. Sekarang pun banyak sekali film animasi dengan alur cerita kompleks yang ditujukan untuk kalangan tertentu. Jadi, zaman sekarang adalah hal yang wajar untuk menonton film animasi bagi orang dewasa.

Harapan di Antara Gelombang AI

Barang kreatif seni semisal ilustrasi digital, kerap dihargai sebagai hal yang murah. Padahal dari membentuk karya tersebut terdapat pengalaman yang bisa bertahun-tahun untuk mencapai tahap karya sedemikian rupa. Pekerja seni ibarat tersisihkan, apa lagi dengan munculnya Artificial Intelligence (AI) yang mampu membuat gambar secara instan hanya dengan kata-kata perintah saja. Tidak sekedar gambar, tapi juga mampu membuat animasi bergerak yang apabila dikerjakan secara manual oleh manusia akan membutuhkan resources dan waktu yang lumayan.

Tentu AI ini laksana ancaman bagi para pelaku dunia kreatif Indonesia, terlebih animasi dan ilustrasi. Kecepatannya dalam output produksi mampu mengalahkan manusia. Namun, untuk kualitasnya sendiri, gambar atau animasi buatan AI ini masih belum secara detail mampu menyamai karya manusia, seperti konsistensi hasil generated yang kerap berubah-ubah dan mesti terdapat hal yang janggal.

Lalu, bagaimana pemerintah merespon hal tersebut? Responnya cukup berbalik dengan yang diharapkan. Sebagai contoh, ketimbang memakai para animator lokal untuk membuat video promosi program unggulan, malah lebih memilih memakai AI. Menurut pemerintah, pemakaian AI ini bisa dikatakan sebagai bagian kreativitas. Memang betul kreatif karena memanfaatkan beragam sumber daya seadanya untuk menciptakan sebuah hal secara instan. Sungguh sebuah cara yang “efisien”. 

Pada sisi yang lain, pemakaian AI itu juga memperlihatkan bahwa para animator kurang dihargai untuk berkarya. Pemerintah sekadar mengikuti trend penggunaan AI yang ringkes, bukan membuat trend untuk memperdaya para animator. Pandangan sebelah mata terkait industri kreatif Indonesia ini bisa jadi tidak hanya membuat lesu para penghuninya, tapi turut memangkas bibit baru yang mau mencelup ke dalam bidang kreatif itu sendiri.

Tapi, film Jumbo yang diproduksi Visinema Picture dengan kualitas sedemikian rupa tak ubahnya sebagai pencapaian para tenaga kreatif. Seperti sebuah pernyataan di trailer “sebuah film animasi karya banyak orang” yang mengisyaratkan begitu banyak usaha yang ditorehkan untuk membuat karya ini. Sekitar lebih dari 200 orang kreator lokal ikut serta dalam penggarapan animasi ini.

Apa yang diharapkan oleh saya pada film Jumbo ialah mampu membuka mata publik bahwa animasi Indonesia adalah hal yang patut dihargai dan dibanggakan. Dari berbagai kelebihan yang yang diutarakan di atas rasa optimisme adalah hal yang perlu ditempelkan lebar-lebar. Setidaknya Jumbo akan mampu meraih 1,5 juta penonton, apa lagi kabarnya film ini turut ditayangkan di 17 negara. Harapan tersebut bisa jadi pemantik bagi industri animasi kreatif lokal dalam menjajal jalan di pasar film Indonesia.

 

Penulis : Jesi A.K.A Ijas

Editor: Alena

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top