Anarkisme dan Benang Kusutnya

Ilustrasi/Aida

“Kebebasan bukanlah sebuah hadiah cuma-cuma, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan.” —Albert Camus

Mari kita sedikit berandai, membayangkan diri sebagai seorang pekerja yang ingin menjadi sukses dan bermartabat. Tentu dalam hal ini, cara paling realistis adalah memiliki cukup uang. Uang itu akan kita gunakan untuk membeli rumah; membeli mobil; membeli baju; membayar dana pendidikan; dan mungkin sesekali berpergian ke tempat-tempat terindah yang telah disediakan oleh algoritma sosial media.

Maka, untuk mendapat uang, orang tersebut membutuhkan sebuah pekerjaan. Oleh karena itu, karena tidak memiliki modal, dia akan bekerja di bawah perusahaan orang lain. Dia akan bekerja setiap beberapa jam per hari. Merelakan tubuh dan waktunya untuk perusahaan, demi hasil yang seringkali tidak setimpal. Ironisnya, fakta tersebut merupakan gambaran perbudakan modern yang begitu halus dan dimaklumi banyak orang. Lalu sang anarkis muncul mengancam sistem tersebut.

Pada titik tertentu, posisi anarkisme sama dengan kelompok marxisme—membela kaum pekerja atau proletar—dan mengkritik keras sistem kapitalistik. Mereka melihat bahwa para kaum kapitalistik menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Mereka menggunakan sistem upah guna memanipulasi dan membuat kaum pekerja tetap berada di bawah kekuasaannya. Mereka menciptakan sistem yang dibuat seolah-olah atas dasar suka sama suka. Padahal sebenarnya, para pemilik modal tidak lebih dari sekadar pencuri.

Intervensi kapitalisme terhadap individu dalam dunia korporat semakin terlihat saat para pekerja perempuan harus mendapatkan beban kerja yang berlapis. Pekerja perempuan sering kali mengalami perilaku diskriminatif dari lingkungan kerja. Hal tersebut, tercermin dalam banyaknya perusahaan yang mengesampingkan hak cuti haid bagi perempuan. Realisasi hak cuti haid seringkali dipersulit oleh perusahaan untuk mencegah libur bagi pekerja perempuan yang dapat menurunkan keuntungan kapital.

Berangkat dari keyakinan tersebut, kaum anarkis menentang segala perwujudan sistem kapitalisme. Lebih luas lagi, anarkisme menolak segala hal yang melanggengkan kekuasaan otoritas atas individu. Mereka meyakini bahwa individu adalah nilai tertinggi yang ada dalam diri manusia. Ia merupakan martabat yang tidak bisa dilukai. Keyakinan ini seringkali membuat anarkisme menjadi sahabat sekaligus musuh bagi ideologi lain. Hal ini lah yang membuat anarkisme, lebih mudah mendapatkan banyak musuh. Padahal anarkisme hanya melihat kekuasaan, apapun bentuknya, selalu memiliki potensi untuk menjadi otoriter, termasuk negara. Pada titik inilah, hubungan antara marxisme dan anarkisme sering terlihat seperti musuh bebuyutan.

Jika anarkisme adalah filsafat yang memperjuangkan kebebasan individu, lalu kenapa anarkisme identik dengan kekerasan?

Memang harus diakui, kekerasan dan anarkisme memang memiliki sejarah hubungan yang erat.  Aksi langsung seperti sabotase, pemogokan umum, dan okupasi seperti telah menjadi bagian dari jiwa anarkisme. Ia merupakan aksi untuk menggulingkan suatu sistem yang otoriter dan menindas individu. Menurut Elizabeth Gurley Flynn “Sabotase merupakan sebuah keniscayaan sebagai senjata kekuatan industrial,” akan tetapi kecenderungan membawa narasi anarkisme sebagai gerakan ‘kekerasan’ memiliki tafsir yang berbeda bagi pemilik status quo. 

Artinya, para penguasa mengeneralisir kekacauan kepada kaum anarkisme sebagai biang keladi kerusuhan dan perusak  Kerancuan ini yang sering membuat masyarakat hampir tidak bisa membedakan ide anarkisme sebenarnya dan kekerasan ekstrem. Negara dengan segala alat-alat—dengan sengaja—menghilangkan semangat ontologis atas nilai-nilai kesetaraan dan individualisme dari gerakan anarkisme.

