
Pada awal bulan Mei 2025, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan mengumumkan akan menerbitkan buku babon baru sejarah “resmi” Indonesia yang akan diterbitkan pada 17 Agustus 2025. Penulisan buku ini berjumlah 10 jilid dan melibatkan lebih 100 sejarawan serta para ahli lainnya dari berbagai universitas di Indonesia. Dilansir dari Antara Jatim, tujuan dari penulisan ulang ini berdasarkan penuturan Menteri Fadli Zon sebagai update version/revisi penambahan buku sejarah Indonesia. Selain itu, terdapat bagian-bagian peristiwa sejarah yang akan direvisi, ataupun diluruskan dengan mengklaim terdapat penemuan benda dan data terbaru, khususnya pada periode pra-sejarah. Rencananya buku babon sejarah resmi ini juga akan digunakan sebagai acuan buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Tentu saja penulisan ulang ini langsung mendapatkan kritik oleh para kalangan masyarakat, khususnya para aktivis dan akademis lain. Permasalahannya dimulai dari pemberitahuan yang terasa mendadak sampai transparansi isi konten buku (seperti penggantian nama “Prasejarah” menjadi “Sejarah Awal” dan “Orde Lama” menjadi “Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi,” peminggiran peran perempuan dan pelanggaran HAM dalam sejarah, serta pemutihan masa lalu Presiden Soeharto).
Polemik buku sejarah resmi Indonesia bukanlah hal yang baru, melainkan ini sudah terjadi sejak tahun 1970-an, tetapi pengaruhnya masih terasa sampai sekarang. Apa yang dilakukan oleh pemerintah sekarang dalam menulis ulang sejarah resmi ini takutnya bukan untuk meluruskan, tetapi membelokkan narasi sejarah.
Penggunaan masa lalu sebagai alat legitimasi suatu pemerintahan negara yang berkuasa merupakan cara yang dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Penerbitan buku-buku babon sejarah resmi sebelumnya berjudul Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang terdiri dari 6 jilid (sebelum edisi mutakhir) tahun 1975 awalnya merupakan sebuah langkah “keberhasilan” para sejarawan Indonesia dalam menuliskan sejarah Indonesia dengan pendekatan “Indonesia-sentris.” Namun, buku-buku ini menuai kontroversi, khususnya jilid 6 dimana narasi militer lebih memainkan peran, ketidakjelasan kerangka acuan, dan lain-lain. Permasalahan pokok pada buku SNI, yang juga harus menjadi pembelajaran bagi penulisan ulang sejarah resmi, terletak pada pendekatannya yang lebih menonjolkan aspek politik dan militernya.
Michael Wood dalam “Sejarah Resmi Indonesia Modern: Versi Orde Baru dan Penantangnya,” menyimpulkan inti sejarah yang disampaikan oleh Orba adalah Majapahit, yang dijelaskan dan dirayakan oleh rezim Soeharto berupa Majapahit yang Jawa, Hindu, tertata dengan baik dan memiliki militer yang kuat. Fokus scope lingkungan yang hanya berfokus pada Pulau Jawa (dan Sumatra) menyebabkan daerah lainnya seperti Papua, Maluku, Kalimantan, dll., seakan disingkirkan dari bingkai penulisan sejarah Indonesia. Kelemahan lain dari penulisan sejarah “resmi” ini dengan pendekatan historiografi nasional hanya memberikan ruang kecil kepada orang biasa sebagai pelaku sejarah, sedangkan tokoh-tokoh besar sering tampil dalam narasi sejarah. Padahal orang biasa/wong cilik juga memiliki suatu pengalaman peristiwa mereka sendiri yang juga harus layak diangkat dalam halaman sejarah nasional. Ini justru mengabaikan peran mereka seperti dalam sejarah pergerakan buruh, sejarah gender, sejarah perempuan, sejarah perlawanan lokal, sejarah intelektual lokal, dan lain-lain.
