Sebuah trem melaju pelan di
Amsterdam. Di dalamnya, seorang berkulit sawo matang duduk tenang. Beberapa
saat kemudian, seorang kulit putih beringsut mendekatinya. Pria itu lebih tua
darinya. Kumisnya kasar keperakan, jenggotnya dipotong rapi membentuk V,
membuat dagunya terlihat lebih lancip. “Anda Tan Malaka?” tanya pria berkulit
putih itu. Yang ditanya heran bukan kepalang. Ia tak kenal pria itu.
Amsterdam. Di dalamnya, seorang berkulit sawo matang duduk tenang. Beberapa
saat kemudian, seorang kulit putih beringsut mendekatinya. Pria itu lebih tua
darinya. Kumisnya kasar keperakan, jenggotnya dipotong rapi membentuk V,
membuat dagunya terlihat lebih lancip. “Anda Tan Malaka?” tanya pria berkulit
putih itu. Yang ditanya heran bukan kepalang. Ia tak kenal pria itu.
Pria kulit putih itu lalu
memperkenalkan diri sebagai Janssen, Direktur Senembah Maatschappij, sebuah perkebunan di Tanjungmorawa, Deli. Ia
tertarik pada ceramah-ceramah Tan Malaka tentang sosialisme di Hindia. Karena
itu, ia meminta Tan Malaka untuk mengonsep sistem pendidikan bagi anak-anak
kuli kontrak di perusahannya. Ia juga minta Tan Malaka untuk mengajar di sana.
memperkenalkan diri sebagai Janssen, Direktur Senembah Maatschappij, sebuah perkebunan di Tanjungmorawa, Deli. Ia
tertarik pada ceramah-ceramah Tan Malaka tentang sosialisme di Hindia. Karena
itu, ia meminta Tan Malaka untuk mengonsep sistem pendidikan bagi anak-anak
kuli kontrak di perusahannya. Ia juga minta Tan Malaka untuk mengajar di sana.
Tan Malaka terhenyak. Sebuah
kesempatan besar! Selama ini ia gagal tes guru di Belanda karena berkulit sawo
matang dan kurang menguasai budaya Yahudi (materi tes tersulit baginya). Dan
sekarang tanpa tes, ia diminta menjadi guru, di Hindia pula! Telah lama Tan
Malaka berharap dapat mengajar anak-anak negerinya sendiri.
kesempatan besar! Selama ini ia gagal tes guru di Belanda karena berkulit sawo
matang dan kurang menguasai budaya Yahudi (materi tes tersulit baginya). Dan
sekarang tanpa tes, ia diminta menjadi guru, di Hindia pula! Telah lama Tan
Malaka berharap dapat mengajar anak-anak negerinya sendiri.
Gaji yang ditawarkan pun
menggiurkan; 350 gulden sebulan. Dengan uang sebesar itu ia dapat membeli tiga
buah sepeda (barang mewah saat itu), kontan. Tapi sebenarnya ia perlu uang itu
untuk mencicil hutangnya pada bapak angkatnya, seorang Belanda bernama Horensma
dan pada guru-gurunya di kampung yang meminjami uang untuk biaya studi di
Belanda.
menggiurkan; 350 gulden sebulan. Dengan uang sebesar itu ia dapat membeli tiga
buah sepeda (barang mewah saat itu), kontan. Tapi sebenarnya ia perlu uang itu
untuk mencicil hutangnya pada bapak angkatnya, seorang Belanda bernama Horensma
dan pada guru-gurunya di kampung yang meminjami uang untuk biaya studi di
Belanda.
Tanggal 8 Nopember 1919. Lima bulan
kemudian, Tan Malaka berada di atas kapal J.P.
Coen yang melaju ke Hindia. Ia menerima tawaran itu. Setiba di Deli, ia
segera mengonsep sistem pendidikan. Beberapa bulan kemudian, bersama De Way
(seorang sosialis Belanda yang pernah kursus bahasa melayu padanya), ia
menjalankan sekolah itu. Ia sunggh menyukai pekerjaan itu.
kemudian, Tan Malaka berada di atas kapal J.P.
Coen yang melaju ke Hindia. Ia menerima tawaran itu. Setiba di Deli, ia
segera mengonsep sistem pendidikan. Beberapa bulan kemudian, bersama De Way
(seorang sosialis Belanda yang pernah kursus bahasa melayu padanya), ia
menjalankan sekolah itu. Ia sunggh menyukai pekerjaan itu.
