
TW: sexual violence, suicide attempt.
Suatu pagi saat tulisan ini dibuat, satu berita dari Tirto.id muncul di beranda Instagram saya. Begini bunyi judul berita tersebut: Kasus Pelecehan Seksual di DPRD DKI, Pelaku Berinisial NS Dicari. Sejujurnya, ini bukanlah hal yang mengejutkan bagi saya, sebab setidaknya ada satu berita terkait pelecehan dan/atau kekerasan seksual dalam sehari yang muncul di media sosial.
Tempo lalu seorang dukun menjadi pelaku. Sebelumnya, ada dosen, profesor, guru, dokter, ayah, paman, dan kakak. Setiap berita yang saya baca, semua pelaku yang terdata adalah laki-laki sementara para korban adalah perempuan. Belum selesai kasus femisida dan kekerasan terhadap jurnalis menggantung di bayang-bayang media, kini kasus pelecehan seksual mengiringi mereka.
Tulisan ini dibuat karena saya merasa resah, takut, sekaligus bersimpati kepada korban, khususnya para perempuan-perempuan terhormat di Indonesia. Perempuan yang mimpinya direnggut paksa oleh laki-laki tak berakal, perempuan yang hidupnya dihancurkan oleh laki-laki egois dan tamak, juga perempuan yang kini hidup dalam ketersesatan karena laki-laki menerjalkan jalan. Ini bukan sebuah surat, melainkan sebuah seruan simpati kepada mereka, perempuan-perempuan terhormat di mana pun mereka berada di Indonesia tercinta.
Kronik Pelecehan Seksual 2025
Sepekan pertama tahun 2025, Polri menerima 35 laporan terkait pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Polri melaporkan adanya 36 korban dan 38 pelaku yang sedang ditangani pada saat itu. Berdasarkan jumlah tersebut, dapat disimpulkan bahwa satu kasus kekerasan/pelecehan seksual bisa dilakukan oleh lebih dari satu pelaku.
Di Semarang, tercatat 36 kasus kekerasan seksual di periode 1 Januari 2025-19 April 2025. Kasus tersebut merupakan puluhan di antara 79 total kasus kekerasan yang terjadi. Penanganan yang diberikan antara lain mulai dari pendampingan (54), konseling (73), visum (12), hingga layanan bantuan hukum (27).

Mirisnya, beberapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi baru-baru ini dilakukan oleh oknum berpendidikan. Mulai dari guru, dosen, polisi, hingga anggota TNI. Salah satu kasus pelecehan terjadi kepada mahasiswi Universitas Negeri Makassar (UNM). LBH Makassar memposting kronologi kejadian pelecehan tersebut dengan harapan pengusutan kasus dilakukan sebaik mungkin.
Tak hanya di Makassar, muncul juga kasus kekerasan seksual oleh Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terjadi pada belasan mahasiswi. Modus yang dilakukan adalah melakukan diskusi akademis di luar kampus. Di Cilacap, dua orang pengajar tersandung kasus kekerasan seksual karena memperkosa siswa yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Profesi terhormat yang dipercaya oleh orang tua sebagai pengganti mereka untuk melindungi dan mengayomi anak-anak nyatanya tega dipakai untuk berperilaku bejat.
Belum lagi kasus yang viral, meninggalnya seorang jurnalis secara misterius. Setelah diungkap, ia ternyata menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan oleh kekasihnya sendiri yang seorang anggota TNI bernama Jumran. Ditambah, kasus pemerkosaan terhadap tiga anak yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja menjadi kasus paling heboh dan menyebalkan. Sebab, ketiga korban kini terdiagnosa mengidap penyakit menular seksual.
Kasus-kasus tersebut hanyalah segelintir dari puluhan yang telah mencuat ke permukaan. Korban yang terdiri dari anak-anak dan perempuan menambah daftar panjang tindakan kriminal menyedihkan. Perkara keadilan, tak ada yang lebih adil dari kembalinya kehormatan mereka di mata masyarakat, kembalinya mimpi-mimpi mereka, dan kembalinya perjalanan yang panjang namun tak terjal.