Sejatinya, gerakan anarkisme sendiri telah memberi warna pada era perlawanan terhadap bangsa kolonial, sebut saja Multatuli, penulis dari novel Max Havelaar. Novel Max Havelaar mengkritik secara tajam pemerintahan Belanda yang kerap melakukan tindakan diskriminatif terhadap orang-orang pribumi. Melalui tokoh Max, sebagai Asisten Residen di Lebak, dia melihat banyak pejabat dan bangasawan yang mengambil paksa perkebunan orang-orang pribumi.  Tindakan kejam yang dilakukan oleh pribumi kepada pribumi tidak dihiraukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Atas kegelisahan dan kemarahan tindakan dari negaranya sendiri, Max lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya.

Meski Multatuli sendiri tidak pernah menyebut dirinya sebagai seorang anarkis. Namun semangat yang dihadirkan dalam novel Max Havelaar memiliki kesamaan terhadap cita-cita kaum anarkis. Multatuli menolak segala bentuk penindasan apapun terhadap individu (dalam hal ini imperialisme). Dia mengimani kebebasan individu sebagai kultus suci yang tidak bisa diganggu gugat. Walaupun pada akhir cerita dari novel, kekejaman yang dialami pribumi masih terus terjadi. Namun, Max tidak pernah berhenti berjuang. Tidak heran, para anarkis, seperti Jose Rizal, Felipe de Pablo, dan Rudolf Rocker, memuji karya Multatuli tersebut. Pramoedya sendiri pernah mengatakan bahwa Max Havelaar adalah novel yang berhasil membunuh kolonialisme (Putar, 2018).

Refleksi May Day 2025

Aksi hari buruh internasional pada tanggal satu Mei kemarin mengundang banyak pro dan kontra di sosial media. Aksi yang berakhir ricuh dan saling tangkap, menciptakan benang kusut  di lingkungan internal sendiri. Atmosfer ketakutan juga masih dirasakan oleh banyak pihak. Bahkan, pasca aksi tersebut, dua orang mahasiswa Undip juga ditangkap oleh pihak Polrestabes Semarang dengan dalih telah melakukan kekerasan dan penyekapan.

Tidak berhenti sampai disitu, pihak Polrestabes Semarang juga memberikan narasi-narasi yang tidak seimbang terhadap kaum anarko. Mereka hanya melihat anarko sebagai dalang kerusuhan, tanpa mempertimbangkan akar yang menyebabkan aksi tersebut terjadi. Mereka hanya melihat pembakaran ban, lempar petasan sebagai bentuk tindakan merusak fasilitas umum  yang segera harus dibereskan. Apalagi, dalam waktu yang berbarengan, kelompok buruh yang juga hadir dalam aksi kemarin memberikan nuansa damai. Lagu kebangsaan dan lantunan sholawat turut mewarnai  absurditas aksi kemarin. Jika sudah begini, lengkap sudah framing negatif terhadap teman-teman anarko Semarang.

Framing melalui media memang memiliki peran besar dalam membentuk opini masyarakat. Melalui hegemoni wacana, para birokrat bisa memengaruhi kebiasaan, budaya, dan kepercayaan. Kecenderungan pemanfaatan media dibentuk oleh para birokrat untuk mempertahankan kekuasaan dari gerakan yang menginginkan perubahan. Mereka menciptakan narasi yang cenderung emosional. Memanipulasi publik sampai batas di mana kebenaran menjadi sangat sulit untuk dipahami di dunia yang penuh dengan kepentingan ini. Alhasil, kapitalisasi narasi seringkali digunakan untuk menjatuhkan orang-orang yang tidak sejalan dengan kepentingan politik kekuasaan (baca: subaltern).

Bagi para birokrat, suara-suara dari subaltern harus dipinggirkan, kalau perlu dibumihanguskan. Suara mereka lebih berbahaya, lebih api daripada api,  kalau kata Aan Mansyur. Pemerintah yang ingin mempertahankan kekuasaan akan sangat tidak mungkin memberikan ruang adil bagi subaltern untuk menyampaikan pendapatnya.  Mari kita ambil contoh pada tanggal 13 Maret, ada sekitar ratusan orang datang merobohkan  joglo yang akan digunakan oleh petani Pundenrejo untuk beribadah dan aktivitas perjuangan.

Jika sudah begini, pertanyaannya, pernahkah Polrestabes Semarang mengatakan tindakan tersebut sebagai bagian dari anarkis? Padahal pola antara anarko dan rombongan tersebut memiliki kesamaan, yaitu merusak fasilitas umum. Sampai tulisan ini terbit, saya tidak bisa menemukan pernyataan tersebut dari Polrestabes Semarang. Jadi sangat tidak berlebihan apabila kita mengatakan bahwa polisi adalah institusi pilih kasih, meng-anakitiri-kan masyarakat yang tidak patuh pada ego penguasa.  