Tapi itu tak bertahan lama. Dua
tahun kemudian, sikap Tan Malaka berubah. Belakangan, ia mengetahui bahwa gaji
dan fasilitas yang dinikmatinya adalah hasil perasan keringat dan darah para
kuli kontrak, orang tua murid-muridnya. Di bukunya Pendjara, ia menggambarkan penderitaan mereka secara detail.
tahun kemudian, sikap Tan Malaka berubah. Belakangan, ia mengetahui bahwa gaji
dan fasilitas yang dinikmatinya adalah hasil perasan keringat dan darah para
kuli kontrak, orang tua murid-muridnya. Di bukunya Pendjara, ia menggambarkan penderitaan mereka secara detail.
Inilah
kelas yang memeras keringat dari pagi sampai malam; kelas yang diberi gaji
hanya cukup untuk mengisi perutnya; kelas yang tinggal di gubuk seperti kambing
di kandang; yang setiap saat bisa dipukul atau dimaki-maki dengan godverdomme; kelas yang setiap saat
harus melepaskan istri atau anak perempuan kalau ada seorang kulit putih
menyukainya… inilah kelas orang Indonesia yang dikenal sebagai kuli kontrak.
Kuli-kuli perkebunan biasanya harus bangun pukul 4 pagi, karena tempat
pekerjaan mereka jauh letaknya. Baru pukul 7 atau 8 malam boleh pulang.
Bayarannya menurut kontrak berjumlah sempat puluh sen setiap hari. Makanannya
biasanya tidak cukup untuk melakukan pekerjaan yang berat selama 8 sampai 12
jam setiap hari di bawah terik panas matahari. Pakaian mereka cepat menjadi
comang-camping karena sering bekerja di hutan. (Pendjara 1)
kelas yang memeras keringat dari pagi sampai malam; kelas yang diberi gaji
hanya cukup untuk mengisi perutnya; kelas yang tinggal di gubuk seperti kambing
di kandang; yang setiap saat bisa dipukul atau dimaki-maki dengan godverdomme; kelas yang setiap saat
harus melepaskan istri atau anak perempuan kalau ada seorang kulit putih
menyukainya… inilah kelas orang Indonesia yang dikenal sebagai kuli kontrak.
Kuli-kuli perkebunan biasanya harus bangun pukul 4 pagi, karena tempat
pekerjaan mereka jauh letaknya. Baru pukul 7 atau 8 malam boleh pulang.
Bayarannya menurut kontrak berjumlah sempat puluh sen setiap hari. Makanannya
biasanya tidak cukup untuk melakukan pekerjaan yang berat selama 8 sampai 12
jam setiap hari di bawah terik panas matahari. Pakaian mereka cepat menjadi
comang-camping karena sering bekerja di hutan. (Pendjara 1)
Akhirnya
Tan Malaka memutuskan berhenti. Ia mengundurkan diri, pindah ke Jawa, dan
terdampar di Semarang. Di sini, ia berkubang dalam pergerakan kaum merah yang
penuh lapar, keringat, dan air mata.
Tan Malaka memutuskan berhenti. Ia mengundurkan diri, pindah ke Jawa, dan
terdampar di Semarang. Di sini, ia berkubang dalam pergerakan kaum merah yang
penuh lapar, keringat, dan air mata.
Pilihan hidup Tan Malaka, di
kalangan kaum kiri dikenal dengan istilah Zu
Den Massen. Tiga kata Jerman itu adalah prinsip perjuangan kaum kiri yang
konon jadi doktrin resmi komintern. Artinya kurang lebih “turunlah ke massa
rakat”. Di Indonesia era ’60-an, konsep ini diadopsi menjadi “turba” (turun ke
bawah).
kalangan kaum kiri dikenal dengan istilah Zu
Den Massen. Tiga kata Jerman itu adalah prinsip perjuangan kaum kiri yang
konon jadi doktrin resmi komintern. Artinya kurang lebih “turunlah ke massa
rakat”. Di Indonesia era ’60-an, konsep ini diadopsi menjadi “turba” (turun ke
bawah).
Tan Malaka menjalankan prinsip itu,
jauh sebelum ia bergabung dalam PKI dan komintern. Jauh, sangat jauh sebelum
stempel “bahaya laten” dicetak ke jidat kaum komunis.
jauh sebelum ia bergabung dalam PKI dan komintern. Jauh, sangat jauh sebelum
stempel “bahaya laten” dicetak ke jidat kaum komunis.