Bukan hanya itu saja, sejarah yang dialami oleh individu-individu yang terdampak dalam peristiwa pelanggaran hak asasi manusia tetap menjadi topik kontroversial, padahal peristiwa tersebut bisa menjadi pengingat masa kelam dalam sejarah Indonesia sebelumnya sebagai pembelajaran bagi generasi masa depan yang kritis. Ironisnya, dalam penulisan ulang sejarah “resmi” (rencananya) hanya memasukkan dua peristiwa pelanggaran HAM berat saja, tanpa melihat sama sekali peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia semasa Orba (dan bahkan Orla). Dan dalam edisi pemutakhiran SNI Jilid 6 mereka mencoba untuk memasukkan enam sub-bab topik pelanggaran HAM di Indonesia, tapi narasinya menganggap pihak pemerintah sebagai pihak yang tidak bersalah sedangkan para korban-korban yang terdampak dituduh sebagai kelompok yang mau mengancam integritas dan keamanan negara.
Mereka kemudian mencoba menerbitkan buku sejarah “resmi” lainnya setelah kejatuhan Orba berjudul “Indonesia dalam Arus Sejarah” (IDAS) terdiri dari 9 jilid yang tujuannya untuk menggantikan SNI. Walaupun IDAS telah memasuki beberapa sumber terbaru, mereka tetap memiliki kelemahan seperti masih berpusat Jawa-sentris dan tidak memasuki banyaknya topik kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada masa Orba ke dalam buku.
Setelah Orba runtuh dan memasuki masa Reformasi, menurut Asvi Warman Adam dalam bukunya berjudul “Pelurusan Sejarah Indonesia”, historiografi Indonesia/nasional memasuki gelombang baru yang dinamakan “reformasi sejarah”, dimana informasi dan data-data sejarah kontroversial yang ditulis semasa Soeharto berkuasa diluruskan/direvisi maupun ditambahkan. Hal ini juga ditandai dengan mulainya mengalir terbitan buku-buku sejarah dari sudut pandang para korban Orba dan akademis untuk memberikan ruang baru dalam menjelaskan/menceritakan topik sejarah Indonesia yang masih dianggap tabu/belum diketahui sebelumnya. Tujuan dari pelurusan ini adalah menjadikan sejarah yang awalnya seragam menjadi beragam. Dikutip dari buku yang sama, suatu peristiwa tidak bisa “diraih” oleh sejarawan secara langsung dan utuh, diperlukan dokumen dan kesaksian dari para pelaku peristiwa itu sendiri, walaupun pada nantinya bakal terdapat berbagai versi. Sebuah pelurusan sejarah merupakan upaya (setidaknya) dalam menyelesaikan masalah masa lalu bangsa untuk mengungkapkan hal-hal kontroversi dan tabu pada masa lampau.
Sejarah tidak bisa digunakan sebagai alat penindas, melainkan sebagai wahana pembebas dan fenomena pro-kontra terhadap suatu topik sejarah justru memperkaya pemikiran masyarakat. Dengan dibukanya kembali arsip dan sumber lain yang sebelumnya dilarang/sengaja disembunyikan selama bertahun-tahun, kita dapat memperoleh informasi baru dalam mengungkapkan suatu peristiwa kelam/belum terungkap di Indonesia. Selain itu, kita juga dapat menilai sendiri mengenai kompleksitas tindakan dan atau pandangan suatu perorangan/kelompok tertentu yang akhirnya berdampak terhadap kehidupan sekarang melalui informasi baru ini.
Perspektif terhadap sejarah nasional sendiri pada masa sekarang masih sering rawan distorsi akibat pihak-pihak yang menganggap suatu narasi yang dianggap sensitif perlu ditangkal. Ini justru membuat narasi sejarah bukan hanya mempertanyakan kredibilitasnya, tetapi menghina para korban/pelaku yang terdampak. Tidak ada namanya “tone positif” dalam narasi sejarah, yang ada seharusnya perbaikan fakta dan kebenaran informasi. Pemerintah seharusnya sudah tahu dengan terbukanya informasi baru masyarakatnya sudah mulai memperoleh pengetahuan sejarah yang sebelumnya belum diketahui sebelumnya, baik melalui terbitan buku baru, film dokumenter, maupun konten video mengenai penjelasan sejarah seperti dari youtube, Instagram, tiktok, dan media sosial lainnya.
Untuk sekarang, pelabelan “resmi” pada penulisan ulang “sudah” dihapus, walaupun kita harus tetap waspada dan memonitor bagaimana proses selanjutnya.
Penulis: Mahes
Editor: Diaz