Apa Nasib Selanjutnya?

Setiap individu bisa menjadi nabi bagi dirinya sendiri. Kepercayaan bahwa pada dasarnya manusia mampu mengembangkan atau menemukan makna hidup dengan bantuan nalar dan nurani yang ada dalam dirinya, merupakan hakikat individu itu sendiri. Anugerah ini adalah hak yang perlu dan harus dijaga. Kita harus mulai, perlu memahami betapa pentingnya hak untuk bersuara, hak untuk hidup layak, hak untuk mendapatkan kesejahteraan; dan hak untuk menentang bentuk pemerintahan yang korup.

Kekuasaan yang tidak pernah diawasi hanya akan menjadi malapetaka bagi masyarakat dan individu sendiri. Hanya dengan menjaga solidaritas (karena hanya itu yang kita punya) perlu dipertahankan. Maka, meminimalisir konflik horizontal adalah usaha bersama agar tidak perlu berputar pada permasalahan yang tidak perlu. Saya meyakini bahwa setiap individu yang menginginkan kebebasan adalah anarkis. Meski mereka tidak pernah menyebut diri mereka sebagai anarkis.

Sikap anarko memang tidak selalu sejalan dengan gerakan lain, akan tetapi perbedaan pandangan tersebut tidak harus dilihat sebagai momok. Kegagalan aksi Hari Buruh Internasional kemarin di Semarang bukanlah aib dan konsistensi dalam berjuang adalah jalan terbaik untuk menciptakan masyarakat yang merdeka dari kekuasaan otoriter. Walaupun kita perlu mengkritik keras terhadap heroisme para anakro yang sia-sia, karena bagaimanapun juga, sejak aksi Mei 2025 kemarin, gerakan Semarang menjadi terhenti. 

Semangat dan kesadaran atas perjuangan  masyarakat Indonesia perlu dipertahankan meski secara perlahan, karena sejatinya, sejak zaman penjajahan hingga 79 tahun kemerdekaan, pada dasarnya Indonesia hanya mencicip kebebasan semu. Mentalitas kaum terjajah akibat dari imperialisme eropa sebenarnya masih tertanam di dalam alam bawah sadar masyarakat Indonesia. Rasa rendah diri mirip seperti budak yang tunduk pada negara, kapital, dan para feodal haruslah segera disingkirkan. Perjuangan belum selesai.

Semangat budaya Indonesia adalah budaya egaliter. Hal tersebut tercermin dari Kongres Sumpah Pemuda Kedua pada tahun 1928, yang menghasilkan ikrar bahwa bahasa Indonesia sebagai persatuan bangsa. Bahasa Indonesia yang saat itu belum sepenuhnya dewasa bukanlah sebuah pertaruhan di atas meja judi dengan segala spekulasi kemungkinannya. Melainkan sebuah kesadaran kolektif atas cita-cita yang diperjuangan. Meski harus melalui darah.

Saya tidak ingin masuk ke dalam simplifikasi bahwa anarkisme menolak negara. Meskipun saya sependapat pada Farhan Prabulaksono, mantan Pimred LPM Hayamwuruk 2024,  bahwa negara, imperialisme, dan kapitalisme lah yang secara langsung telah membuat masyarakat Indonesia berkubang dalam kebodohan serta staganisasi. Maka perlu adanya revolusi secara menyeluruh terhadap sistem yang sudah terlalu lama membusuk ini. Para pemegang kekuasaan dari eksekutif hingga instansi kepolisian yang saat ini sedang berkuasa telah mencederai bangsa Indonesia.  Tanpa revolusi, kebebasan hanyalah menjadi omong kosong.

 

Penulis: Diaz

Editor: Cattleya

Daftar Pustaka

Berkman, A. (1929). Now and After: The ABC of Communist Anarchism. New York: Vanguard Press. Retrieved from What Is Communist Anarchism?

Goldman, E. (2009). Anarchism and Other Essays. New York-London: Mother Earth Publishing Association.

Malatesta, & Errico. (1984). Anarchism and Violence. Liberty. Retrieved from marxists.org.

Putra, B. S. (2018). Perang yang Tidak akan Kita Menangkan: Anarkisma dan Sindikalisme dalam Pergerakan Anti-Kolonial hingga Revolusi Indonesia (1908-1948). Yogyakarta: Pustaka Catut.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top