Burukkah prinsip itu? Tidak.
Buktinya puluhan murid-murid sekolah Sarekat Islam (SI) Semarang dan orang tua
mereka, tersedu-sedan di halaman sekolah melepas Tan Malaka yang dibuang oleh
Belanda karena perjuangannya. Bagi rakyat Semarang itu, Tan Malaka adalah
seorang pejuang, meski tak berbedil.
Buktinya puluhan murid-murid sekolah Sarekat Islam (SI) Semarang dan orang tua
mereka, tersedu-sedan di halaman sekolah melepas Tan Malaka yang dibuang oleh
Belanda karena perjuangannya. Bagi rakyat Semarang itu, Tan Malaka adalah
seorang pejuang, meski tak berbedil.
Tapi bayangkan jika Tan Malaka hidup
setengah abad setelah itu, ketika Suharto berkuasa. Ia pasti ditangkap,
disiksa, dan dibunuh gara-gara menganut tiga kata ini. Atau—jika beruntung—ia
masih bisa hidup di pulau Buru, kerja paksa siang-malam (persis kuli kontrak di
perkebunan Deli).
setengah abad setelah itu, ketika Suharto berkuasa. Ia pasti ditangkap,
disiksa, dan dibunuh gara-gara menganut tiga kata ini. Atau—jika beruntung—ia
masih bisa hidup di pulau Buru, kerja paksa siang-malam (persis kuli kontrak di
perkebunan Deli).
Prinsip hidup kebanggan Tan Malaka
itu adalah racun di mata rezim orde baru. Apa saja yang terkait dengan gerakan
kiri (konsep, istilah, apalagi ideologi) dilarang, termasuk doktrin Zu Den Massen. Dengan mengambinghitamkan
PKI dan menjual tragedi tujuh jenderal korban kudeta, Suharto serta-merta
menjadi tuhan kecil yang berhak membunuh para pemegang prinsip Zu Den Massen itu (bahkan kini pun ia
masih seperti Tuhan, tak bisa disentuh hukum meski secara meyakinkan melakukan
korupsi dan state-terrorism).
Layaknya Tuhan pula, Suharto mencap kaum kiri sebagai pendosa, menanamkan
pengertian itu ke otak ratusan juta rakyat Indonesia, dan sukses!
itu adalah racun di mata rezim orde baru. Apa saja yang terkait dengan gerakan
kiri (konsep, istilah, apalagi ideologi) dilarang, termasuk doktrin Zu Den Massen. Dengan mengambinghitamkan
PKI dan menjual tragedi tujuh jenderal korban kudeta, Suharto serta-merta
menjadi tuhan kecil yang berhak membunuh para pemegang prinsip Zu Den Massen itu (bahkan kini pun ia
masih seperti Tuhan, tak bisa disentuh hukum meski secara meyakinkan melakukan
korupsi dan state-terrorism).
Layaknya Tuhan pula, Suharto mencap kaum kiri sebagai pendosa, menanamkan
pengertian itu ke otak ratusan juta rakyat Indonesia, dan sukses!
Di era kekuasaan Suharto, prinsip Zu Den Massen seketika berubah menjadi
“ayat-ayat setan”. Tak ada yang berani mengucap, mengajarkan, apalagi
memperjuangkannya. Demikian juga dengan nama tokoh-tokoh kiri pejuang
kemerdekaan macam Semaun, Darsono, atau Tan Malaka. Mereka yang semasa hidup
begitu dihormati, pada masa orde baru menjadi nama yang ditakuti atau dibenci.
Hal itu berlangsung hingga kini. Tak percaya? Coba kunjungi sekolah-sekolah
menengah (SMP/ SMU) dan tanyakan pada siswa di sana siapa Ki Hajar Dewantoro.
Dengan sigap mereka pasti menjawab “pahlawan pendidikan”. Tapi coba tanya siapa
Semaun. Yang hobi membaca buku sejarah terbitan pemerintah orde baru, pasti
menjawab “Orang PKI!” atau “Orang komunis” dengan nada kebencian. Ia, Semaun,
bukan pahlawan bagi anak bangsa ini.
“ayat-ayat setan”. Tak ada yang berani mengucap, mengajarkan, apalagi
memperjuangkannya. Demikian juga dengan nama tokoh-tokoh kiri pejuang
kemerdekaan macam Semaun, Darsono, atau Tan Malaka. Mereka yang semasa hidup
begitu dihormati, pada masa orde baru menjadi nama yang ditakuti atau dibenci.
