PekaKota Forum ke 76 Sebagai Ruang Refleksi Menjaga Tradisi, Merawat Lingkungan Yasin Fajar

Dok. PekaKota Forum

Bak dua sisi mata koin, tradisi merupakan salah satu bagian yang tidak pernah bisa dipisahkan dari keberadaan suatu tempat atau wilayah. Secara praktis, suatu tradisi terbentuk dari adanya kehidupan komunitas masyarakat dalam suatu ruang hidup, melalui kebiasaan atau aktivitas berulang masyarakatnya yang lahir dari budaya setempat. Baik dalam bentuk adat-istiadat, ritual, maupun festival. Hal ini kemudian menjadikan tradisi sebagai salah satu warisan budaya yang mencerminkan identitas kelompok masyarakat, maupun wilayah atau tempat.

Di era modernisasi, praktik pelestarian tradisi kian minim, baik di daerah rural, urban, maupun perkotaan. Fakta tersebut seringkali kita temui di berbagai wilayah. Padahal, melalui pelestarian tradisi, tidak hanya nilai filosofis kehidupan masa lalu dan identitas sosial yang bisa dipertahankan sebagai warisan nenek moyang. Namun, hal itu bisa menjadi langkah alternatif dalam upaya konservasi lingkungan dan aspek kehidupan lain. 

Misalnya saja masyarakat di Kelurahan Wonolopo, Semarang, Jawa Tengah, yang memiliki tradisi unik berupa peringatan Suro-nan di Sendang Mbelik. Tradisi ini sebagai bentuk rasa syukur warga setempat atas sumber mata air yang mengalir dari Sendang Mbelik untuk pemenuhan kebutuhan hidup warga sekitar. Terlepas adanya kepercayaan mitos terkait cerita penunggu sendang, ritual yang dilakukan warga Wonolopo termasuk dalam upaya pelestarian lingkungan.

Sebab, tradisi tersebut tak hanya menghadirkan simbol-simbol mistis, melainkan dalam bentuk aktivitas bersih-bersih area sendang dan tetap menjaga keberadaan sumber mata air, supaya tetap hidup dari waktu ke waktu.

Contoh selanjutnya ialah sendang yang terdapat di wilayah Ngijo, Gunungpati, Semarang. Jika di daerah Wonolopo masih terjaga dengan baik, sendang di Desa Ngijo bak kubangan air sisa pembuangan, karena air sendang sangat keruh. Hal ini disebabkan ekspansi perumahan di wilayah tersebut. Ditambah, punahnya pepohonan di sekitar, hingga air pembuangan dari perumahan yang mengalir ke sendang turut jadi penyebab. 

Semakin berkembangnya zaman, dua contoh di atas menjadi hal yang bisa ditemui di mana saja saat ini. Utamanya di area kampung-kota dengan tingkat pembangunan gedung tinggi yang masif. Tak hanya tradisi yang mulai terkikis, namun perilaku menjaga lingkungan hidup juga semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Oleh karenanya, perlu kiranya merekonstruksi ulang budaya melalui tradisi, sehingga tak hanya makna filosofis yang didapatkan. Namun, sekaligus praktik upaya konservasi ekologi yang berkelanjutan. 

Pada kesempatan kali ini, PekaKota Institute menyelengarakan PekaKota Forum yang mendiskusikan isu tersebut. Bertempat di halaman depan Grobak Art Kos Kolektif Hysteria, Jl. Stonen 29, Bendan Ngisor, Kota Semarang, Sabtu (22/03/2025), nampak hadir beberapa tokoh kampung. Di antaranya datang dari Kampung Jawi yang terletak di Kelurahan Sukorejo, dan Kampung Wonolopo yang diwakili Mulyono atau yang kerap disapa Pak Yon. Hingga perwakilan dari Dosen Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Muhajir, S.Pd., M.Hum. 

Pemaknaan Ulang Tradisi melalui Festival Kampung 

Tukar ilmu terjadi dalam acara PekaKota Forum ke-76 dengan tema “Upaya Kolektif Merawat Ruang Hidup, Melalui Tradisi Masyarakat”. Tepat pukul setengah lima sore selepas hujan reda, diskusi yang dipandu oleh Imamul, selaku peserta PekaKota Institute 2025 pun dimulai. 

Imam sapaan akrabnya, memantik awalan diskusi dengan menanyakan perihal tradisi-tradisi kampung yang sampai saat ini masih sering diselenggarakan. Aktivitas tersebut bisa dikategorikan sebagai upaya pelestarian suatu lingkungan. Pertanyaan ini tentu didasari tema yang diusung pada diskusi kali ini. 

Mulyono merespon pertanyaan tersebut dengan menceritakan, proses awalan dia dan teman-teman di Wonolopo menyelenggarakan Festival Sobo Roworejo. Acara yang diselenggarakan tersebut didasari tradisi yang terdapat di kampung Wonolopo. 

Didasari penggalian tradisi tersebutlah, beliau memetakan suatu tradisi yang memiliki keterkaitan dengan upaya konservasi lingkungan. Tradisi tersebut lalu dikemas, melalui penyelenggaraan festival.