Hukuman tahanan rasanya tak pernah cukup, sebab pelaku terus lahir, tumbuh, dan muncul kembali. Dari sini, apa yang salah di antara kita? Perempuan kah yang tidak bisa menjaga diri, tutur kata, perbuatan, hingga pakaian mereka? Atau kah mereka, para pelaku bejat, yang berkeliaran dengan otak penuh nafsu?
Kasus pelecehan seksual yang muncul sudah lebih dari 30 jumlahnya, lantas bagaimana pemerintah menanggapi polemik ini? Bagaimana pula masyarakat bereaksi terhadap kasus pilu ini?
Korban di Mata Semua Orang
Pernahkah Anda menonton sebuah konten tentang museum pakaian korban perkosaan yang diadakan di Brussels, Belgia? Kalau belum, sempatkan waktunya menonton di YouTube. Sebagai sarana menumbuhkan kesadaran dan simpati masyarakat terhadap korban pemerkosaan, pameran ini cukup menggugah hati. Pameran bertajuk “What Were You Wearing?” ini digelar di Molenbeek Maritime Community Centre.

Kita perlu mengenal bahwa stigma terkait “pakaian setengah jadi” sering kali menjadi problematika yang dianggap sebagai pemicu terjadinya pelecehan seksual. Merefleksikan sedikit tentang hal ini mungkin tidak akan menyita banyak waktu Anda. Perlu diingat, korban pelecehan dan kekerasan seksual tak melulu berasal dari pakaian mereka, atau nyaris TIDAK PERNAH berasal dari apa yang dikenakan korban. Peristiwa malang dan mengerikan itu murni dari isi kepala para pelaku, dan saya tidak ingin pernyataan ini diganggu atau digugat. Satu-satunya yang bertanggung jawab adalah pelaku.
“Jangan mengenakan pakaian terbuka.” “Jangan berpoles terlalu tebal.” “Jangan menolak laki-laki dengan kasar.” Kurang lebih seperti itulah nasihat yang para orang tua katakan pada anak perempuan mereka. Lantas, bagaimana nasihat kepada para anak laki-laki? Mengapa “Jangan memperkosa” rasanya sangat sulit dilontarkan di ujung lidah? Mengapa selalu perempuan yang harus berjuang dan berkorban atas dirinya sendiri? Mengapa tak ada perlindungan dan keamanan di sekitar perempuan?
Memang terlalu banyak pertanyaan yang hinggap di kepala saya. Sebab terlalu banyak pula ruang tidak aman di sekitar saya, dan perempuan lainnya. Mengapa selalu perempuan (atau korban) yang dipersalahkan atas hal menimpa mereka? Sampai-sampai, faktanya ada seuntai ketakutan untuk melapor dan speak up. Melaporkan kasus pemerkosaan kadang-kadang mengantar pada korban ke dalam bahaya lain: tuduhan, cacian, dan penghakiman.
Hal berikutnya yang menjadi keresahan saya adalah seringnya muncul pernyataan “Apa susahnya menolak?” Padahal, selain daripada sebuah penolakan itu, ada nyawa yang dipertaruhkan. Tak hanya satu atau dua kasus penolakan perempuan berakhir pada penghilangan nyawa, penganiayaan, dan kekerasan seksual.
Seperti pada kasus terbaru di Lamongan, seorang remaja perempuan dibunuh teman laki-lakinya karena menolak cinta. Kasus tersebut hanyalah satu dari rangkaian peristiwa femisida yang berawal dari penolakan cinta. Nahasnya, kasus seperti itu selalu muncul setiap tahun.
Korban, di mata semua orang, adalah yang paling perlu disoroti. Mulai dari pakaian, perilaku, dan sifat korban yang sering kali menjadi bagian utama dari sebuah penghakiman. Menurut saya, hal tersebut sangat jauh dari keadilan. Mengapa korban yang sudah menderita akibat pelecehan, kekerasan, dan pembunuhan, harus pula dipersalahkan atas peristiwa tersebut? Bukankah kita harus bersimpati dan berempati kepada mereka alih-alih memberikan ujian baru? Hal ini masih menjadi PR besar untuk kita, para masyarakat.
Cerita dari Seorang Penyintas
Sebagai seorang penyintas pelecehan seksual, saya dengan berat hati mengatakan bahwa masyarakat terlalu egois dan sok. Di tengah budaya patriarki yang mengakar, perempuan masih dipandang sebagai kelompok minoritas dan lemah. Dengan segala hal yang perempuan lalui, justru kami adalah kelompok terkuat di muka bumi.
