Lawatan ‘Bandeng Keliling’ Kolektif Hysteria Tiba di Kebumen, Bagikan Cara Konsisten: Kolektif Tuh Kayak Istri

Dok. Titik Kumpul

Lawatan ‘Bandeng Keliling’ yang diinisiasi oleh Kolektif Hysteria, tiba di pemberhentian ke enam tepatnya di Kabupaten Kebumen, pada hari Selasa (11/04/25).

Dalam tour kali ini, Kolektif Hysteria berkolaborasi dengan Komunitas Titik Kumpul, dengan tema ‘Srawung Ben Ra Suwung’. Bertempat di Markas Besar (Mabes) Titik Kumpul yang terletak di jalan Jatijajar Nomor 16, Demangsari, Kecamatan Ayah, acara yang dimulai dengan pemutaran film “Legiun Tulang Lunak: 20 Centimeters per Year.”

Pasca pemutaran film, acara dilanjut dengan sesi diskusi dengan narasumber Yuswinardi dari Kolektif Hysteria. Serta, Ufi Khasiful Aqli perwakilan dari Titik Kumpul, yang dipandu oleh Ade Okta selaku moderator.

Selama diskusi, karena beberapa audiens yang datang mayoritas dari Komunitas Titik Kumpul, pembahasan kali ini lebih mengarah dinamika Kolektif Hysteria selama berkecimpung di ranah seni-budaya dan isu perkotaan dalam kurun waktu dua dekade.

Ade Okta selaku moderator acara, menanyakan ke Yuswinardi perihal alasan dibalik kebertahanan Kolektif Hysteria yang dia inisiasi sejak 2004, bisa bertahan sampai dengan hari ini.

Ia berharap hal yang sudah dicapai Kolektif Hysteria, bisa menjadi suatu pantikan bagi teman-teman di Kebumen terkhususnya Komunitas Titik Kumpul.

“Di Komunitas Titik Kumpul sendiri, keutuhan-keutuhan komunitas makin hari makin terkikis, sedangkan Hysteria dari 2004 sampai dengan 2025 Kolektif Hysteria masih bisa langgeng, itu gimana mas yus?” tanyanya.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Yuswinardi menjelaskan bahwa menjaga keberlangsungan sebuah kolektif bukanlah hal yang mudah, terutama dalam hal regenerasi. Namun, ia menegaskan bahwa regenerasi adalah sesuatu yang wajib dilakukan agar visi kolektif tidak terputus di tengah jalan.

“Kami sadar meregenerasi bukan lah suatu hal yang mudah, tapi kami sadar bahwa itu harus, kalau nggak gitu apa yang kami bayangkan akan terputus.” jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa komunitas yang telah bertahan lebih dari lima tahun biasanya telah melewati fase kritis. Setelah melewati fase tersebut, tantangan berikutnya adalah mempertahankan konsistensi dan ketahanan.

“Kan Titik Kumpul sudah berusia 7 tahun, nah biasanya kalau udah kelewat 5 tahun itu sudah melewati fase kritis, setelah itu tinggal ketahanan aja yang membuktikan.” imbuhnya.

Menurutnya, menjaga kekonsistenan dalam berkomunitas maupun kolektif suatu yang sulit karena setiap anggota memiliki motif, kepala, dan alasan yang berbeda-beda. Termasuk ketika seseorang merasa lelah untuk terus mengurus kolektif.

“Ketahanan itu kan motifnya masing-masing mas, itu hal yang nggak mudah banyak kepala banyak motif, banyak alasan juga ketika misalnya kalau ada yang capek ngopeni (merawat) kolektif,” ungkapnya.

Bagi Yuswinardi dan teman-teman di Hysteria, kolektif bukan sekadar organisasi belaka, melainkan seperti pasangan hidup yang harus dijaga dan dirawat. Dia bahkan menyamakan keberadaan kolektif dengan seorang istri yang tidak terbayangkan untuk ditinggalkan begitu saja.

“Kolektif bagi kami (Kolektif Hysteria) tuh kayak istri, jadi kami menikahi kolektif tidak terbayangkan kalau kami tidak ngopeni kolektif.” ujarnya.

Mas Yus menimpali pernyataan sebelumnya, meski kegiatan yang dia dan teman-teman Hysteria lakukan sering kali dianggap tidak penting oleh orang lain. Mereka tetap menjalankannya karena kegiatan tersebut memiliki makna yang besar bagi diri mereka sendiri. Hal itu menjadi alasan mengapa mereka tetap konsisten membuat program dan kegiatan di kolektif.

“Akhirnya kami balik lagi bikin program, bikin kegiatan yang kami juga tau itu tidak ada nilainya apa-apa bagi orang lain, tapi bagi kami itu penting meski bagi orang lain itu tidak penting.” timpalnya.

Dari proses tersebut, Yus dan teman-temannya yang berkegiatan di Kolektif Hysteria, kemudian menemukan pemahaman baru bahwa setiap kegiatan seharusnya memiliki dampak. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menyasar kampung-kampung dan menularkan gagasan-gagasan pemberdayaan, sebagai bentuk konsistensi mereka dalam berkarya dan berjejaring dengan masyarakat.

“Akhirnya kami menemukan hal baru, bahwa apa yang kita lakukan harus berdampak akhirnya, kami memutuskan untuk masuk ke kampung-kampung untuk menularkan gagasan untuk berdaya, setelah proses panjang itu bagaimana kami tetap bisa konsisten” pungkasnya.

Dalam agenda Tur Lawatan Jalan Terus “Bandeng Keliling” Kolektif Hysteria datang ke beberapa kota yang tersebar di pulau Jawa dan Bali.

Tur kali ini, Hysteria berbagi perjalanan selama dua puluh tahun berkecimpung di ekosistem seni-budaya Kota Semarang, yang terdokumentasikan dalam dua karya yakni Film dan buku. Untuk dibagikan dalam sebuah sesi diskusi dengan komunitas maupun kolektif yang tersebar di 30 titik pemberhentian.

Program tersebut juga masuk dalam Event Strategis Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) 2025, melalui dukungan Dana Indonesiana.***

Penulis: Yasin Fajar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top