“Bagaimana tradisi itu kita rawat, kalau kita, lihat potensinya dulu. Kalau ada di kampung kita riset, lalu pilah-pilih,” ujarnya. 

Ia menambahkan, festival yang digelar di Kampung Wonolopo bertujuan melestarikan tradisi yang sudah turun temurun di wilayahnya. Tradisi-tradisi yang telah berlangsung lama tersebut, dikemas melalui medium yang mudah diterima. 

Salah satunya tradisi rutinan masyarakat di sumber mata air yang terdapat di Wonolopo, masyarakat setempat biasanya menyebut tempat tersebut ‘Sendang Mbelik’. Cerita turun temurun seputar Sendang Mbelik, serta pemaknaan masyarakat sekitar terkait sendang dijadikan tema besar dalam penyelenggaraan Festival Sobo Roworejo. 

“Kita membuat kegiatan yang bisa merawat tradisi yang ada, terutama itu nguri-nguri Sendang Mbelik. Kegiatan itu kita taruh sebagai pengantar dalam Festival Sobo Roworejo,” imbuhnya. 

Terlepas Praktik Konservasi, Tradisi Sebagai Bentuk Penghormatan Leluhur

Muhajir merespon apa yang disampaikan Pak Yon, meski  latar belakangnya seorang Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indo (PBSI) tapi beberapa penelitian yang dia lakukan memfokuskan pada tradisi-tradisi yang masih dilanggengkan oleh beberapa kelompok masyarakat.  

Selaras dengan yang dikatakan Mulyono, daerah-daerah yang dijadikan riset Muhajir, seperti Pati, Kudus, dan Rembang, masyarakat disana masih melaksanakan tradisi-tradisi yang diyakini secara turun temurun. 

Dia melihat tradisi yang dilakukan warga setempat terdapat kaitanya dengan upaya konservasi lingkungan. Meskipun sebagian warga lokal memaknai, menjalankan suatu tradisi sebagai upaya melestarikan budaya dari nenek moyangnya terdahulu.

“Kalau di daerah Kudus, Pati, Rembang itu masih sangat hidup kaitannya dengan tradisi yang merawat lingkungan, saya amat itu memang di luar konservasi dan masih sangat hidup,” pungkasnya.

Lebih lanjut Ia menuturkan bahwasannya dari riset yang sudah dilakukan, masyarakat setempat menjalankan suatu tradisi ‘Sedekah Bumi’ ditujukan guna penghormatan pada sesepuh kampung yang telah membuka desa. Hal ini kerap disebut danyang, dan lokasi untuk menjalankan tradisi dinamai punden.

“Jadi kalau di dalam tradisi ini biasanya ada situs, terus di situ biasanya dilaksanakan semacam sedekah bumi untuk memperingatinya,” tambahnya 

Muhajir menimpali pernyataan sebelumnya, dengan konteks masyarakat Jawa bilamana tradisi yang dilakukan ialah suatu keyakinan menghormati sesepuh sama halnya dengan bentuk peribadatan kepada Tuhan. 

Pergeseran Cara Pandang Dari Mistis Ke Rasionalitas

Melihat kondisi hari ini, melestarikan suatu tradisi merupakan suatu tantangan tersendiri. Ditilik dari konteks masyarakat hari ini, terkhusus yang tinggal di kampung kota, dimana masyarakatnya yang mayoritas pendatang yang memiliki mata pencarian tidak lagi bergantung pada alam sekitarnya. Selain itu tradisi yang dilakukan masyarakat zaman dulu, kurang bisa diterima masyarakat hari ini yang menekankan pada rasionalitas. 

“Apa yang dihadapi sudah berbeda, mobilitas perkotaan juga turut menyulitkan, penduduk juga berubah,” pungkasnya. 

Melihat permasalahan semakin mengikisnya tradisi-tradisi masyarakat, Muhadjir memberikan saran sebagai upaya untuk merawat, yaitu dengan melakukan riset secara mendalam yang memiliki keterkaitan dengan tradisi tersebut diselenggarakan. Jika hal ini bisa direalisasikan,  suatu tradisi yang diwariskan secara turun temurun tersebut bisa diterima oleh masyarakat hari ini.

“Coba memakai pendekatan rasional, dari yang klenik dicari keterkaitan yang logis dan familiar sehingga dapat diterima karena dibicarakan secara ilmiah,” ujarnya. 

Sependapat dengan hal tersebut, Mulyono menilai kondisi sekarang merawat tradisi suatu tantantangan tersendiri, akan tetapi Pak Yon, menjadikan tantangan tersebut sebuah motivasi tersendiri untuk membuat aktivitas-aktivitas yang berkaitan, dengan upaya merawat tradisi di kampung Wonolopo. 

Dia yakin bahwasanya melestarikan suatu tradisi melalui kesenian, sebagai bentuk upaya merawat ruang hidup yang mereka tinggali. 

“Meskipun ada tantangan tertentu yang harus dihadapi, itulah yang menjadi alasan kami untuk tetap bertahan. Bahwa melalui jalur kesenian dan tradisi dapat merawat lingkungan hidup kami di kampung,” harapnya.

Penulis: Yasin Fajar

Editor: Diaz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top