Oleh : Iqbal Firmansyah*
Reporter : Mitra dan Shinta
Gambar: Yuyun, salah satu peserta Dharmasiswa TA 2011/2012
Sebagian besar mahasiswa FIB Undip pasti pernah melihat atau menjumpai mahasiswa asing di sekitar kampus. Mereka terlihat mengikuti perkuliahan dan berbaur dengan mahasiswa dari Indonesia. Mereka tidak canggung bahkan akrab dengan mahasiswa yang ada di FIB. Mereka juga tidak malu membeli makanan dari pedagang keliling yang biasa berjualan di tempat parkir sebelah selatan Gedung Sejarah. Hal tersebut mendorong rasa keingintahuan tim Hayamwuruk tentang perihal keberadaan mahasiswa asing tersebut. Lalu apa tujuan mereka berkuliah di Indonesia? Untuk menjawab rasa keingintahuan itu, Hayamwuruk mewawancarai Muzakka, dosen Sastra Indonesia yang membawahi bidang mahasiswa asing yang sekaligus pembimbing mereka selama masa studi.
“Dharmasiswa adalah suatu program yang dimunculkan oleh pemerintah RI. Dalam hal ini lewat Kementrian Pendidikan Nasional, program itu diberikan kepada orang asing yang akan belajar bahasa dan kebudayaan Indonesia” tutur Muzakka saat ditemui tim Hayamwuruk di Kantor Jurusan Sastra Indonesia.
Mahasiswa asing datang dan belajar di Indonesia karena pemerintah ingin memberi kesempatan kepada masiswa luar negeri yang tertarik dengan bahasa dan kebudayaan Indonesia. Mereka mendapat beasiswa dari pemerintah Indonesia untuk tinggal di Indonesia selama satu tahun. Namun, ada juga yang hanya enam bulan.
Dari tahun ke tahun, selama pelaksanaan program dharmasiswa, jumlah peserta selalu bertambah. Semula hanya berjumlah 100 atau kurang dari 100 peserta, kemudian pada periode 2011/2012 jumlah peserta mencapai 600 sampai 700 di seluruh Indonesia. Peserta dharmasiswa kemudian menyebar di lebih dari empat puluh perguruan tinggi, baik yang berstatus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS), meskipun yang paling banyak diminati adalah PTN. Awalnya, sekitar akhir tahun 60-an, program seperti ini tidak ditujukan untuk mahasiswa tapi untuk para pakar atau profesor-profesor dari luar negeri. Mereka diundang oleh pemerintah untuk mengajar di Indonesia. Selama di Indonesia, mereka tidak dibiayai oleh perguruan tinggi tempat mereka mengajar, namun dibiayai langsung oleh pemerintah pusat.
Awal 70-an, orientasi program mulai ditujukan bagi mahasiswa yang ingin belejar kebudayaan Indonesia dengan langsung mendatangi tempat kebudayaan itu berasal. Program pemerintah ini terus berlanjut dan menambah kuota peserta pada tahun 2006.
Mahasiswa asing yang ada di FIB pada tahun 2006 hanya berjumlah 4 orang, begitu pun di tahun 2007. Sekarang jumlahnya sudah mencapai di atas sepuluh orang. Jumlah ini terjadi pada kurun waktu tiga tahun terakhir, dimulai tahun ajaran 2009/2010 hingga sekarang.
Pada tahun ajaran 2011/2012 jumlah mahasiswa asing yang diterima di FIB sebanyak 16 orang. Namun pada akhirnya mahasiswa yang datang ke FIB hanya berjumlah 15 orang. Satu mahasiswa lagi tidak jadi ke FIB walau sudah ke Indonesia. Hal ini dikarenakan ia adalah mahasiswa hasil kerja sama antara Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) dengan salah satu universitas di Jerman, ia lebih memilih untuk belajar di FKM Undip. Mahasiswa asing yang belajar di FIB berasal dari beberapa negara di dunia; 1 orang dari Cheko, 1 orang dari Madagaskar, dan 13 orang dari Vietnam. Alasan banyaknya jumlah mahasiswa asing yang berasal dari Vietnam karena sudah terjalin MOU antara Universitas Diponegoro dengan Universitas Sosial Humaniora yang ada di Vietnam.
Berkenaan masalah pendanaan program dharmasiswa, Universitas Diponegoro menyediakan dana khusus yang dianggarkan melalui dana DIPA. Selain itu ada juga dana management fee dari Kementrian Pendidikan Nasional. Posisi FIB dalam hal ini hanya sebagai tempat para mahasiswa asing belajar karena memiliki prodi sastra Indonesia yang mendirikan program bahasa Indonesia untuk orang asing. Selain belajar bahasa Indonesia, mahasiswa asing juga diperkenalkan dengan kebudayaan Indonesia.
Besarnya jumlah uang beasiswa yang diterima para mahasiswa asing dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Awalnya hanya satu juta rupiah per bulan, meningkat menjadi satu setengah juta rupiah, sekarang menjadi dua juta rupiah per bulan. Semua uang berasal dari Kementrian Pendidikan Nasional, sedangkan universitas hanya memberikan dana operasional penyelenggaraan di fakultas saja.
