“Tidak semua perempuan sulit diajak bicara mengenai politik, bisnis, negara, gender, dan topik-topik berat lainnya. Perempuan merdeka bebas memilih apakah ia ingin dinahkodai ilmu pengetahuan atau gosip murahan.”
Selayaknya laut, perempuan mengabarkan kekecewaan dengan ombak yang tak pernah diam. Seperti ibu, perempuan melahirkan perlawanan dengan api yang tak pernah padam. Seumpama buku, perempuan tidak kekal dalam kebodohan dengan tinta yang tidak habis dimakan zaman.
Tulisan ini mungkin menjadi album baru bagi beberapa perempuan yang semula diam, tetapi pada akhirnya memilih untuk melawan kezaliman. Tulisan ini disusun oleh rasa kecewa dan luka-luka yang bersuara, berdesakkan mencari jalan.
Tulisan ini ditulis oleh perempuan yang memilih untuk melawan, lalu mengundang perempuan-perempuan lainnya untuk ikut serta dalam baris perlawanan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah.
Tulisan ini menyajikan sekilas kabar Indonesia melalui sepasang mata milik perempuan di kiri jalan.
Surat untuk Wakil Rakyat
Di negeri ini, kecewa bukan perasaan sementara—ia adalah warisan. Ia mengalir dari darah petani melalui lintah-lintah padi, dari peluh buruh yang diperas sampai luruh, dari anak-anak yang lahir dari rahim kebebasan, tetapi sudah dibebankan hutang.
Kecewa ini tidak datang tiba-tiba, ia dibentuk dan dibiarkan tumbuh oleh negara yang lupa cara mencintai rakyatnya.
Aksi Kamisan sudah 18 tahun memekakkan telinga istana. Surat-surat sudah dilayangkan, tetapi keluarga korban masih dibungkam tanpa keadilan. Aksi damai di bawah payung hitam yang teduh tidak sedikitpun terdengar pilu di bangku-bangku kekuasaan.
Tidak satupun kasus terselesaikan. Liang lahat sudah dipenuhi teriakan yang teredam dari tokoh-tokoh reformasi, ditambah siswa SMA yang ditembak tanpa perkara, jurnalis yang dibunuh dan diperkosa oleh tentara, serta anak-anak yang dianiaya oleh pemuda berseragam cokelat.
Beberapa warga negara yang waras memahami situasi yang terjadi kini sebagai ancang-ancang oligarki menguasai negeri. Sialnya, pendidikan yang tidak merata dan pembodohan oleh artis-artis media maya mencetak 58% orang buta yang tidak sadar dirinya tengah disiksa.
Pita-pita suara di kerongkongan mahasiswa dirantai secara paksa oleh Bukber (Buka Bersama) Partai Cokelat (Parcok), Sembako, dan iming-iming relasi semata.
Ironi terus menari-nari ketika intelijen bahkan gagal menyelinap pada aksi demonstrasi Tolak UU TNI di depan gedung DPR RI. Beberapa mahasiswa militan diancam, diteror, serta dibayang-bayangi kematian.
Katanya militer tidak menyerang pendidikan, tapi mengapa diskusi-diskusi harus dihantui tentara? Mengapa massa aksi yang hanya membawa diri untuk memberikan aspirasi harus ditembak dan dipukuli bertubi-tubi? Mengapa beberapa rektor mulai menyertakan selalu pemuda berseragam loreng untuk bersemayam di kampus mereka?
Katanya tidak akan ada lagi dwifungsi ABRI demi menjunjung amanat reformasi, tetapi mengapa peran ganda Tentara Nasional Indonesia (TNI) lebih dipentingkan? Sementara itu, rakyat sipil yang masih pengangguran dituduh bermalas-malasan tanpa melihat bahwa negeri ini miskin lapangan pekerjaan.
Masifnya kebijakan yang tidak transparan dan tidak menyertakan partisipasi publik menambah situasi pelik. Rapat pindah ke hotel mewah sementara gedung yang menghabiskan banyak anggaran itu dikosongkan. Salahkah rakyat bertanya-tanya——Dewan Perwakilan Rakyat itu bekerja untuk siapa?