Sebagai seorang penyintas, menonton film-film bernuansa pelecehan tentu berat bagi saya. Tetapi, saya terus mencari tahu dan menguatkan diri untuk menonton film tersebut. Mengapa? Sebab saya ingin dimengerti. Saya ingin tahu bahwa seseorang tengah menyadari kondisi psikologis yang saya rasakan selama lebih dari satu dekade. Kondisi yang berat bagi setiap orang alami, bahkan hidup sebaik-baiknya pun sepertinya tak sempat.
Sebagai seorang penyintas, saya akan mengulang kembali kisah pilu seorang anak usia 3 tahun yang dilecehkan oleh kerabatnya sendiri. Kerabat yang lebih dewasa dan kuat. Kerabat yang saya temui nyaris setiap hari. Tetapi, terlepas dari pengalaman pilu itu, ada satu pesan yang saya coba pahami selama beberapa tahun ini. Pesan yang diberikan oleh beberapa psikiater dan seorang psikolog yang saya datangi. Pesan yang mengharuskan saya untuk tetap melanjutkan hidup, meski berat. Saya akui, pesan itu juga egois dan nirempati. Namun, kami, para penyintas, dipaksa melakukannya “untuk melanjutkan hidup” yang pahit.
Pengampunan. Seperti saya, para korban di Indonesia hanya diberi satu kunci kesembuhan. Satu pesan tak terlupakan, tak terbantahkan, dan juga tak solutif. Kami harus mengampuni mereka yang melakukan hal-hal keji. Kami harus mengampuni mereka yang merenggut masa kecil dan bahagia kami. Kami harus mengampuni. Benar, mengampuni mereka yang melecehkan kami.
Orang-orang menuntut kami mengampuni para pelaku, sementara mereka bebas berkeliaran di muka bumi dengan berkelimpahan. Kami bertahan hidup dengan obat dan rasa malu, sementara mereka sibuk menjaring korban-korban baru. Tuntutan ini, bagi saya, adalah egoistik, sebab ternyata melupakan adalah persoalan tak mungkin.
Sebagai seorang penyintas, saya selalu merefleksikan rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut. Satu hal yang penting, kami tidaklah bersalah. Meski dituntut untuk mengampuni, kami harus menanamkan kesungguhan bahwa semua yang terjadi bukanlah kesalahan kami. Kami hanya sial. Nasib buruk menimpa kami sebagai ujian dari Tuhan. Namun, kematian persoalan lain.
Kematian, dalam beberapa tahun adalah tujuan saya. Saya frustrasi sebab setiap kali disentuh oleh orang lain, bayangan akan pelecehan tersebut terulang di benak saya. Maka, saya ingin meninggal saja, setiap hari. Setiap waktu. Setiap kali ada kesempatan. Hal itu terjadi sebelum saya mengenal kata “pengampunan” yang diagungkan.
Ada dua rekomendasi film dari saya untuk para pembaca. 1) Marlina Sang Pembunuh dalam Empat Babak, dan 2) 27 Steps of May. Setelah menonton, coba bayangkan, sebentar saja. Bayangkan jika kalian adalah seorang korban: tak berkuasa dan tak berdaya. Bisakah kalian kemudian mengucapkan kata-kata seperti mempersalahkan pakaian dan perilaku kami? Bukankah itu menyakitkan bagi kami?
Seruan simpati ini tidak hanya dari dalam relung jiwa saya, setelah pemenuhan berhari-hari dan refleksi selama bertahun-tahun. Seruan simpati ini ingin mengajak Anda untuk mengenang para korban yang angkanya tak pernah putus dari statistik. Korban yang kerap dinilai buruk dan dikecam. Korban yang tak lagi berpetualang sebab ketakutan menyelimuti mereka.
Mendengarkan dan Tidak Menghakimi
Terlalu panjang isi hati saya akibat keresahan pribadi karena kasus pelecehan seksual. Saya kecewa, kepada pemerintah dan masyarakat, kepada keluarga dan para kerabat. Kasus-kasus di atas haruslah menjadi sarana refleksi dan merenungkan diri. Saya tidak menuntut terlalu banyak, janganlah memperkosa, begitulah pesan singkat dari saya.