Hal itu berlangsung hingga kini. Tak percaya? Coba kunjungi sekolah-sekolah
menengah (SMP/ SMU) dan tanyakan pada siswa di sana siapa Ki Hajar Dewantoro.
Dengan sigap mereka pasti menjawab “pahlawan pendidikan”. Tapi coba tanya siapa
Semaun. Yang hobi membaca buku sejarah terbitan pemerintah orde baru, pasti
menjawab “Orang PKI!” atau “Orang komunis” dengan nada kebencian. Ia, Semaun,
bukan pahlawan bagi anak bangsa ini.
Di negeri ini, penanda ‘kiri’,
‘komunisme’, dan ‘sosialisme’ memang hanya memiliki satu penanda; ‘bahaya
laten’. Padahal, penanda ‘kiri’ sebenarnya memiliki petanda yang agung;
‘rakyat’. Istilah ‘kiri’ mengemuka dua abad lalu di negeri Napoleon Bonaparte.
Di runag parlemen Perancis yang berbentuk “U”, para wakil rakyat (dari kalangan
rakyat menengah) memilih duduk mengelompok di sebelah kiri kursi Ketua.
Sementara para pendukung raja mengelompok di sebelah kanan. Para wakil kelas
menengah itu sering mengritik raja. Tiap kali muncul usulan dari sana, pemimpin
sidang menyebutnya “suara kiri”. Karena itu mereka lalu dijuluki “kelompok kiri”.
Dari situ, lahirlah ‘kelompok kiri’ yang memihak rakyat.
‘komunisme’, dan ‘sosialisme’ memang hanya memiliki satu penanda; ‘bahaya
laten’. Padahal, penanda ‘kiri’ sebenarnya memiliki petanda yang agung;
‘rakyat’. Istilah ‘kiri’ mengemuka dua abad lalu di negeri Napoleon Bonaparte.
Di runag parlemen Perancis yang berbentuk “U”, para wakil rakyat (dari kalangan
rakyat menengah) memilih duduk mengelompok di sebelah kiri kursi Ketua.
Sementara para pendukung raja mengelompok di sebelah kanan. Para wakil kelas
menengah itu sering mengritik raja. Tiap kali muncul usulan dari sana, pemimpin
sidang menyebutnya “suara kiri”. Karena itu mereka lalu dijuluki “kelompok kiri”.
Dari situ, lahirlah ‘kelompok kiri’ yang memihak rakyat.
Seabad kemudian, ketika kapitalisme
dan komunisme saling bersaing, karakter kiri cenderung mengada pada kelompok
komunisme dengan semboyang “sama rata sama rasa”. Semboyan ini sesuai dengan
cita-cita Revolusi Prancis; egalite
(persamaan). Selain itu, dasar utama doktrin kaum marxis (baik komunis,
sosialis, atau ekstrim kiri sekalipun) bernada kerakyatan. Kedaulatan/ keuasaan
rakyat dianggap terkhianati jika sampai ada sebagian rakyat yang miskin
sementara sebagian lain kaya raya. Baik kaum komunis maupun sosialis, sama
menghujat ketimpangan sosial dan mencita-citakan keadilan rakyat.
dan komunisme saling bersaing, karakter kiri cenderung mengada pada kelompok
komunisme dengan semboyang “sama rata sama rasa”. Semboyan ini sesuai dengan
cita-cita Revolusi Prancis; egalite
(persamaan). Selain itu, dasar utama doktrin kaum marxis (baik komunis,
sosialis, atau ekstrim kiri sekalipun) bernada kerakyatan. Kedaulatan/ keuasaan
rakyat dianggap terkhianati jika sampai ada sebagian rakyat yang miskin
sementara sebagian lain kaya raya. Baik kaum komunis maupun sosialis, sama
menghujat ketimpangan sosial dan mencita-citakan keadilan rakyat.
Pancasila, dasar negara kita pun
memiliki kecenderungan kiri. Konsep kerakyatan/ kekirian termaktub jelas dalam
butir keempat. Karenanya, jika bangsa ini takut pada konsep umum dari “kiri”,
sama artinya ia takut pada dirinya sendiri, pada bayang-bayang yang ia ciptakan
sendiri. Inilah penyakit kebangsaan yang pernah diingatkan Sukarno di Senayan.