Surat untuk Sesama Rakyat
Negeri ini luas, dikelilingi laut-laut yang sebagian dipagar. Laut itu kini menjadi cermin dari si tamak yang menggigit si miskin. Kompas moral rusak oleh kepentingan kantong pribadi bersama kapal-kapal kepemimpinan yang bocor oleh korupsi.
Mereka yang di atas menyebut pemangkasan anggaran sebagai “efisiensi”, bersamaan dengan gas elpiji yang langka, pertamax yang dioplos, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di mana-mana.
Pemangkasan tidak menyerang pendidikan katanya, tetapi di beberapa perguruan tinggi lift memiliki jadwal operasi, jurnal internasional untuk pendidikan dibatasi, Tunjangan Kinerja (Tukin) dosen dan beasiswa mahasiswa terlambat didistribusi.
Berbeda dengan rakyat yang harus beradaptasi dengan efisiensi, gaji pejabat masih tinggi, tunjangan pejabat tidak dikurangi, bisnis pejabat lancar beroperasi, mobil-mobil pejabat masih khusus, dan kabinet masih gemuk dengan Staf Khusus (Staf Sus).
Undang-undang (UU) baru pun lahir, membawa tentara masuk lebih dalam ke ruang sipil. Seolah sejarah telah hilang dari ingatan. Kita lupa bahwa kekuatan bersenjata tanpa kendali sipil adalah ancaman, bukan perlindungan.
Di negeri yang takut pada kritik, seragam menjadi simbol kekuasaan (re: penindasan) identik.
Di dapur-dapur sempit, para ibu menunggu api yang tak kunjung menyala. Mereka memasak dengan anak-anak kelaparan akibat makan siangnya yang basi di sekolah. Tak jauh dari sana, para elite bicara mengenai strategi energi dan investasi tanpa rakyat diberi transparansi.
Korupsi? Sudah menjadi liga yang ditonton sehari-hari. Alih-alih memikirkan solusi, pejabat justru sibuk menjadikan kasus korupsi sebagai tunggangan menuju kursi yang lebih tinggi, menghilangkan oposisi, dan menguatkan citra pribadi.
Tulisan ini belum menyinggung soal Danantara dan ekonomi negara, namun gelapnya sudah cukup jelas terasa. Tulisan ini belum menganalisis nasib Ibu Kota Nusantara (IKN), namun ciri mangkraknya sudah jelas terlihat mata.
Tulisan ini belum berbicara soal represi aparat dalam aksi-aksi massa, namun lukanya sudah cukup dalam kita telan bersama. Tulisan ini juga belum berbicara soal pembungkaman media, namun jurnalis-jurnalis sudah banyak yang meregang nyawa.
Tulisan ini juga belum membawa pemikiran pakar, namun tulisan-tulisan pakar sudah terbaca tanpa tinta. Tulisan ini belum mengkritisi Makan Bergizi Gratis (MBG), namun retorika Wakil Presiden (Wapres) sudah cukup mewakili rendahnya gizi orang Indonesia (re: pejabat) saat ini.
Terakhir, tulisan ini belum mengamati lebih jauh terkait nasib perempuan yang selalu disalahkan atas segala yang menimpa, namun kebebasan untuk segalanya sudah dilucuti tanpa busana.
Tulisan ini adalah undangan untuk berpikir, meracik pemikiran, dan mengilhami pergerakan. Jelas tulisan ini sangat layak diperdebatkan, itulah tujuannya agar kita sama-sama berpikir.
Kekecewaan ini tidak diam. Di sela gelapnya Indonesia, selalu ada suara dari mahasiswa di jalanan, dari petani di lahan, dari buruh yang bergemuruh, dari jurnalis yang terus menulis, dan dari perempuan yang melahirkan anak-anak kebebasan.
Selama luka masih bernyanyi dan ketidakadilan terus menari-nari, itu tandanya perempuan belum sepenuhnya mati. Tulisan ini boleh dianggap sebagai fiksi yang ringan, sebagaimana penulis berharap apa yang menimpa Indonesia saat ini hanyalah dongeng di penghujung malam.
Penulis : Indri (kontributor)
Editor: Alena