Berakar dari kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang tak berkesudahan, ada baiknya pemerintah mulai gencar mengadakan edukasi seksualitas dan gender, sekaligus memperkuat hukum yang berlaku kepada korban. Perbaikan media dalam memublikasikan berita kekerasan seksual pun masih perlu ditimbang ulang.
Beberapa media acap kali menerbitkan berita yang membeberkan nama korban, belum lagi ditambah usia dan asalnya. Saya rasa, kerahasiaan identitas korban perlu diperkuat lagi. Mulai dari penyamaran nama asli dan tidak membeberkan terlalu banyak data korban sehingga masyarakat tidak perlu menerka-nerka siapa sebenarnya korban dan bagaimana kronologinya.
Hukum pelaku dengan ganjaran sosial dan judisial yang membuat mereka jera. Kebiri kalau perlu, supaya tak ada lagi korban berjatuhan. Di samping itu, diperlukan adanya sosialisasi terkait alat kontrasepsi sehingga remaja mulai paham bahwa hal-hal berkaitan dengan reproduksi sejatinya sangatlah riskan. Tak hanya bagi perempuan, pun bagi laki-laki. Ditambah, sosialisasi dan edukasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sangatlah penting bagi setiap orang. Sehingga, di kemudian hari, masyarakat melek akan kejam dan berbahayanya perilaku tidak bermartabat tersebut.
Ganjaran lain perlu dilakukan, mulai dari pemecatan, daftar hitam, dan boikot. Pelarangan seorang pelaku kejahatan seksual dalam mendatangi lokasi, acara, dan kegiatan tertentu sangat diperlukan. Seperti yang sudah dilakukan oleh Team Hindia kepada salah satu penggemar sekaligus pelaku kekerasan seksual.
Kepada masyarakat, tulisan ini mungkin terlalu kolot dan victim-centered. Saya akui, memang begitulah keadaannya. Saya memihak korban, apa pun alasannya. Anda mungkin dengan berat hati mulai belajar untuk tidak penasaran dengan apa yang terjadi pada korban. Mungkin Anda belajar untuk tidak menghakimi korban. Di kesempatan lain, mungkin Anda belajar untuk tidak melecehkan. Setiap langkah dan kebijakan yang ada sangatlah penting bagi keberlangsungan dan nasib perempuan.
Efisiensi yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto rupanya turut menjadi perhatian saya untuk menulis ini. Efisiensi menghalangi lembaga untuk mendampingi, melayani, dan menjaga korban secara all out. Hal tersebut tentu menjadi hambatan bagi para korban untuk menyelesaikan kasus pelecehan seksual yang menimpa mereka. Penanganan korban terhambat, pun pelaku semakin punya ruang dan waktu untuk berkelit.
Pesan ini mungkin terlalu panjang. Namun, beginilah kondisi terkini di mata seorang penyintas. Saya hidup lebih dari satu dekade dengan trauma dan ketakutan. Saya juga paham betul, para korban mengalami hal yang serupa, mungkin lebih. Melalui tulisan ini, saya mengajak masyarakat untuk bersimpati, merenungi, dan berefleksi, bahwa perempuan-perempuan korban kekerasan sejatinya adalah perempuan terhormat. Tak satu pun dari mereka pantas dan perlu mengalami hal tersebut. Mereka jauh lebih berharga dan masyarakat berutang nyawa.
Simpati ini, berakar dari relung hati dan jiwa saya, sebab tak satu pun dari pemangku kebijakan, turun tangan untuk mengatasi pelecehan dan kekerasan seksual. Sebagai tambahan, kepada Presiden Prabowo Subianto, berhentilah membuat kebijakan bodoh nan merugikan rakyat. Anda sudah berutang nyawa terlalu banyak.
Akhir kata, mendengarkan korban dan tidak menghakimi mereka adalah yang terpenting dan utama. Sebab, di saat peristiwa itu menimpa mereka, tak satu kata pun mampu diucapkan, tak satu aksi pun mampu menguatkan. Pasca kejadian, suara mereka adalah emas.
Penulis: Marricy
Editor: Alena