“Jangan komunisto-phobia!” demikian katanya.
memiliki kecenderungan kiri. Konsep kerakyatan/ kekirian termaktub jelas dalam
butir keempat. Karenanya, jika bangsa ini takut pada konsep umum dari “kiri”,
sama artinya ia takut pada dirinya sendiri, pada bayang-bayang yang ia ciptakan
sendiri. Inilah penyakit kebangsaan yang pernah diingatkan Sukarno di Senayan.
“Jangan komunisto-phobia!” demikian katanya.
Sayangnya, penyakit ini belum juga
hilang dari otak bangsa ini. Padahal, rezim penyebar virus komunis-phobia telah
runtuh dengan secara meyakinkan melakukan kejahatan politik dan kemanusiaan
jauh lebih parah dari PKI (komunis) yang selama 32 tahun digembar-gemborkan
sebagai bahaya laten. Akibatnya, ketika Gus Dur mewacanakan pencabutan TAP MPR
Nomor 25/ 1966 (ketetapan tentang pelarangan PKI), banyak pihak menolak.
Alasannya ribuan, tapi intinya sama; ketakutan berlebihan (phobia).
hilang dari otak bangsa ini. Padahal, rezim penyebar virus komunis-phobia telah
runtuh dengan secara meyakinkan melakukan kejahatan politik dan kemanusiaan
jauh lebih parah dari PKI (komunis) yang selama 32 tahun digembar-gemborkan
sebagai bahaya laten. Akibatnya, ketika Gus Dur mewacanakan pencabutan TAP MPR
Nomor 25/ 1966 (ketetapan tentang pelarangan PKI), banyak pihak menolak.
Alasannya ribuan, tapi intinya sama; ketakutan berlebihan (phobia).
Penyakit yang satu ini, tampaknya
tak akan pulih selama kebenaran sejarah dikuasai ‘penguasa’ (antitesis dari
‘rakyat’), selama tak ada sejarah yang jujur, yang secara total menceritakan
kaum kiri apa adanya, yang memberi kesempatan pada korban-penguasa-ini untuk
buka suara.
tak akan pulih selama kebenaran sejarah dikuasai ‘penguasa’ (antitesis dari
‘rakyat’), selama tak ada sejarah yang jujur, yang secara total menceritakan
kaum kiri apa adanya, yang memberi kesempatan pada korban-penguasa-ini untuk
buka suara.
Sejauh ini, sejarah resmi kita
berisi outline besar perjalanan bangsa. Peristiwa-peristiwa kecil di tingkat
lokal yang tak kalah besar nilai sejarahnya dipandang marjinal dan tak perlu
dicatat. Terlebih jika peristiwa sejarah itu dilakukan lawan politik penguasa.
Lihat saja betapa tokoh-tokoh populer seperti Sukarno, Hatta atau Suharto
dikupas besar-besaran, sementara tokoh-tokoh yang tak sepopuler Sukarno, meski
perannya sama bernilai, misalnya Tan Malaka, Nyoto, dan Semaun hanya menjadi
“anak wayang” dalam pagelaran sejarah
bangsa ini, nyaris dilupakan.
berisi outline besar perjalanan bangsa. Peristiwa-peristiwa kecil di tingkat
lokal yang tak kalah besar nilai sejarahnya dipandang marjinal dan tak perlu
dicatat. Terlebih jika peristiwa sejarah itu dilakukan lawan politik penguasa.
Lihat saja betapa tokoh-tokoh populer seperti Sukarno, Hatta atau Suharto
dikupas besar-besaran, sementara tokoh-tokoh yang tak sepopuler Sukarno, meski
perannya sama bernilai, misalnya Tan Malaka, Nyoto, dan Semaun hanya menjadi
“anak wayang” dalam pagelaran sejarah
bangsa ini, nyaris dilupakan.
Sejarah yang ada—diakui atau
tidak—cenderung kekanak-kanakan; mengingat yang enak didengar dan melupakan
yang tak enak. Sebagai contoh, betapa banyak puja-puji terhadap serangan enam
jam di Jogja (serangan yang, meski mengejutkan, sebenarnya dianggap tak berarti
oleh tentara Belanda). Sementara di sisi lain, kita cenderung menafikan
kepentingan ekonomi Amerika di Indonesia sehingga mereka menekan Belanda (lewat
PBB) agar mau duduk berdiplomasi. Jika mau jujur, tekanan politik bernuansa
ekonomi iniah yang lebih berperan mengubah sajarah Indonesia ketimbang serangan
enam jam itu.
tidak—cenderung kekanak-kanakan; mengingat yang enak didengar dan melupakan
yang tak enak. Sebagai contoh, betapa banyak puja-puji terhadap serangan enam
jam di Jogja (serangan yang, meski mengejutkan, sebenarnya dianggap tak berarti
oleh tentara Belanda). Sementara di sisi lain, kita cenderung menafikan
kepentingan ekonomi Amerika di Indonesia sehingga mereka menekan Belanda (lewat
PBB) agar mau duduk berdiplomasi. Jika mau jujur, tekanan politik bernuansa
ekonomi iniah yang lebih berperan mengubah sajarah Indonesia ketimbang serangan
enam jam itu.
