Tubuh yang Dicintai dan Dikhianati

Sumber: Suara.com

Identitas Film

Judul : Kucumbu Tubuh Indahku

Sutradara : Garin Nugroho

Penulis Skenario : Garin Nugroho

Produser : Ifa Isfansyah

Produksi : Fourcolours Films

Tahun Rilis : 2018

Durasi : 106 menit

Genre : Drama, Biografi, Seni

Aku duduk menyaksikan tubuh-tubuh menari, bukan untuk hiburan, tapi karena mereka sedang mencari dirinya sendiri. Di antara gerak gemulai dan tatapan kosong, tubuh Juno berdiri sebagai lambang yang rapuh sekaligus kuat: tubuh yang dipeluk lalu dibuang, dicintai lalu dilukai, ditonton lalu dicaci. Itulah Kucumbu Tubuh Indahku, film karya Garin Nugroho yang bukan sekadar film—ia adalah elegi tentang tubuh yang terus-menerus menjadi medan tafsir.

Juno, tokoh utama film ini, bukan manusia biasa di tengah wacana maskulinitas dominan Jawa. Ia adalah penari Lengger, laki-laki yang menarikan tubuhnya seperti perempuan, bukan karena ingin menjadi perempuan, tetapi karena tubuhnya tahu hanya di sana ia bisa bebas. Ketika ayahnya menghilang dari hidupnya dan kekerasan mengambil alih peran rumah, Juno menyusuri jalan sunyi dengan menumpang hidup pada siapa pun yang bisa memberinya rasa hangat—seorang pamannya, guru tari, warok, atau bahkan sekadar ingatan yang tak pernah betul-betul hadir.

Film ini berjalan seperti kenangan: melompat, samar, tapi menyakitkan. Tidak ada ledakan drama, yang ada adalah gerak pelan yang menusuk. Gambar-gambar Garin terasa seperti lukisan klasik yang ditimpa trauma. Musik dan tari bukan tempelan, melainkan nyawa. Sinematografinya menari bersama Juno, tubuh digerakkan, kamera merekam pelan, seperti kita diminta menyaksikan sebuah tubuh yang dibedah tanpa pisau. Inilah kekuatan film tersebut, ia tidak menggurui, tetapi menampakkan. Ia tidak berteriak, tapi menelanjangi luka.

Di sinilah tubuh menjadi wacana. Juno adalah tubuh yang dipertanyakan sejak awal—terlalu lembut untuk menjadi “laki-laki,” terlalu kuat untuk disamakan dengan perempuan. Ia adalah ruang abu-abu yang tidak nyaman bagi masyarakat yang mencintai kepastian. Film ini tidak memberi label “gay” atau “trans,” yang dihadirkan adalah pengalaman tentang bagaimana tubuh menjadi arena tarik-menarik antara identitas, kekuasaan, dan trauma. Kita melihat betapa identitas gender tidak pernah tunggal. Ia cair, ia menyesuaikan, ia mencari ruang untuk hidup.

Namun, ruang itu tidak tersedia. Kucumbu Tubuh Indahku ditolak di banyak kota. Dituduh mempromosikan LGBT, dianggap berbahaya bagi moral bangsa. Ada yang mencaci film ini tanpa menontonnya. Ada yang melarangnya tanpa memahaminya. Ironis. Sebuah karya seni yang justru mengajak merenung malah dihakimi sebagai ancaman. Tapi mungkin begitulah tubuh, ia terlalu politis untuk sekadar dianggap tubuh.

Penolakan itu memperlihatkan kegagalan kita dalam mendengar. Masyarakat belum siap menghadapi tubuh yang berbeda dari narasi utama. Tubuh yang menari seperti Juno dianggap salah arah, padahal bisa jadi justru ia yang paling jujur. Sementara tubuh kita sendiri sibuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial, Juno berdiri sebagai tubuh yang menolak dikendalikan. Ia tidak berteriak: ia menari. Tarian itu menjadi bentuk perlawanan paling halus, dan paling menyakitkan.

Dalam dunia film Indonesia yang masih didominasi narasi-narasi heteronormatif dan maskulinitas yang toxic, kehadiran Kucumbu Tubuh Indahku adalah semacam keganjilan yang dibutuhkan. Ia tidak menjual cinta, tidak memaksakan romantisme. Ia menawarkan kejujuran yang kasar, tentang bagaimana tubuh bisa patah tanpa luka, bisa menangis tanpa suara.

Juno adalah kita, adalah siapa pun yang pernah merasa tidak diterima hanya karena tidak sesuai dengan script masyarakat. Film ini membuat kita bertanya, mengapa kita takut pada tubuh yang berbeda? Mengapa kita sibuk menyusun moral untuk menolak kehadiran yang sunyi? Mengapa kita menolak melihat, padahal tubuh itu hanya ingin menari?

Kucumbu Tubuh Indahku adalah film yang tidak akan disukai semua orang. Ia sunyi, ia rumit, ia membuat tidak nyaman. Tapi di balik itu semua, ia penting. Penting karena keberanian, penting karena kejujuran, penting karena ia mewakili suara yang sering dibungkam. Di tengah riuhnya dunia yang sibuk menyalahkan tubuh, film ini datang untuk bertanya: apa yang sebenarnya membuat kita takut?

Mungkin jawabannya adalah: karena tubuh yang bebas terlalu jujur untuk kita terima.

 

Penulis: Ratu

Editor: Marricy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top