Program dharmasiswa ini diharapkan dapat mengakomodir mahasiswa asing yang telah lulus S1 untuk bisa kembali lagi ke Indonesia melanjutkan studi S2 mereka di Undip. Menciptakan hubungan yang baik antara universitas di Indonesia dengan universitas yang ada di luar negeri. Selanjutnya dapat terjalin kerja sama yang saling menguntungkan antara mahasiswa asing dengan universitas yang mereka tempati.
Banyaknya mahasiswa asing di Undip, khususnya di FIB juga menjadi nilai tambah bagi FIB, karena mahasiswa tidak hanya berasal dari dalam negeri. Hal ini akan berpengaruh dalam menopang kekutan Undip kaitannya dengan akreditasi universitas. Karena posisi yang strategis inilah, Undip bersedia mendukung dana bagi fakultas. “Sementara ini yang menopang kekuatan Undip kaitannya dengan akreditasi adalah adanya mahasiswa asing, dan mahasiswa asing yang paling banyak adalah berada disini” ungkap Muzakka.
Tim Hayamwuruk ingin mengenal lebih dekat salah satu mahasiswa asing yang sedang menuntut ilmu di FIB. Ia adalah Yuyun, mahasiswi asal Vietnam. Ia mempunyai nama Vietnam Nguyen Le Hoang Diem, Yuyun adalah nama Indonesia agar lebih mudah dipanggil. Selain itu, diharapkan juga lebih akrab dengan dosen dan teman-temannya. Sebelum datang ke Indonesia, ia adalah mahasiswi Universitas Sosial Humaniora di Vietnam, mengambil jurusan Asia Tenggara. Ia masuk kuliah pada tahun 2008 dan sekarang sudah memasuki semester 8, hingga akhirnya ia mendapat beasiswa dan bisa melanjutkan kuliahnya di Indonesia.
Mahasiswi kelahiran 24 Mei 1990 yang memilih kos di daerah Baskoro ini sudah cukup lancar berbahasa Indonesia, karena sebelumnya ia belajar bahasa Indonesia terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Indonesia. Kronologis kedatangannya ke Indonesia adalah ketika ia mengetahui bahwa pemerintah Indonesia mengadakan program dharmasiswa yang ditujukan kepada mahasiswa dari berbagai negara yang ingin belajar di Indonesia. Ia lalu berusaha mencari informasi dan menjalani proses seleksi program tersebut. Ia diterima dan akhirnya berangkat ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta ia menginap di hotel selama 5 hari bersama mahasiswa-mahasiswa lain dari berbagai negara dari berbagai penjuru dunia.
Saat di Jakarta mereka dibebaskan untuk memilih universitas mana yang akan dimasuki. Akhirnya pilihan Yuyun jatuh pada Universitas Diponegoro. Alasannya karena Undip adalah universitas terbesar dan terbaik se-Jawa Tengah selain universitas lain di D.I.Y. Sedangkan alasan memilih Fakultas Ilmu Budaya karena ingin mempelajari budaya dan bahasa Indonesia.
Pengalamannya di Indonesia tidak hanya sebatas di Semarang saja. Ia juga pernah ke kota Yogyakarta, Solo dan Bandung. Namun Ia tetap menyukai kota Semarang karena Semarang adalah ibu kota Jawa Tengah dan jika dibandingkan dengan kota-kota lain, Semarang adalah kota yang paling berkembang. Rencananya Ia akan berada di Semarang selama satu tahun untuk menyelesaikan kuliah semester akhirnya di Indonesia.
Mahmudah, salah seorang mahasiswi teman Yuyun mengungkapkan adanya mahasiswa asing di FIB merupakan pengalaman berharga dan bisa menambah motivasi dalam belajar. Ia juga bangga memiliki teman lintas negara. Selain itu ia juga bisa berbagi cerita, bertukar informasi tentang kebudayaan masing-masing. Meskipun sedikit terkendala dengan masalah bahasa, ia tetap sabar menjelaskan setiap kata yang diucapkan ketika sedang berbincang atau mengulang kembali penjelasan dosen yang diberikan saat kuliah.
Permasalahan bahasa juga dialami oleh Hermintoyo, salah satu dosen yang pernah mengajar mahasiswa asing di FIB. “Yang jelas awalnya ya ada, karena mereka kan tidak tahu bahasa Indonesia, kalau pun tahu ya hanya sedikit.” ujarnya. Namun ia memiliki cara tersendiri untuk mengajarkan bahasa Indonesia kepada mahasiswanya yang berasal dari luar negeri, yakni dengan cara memperagakan, memakai bahasa non verbal kata yang Ia ucapkan, melukis atau menggambar benda yang Ia maksud, dan memperbanyak sinonim kata. Harapannya, mereka bisa berbahasa Indonesia atau minimal tahu maksud ketika ada orang berbicara dalam bahasa Indonesia.***
*Penulis dan reporter merupakan peserta Magang LPM Hayamwuruk 2011. Reportase ini sebelumnya diterbitkan di Hawe Buletin 4/Maret/2012 Edisi Magang.