Dan sialnya bagi kaum kiri, karena
kekalahan politik, sejarah mereka total kelam. Jasa mereka tak tercatat dalam
pena emas sejarah bangsa. Padahal peristiwa-peristiwa pergerakan kemerdekaan di
Indonesia (minimal di Semarang yang kala itu menjadi basis kaum kiri), adalah
bagian integral dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Apapun dosa salah satu
ruas generasinya, sebagian kaum kiri pernah turut menyumbang jasa dan darah
bagi negeri ini.
kekalahan politik, sejarah mereka total kelam. Jasa mereka tak tercatat dalam
pena emas sejarah bangsa. Padahal peristiwa-peristiwa pergerakan kemerdekaan di
Indonesia (minimal di Semarang yang kala itu menjadi basis kaum kiri), adalah
bagian integral dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Apapun dosa salah satu
ruas generasinya, sebagian kaum kiri pernah turut menyumbang jasa dan darah
bagi negeri ini.
Karenanya ironis jika mereka
dianaktirikan dalam sejarah hanya karena kebengalan sebagian ruas generasinya.
Demikian juga, tak adil jika semua kaun kiri dibantai hanya karena tindakan
liar sebagian kader.
dianaktirikan dalam sejarah hanya karena kebengalan sebagian ruas generasinya.
Demikian juga, tak adil jika semua kaun kiri dibantai hanya karena tindakan
liar sebagian kader.
Yang paling menyedihkan, kita semua membenarkan
pembantaian atas jutaan jiwa ini. Buktinya, ketika tak ada satupun pelaku
pembantaian tahun 1965 yang dijerat hukum, kita diam. Padahal pembantaian ini,
menurut Asvi Warman Adam, adalah pelanggaran HAM terbesar dan terburuk di
Indonesia.
pembantaian atas jutaan jiwa ini. Buktinya, ketika tak ada satupun pelaku
pembantaian tahun 1965 yang dijerat hukum, kita diam. Padahal pembantaian ini,
menurut Asvi Warman Adam, adalah pelanggaran HAM terbesar dan terburuk di
Indonesia.
Lalu, jika pembantaian ngawur itu dianggap sah (meski mungkin
yang layak “dihukum mati” hanya sebagian kecil dari mereka), maka dengan
analogi sama kita harus bertanya mengapa jutaan umat Islam di Indonesia—berarti
termasuk Suharto, Gus Dur, saya, dan Anda—tak dibantai pasca peledakan bom
Bali? Bukankah ada potensi bahaya laten di sebagian kecil dari kita, yang
mengancam negara?
yang layak “dihukum mati” hanya sebagian kecil dari mereka), maka dengan
analogi sama kita harus bertanya mengapa jutaan umat Islam di Indonesia—berarti
termasuk Suharto, Gus Dur, saya, dan Anda—tak dibantai pasca peledakan bom
Bali? Bukankah ada potensi bahaya laten di sebagian kecil dari kita, yang
mengancam negara?
Kiri, Kanan, atau apapun corak
pergerakan tak bisa dipandang secara hitam-putih dan seragam. Layaknya sebuah
organisme, mereka mengalami pertumbuhan, perubahan dan pergolakan abadi di
dalamnya, melintasi relung ruang dan waktu. Tak semua dari mereka putih, dan
tak semuanya hitam.
pergerakan tak bisa dipandang secara hitam-putih dan seragam. Layaknya sebuah
organisme, mereka mengalami pertumbuhan, perubahan dan pergolakan abadi di
dalamnya, melintasi relung ruang dan waktu. Tak semua dari mereka putih, dan
tak semuanya hitam.
Sejarah, seharusnya mengajarkan itu,
bukan sebaliknya,***
bukan sebaliknya,***
(Oleh: Arif
Gunawan Sulistiyono. Tulisan sebelumnya dimuat di Majalah Hayamwuruk edisi “Jejak Kiri di Semarang”)