Bukan Hanya Curah Hujan, Duet Pemerintah dan Perusahaan Jadi Sebab Bencana Alam

Sumber Gambar : @fraksirakyat_id

Jumat, (29/1) Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) bersama Bersihkan Indonesia mengadakan diskusi daring bertajuk “Dosa Oligarki Derita Rakyat” yang digelar di kanal YouTube dan Zoom. Diskusi ini dihadiri Yaya Nur Hidayati selaku Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Nasional (Walhi Nasional), Merah Johansyah selaku Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatam Nasional), Arie Rompas selaku Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dan Siti Rakhma Mary selaku Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Yaya mengatakan, sejak zaman Orde Baru, sumber daya alam (SDA) di Indonesia sudah dikelola secara tidak adil. Sebanyak 60% luas daratan di Indonesia sudah dialokasikan untuk berbagai izin usaha korporasi. “Sementara masyarakat yang sudah turun-temurun tinggal di wilayahnya seringkali harus diusir karena mereka (masyarakat) dianggap tidak punya izin [tinggal] di situ,” ungkapnya.

Menurut SK Menteri Pertanian No. 833/2019, luas tutupan sawit nasional tahun 2019 mencapai 16.381.959 hektar. Angka ini kurang lebih setara dengan luas 1,2 kali pulau Jawa. Namun, jumlah ini masih berdasarkan data fisik di lapangan dan masih banyak yang belum memiliki izin.

“Ini kemudian menjadi satu hal bagaimana perusahaan-perusahaan memanfaatkan kelemahan pemerintah di dalam monitoring pemberian izin untuk melakukan aktivitas ilegal,” terang Yaya.

Berdasarkan laporan Tempo pada (2/10/19), Yaya melanjutkan, sebanyak 45,5% anggota DPR RI saat ini terafiliasi dalam 1016 perusahaan. Selain itu, revisi berbagai macam produk hukum seperti UU Mineral dan Batubara (Minerba), UU Cipta Kerja, RUU Pemilu, dll, menurutnya merupakan bentuk resentralisasi dan rekonsentrasi kekuasaan dan sumber daya negara sebagaimana pernah terjadi di pemerintahan Suharto (Orde Baru).

“Sehingga bisa disaksikan di 2020, hasil dari kekuatan ekonomi-politik ini menghasilkan berbagai macam produk undang-undang yang kemudian bertujuan untuk semakin memperbesar kekuasaan dan kekayaan dari para oligark tersebut,” tambahnya.

Selain itu, menurut Yaya, pemerintahan saat ini juga turut menggunakan instrumen-instrumen legal untuk memangkas atau membatasi kebebasan berekspresi masyarakat yang juga diperlakukan secara tidak adil. Selama 2020, Walhi mecatatat terdapat total 18 kasus konflik di 12 provinsi yang ditangani langsung oleh Walhi. Mulai dari konflik di Jambi pada 4 Maret oleh PT Wirakarya Sakti yang melakukan penyemprotan racun melalui drone ke lahan tanaman warga Desa Lubuk Madrasah hingga aksi tindak kekerasan dan pengrusakan pada 12 September yang dilakukan polisi perairan dan udara (polairud) Polda Sulawesi Selatan terhadap 11 orang usai melakukan aksi pengusiran kapal PT Royal Boskalis di Pulau Kodingareng, Makassar.

Hal serupa diungkapkan Merah lewat catatan akhir tahun Jatam Nasional yang mengungkap lonjakan konflik pertambangan naik hampir lima kali lipat di 2020 (yang tahun sebelumnya hanya 11 kasus). Total terdapat 45 konflik terdiri dari 22 kasus pencemaran lingkungan, 13 kasus perampasan lahan, 8 kasus kriminalisasi warga penolak tambang, dan 2 kasus PHK. Jika ditotal sejak 2014-2020, jumlah konflik khusus pertambangan mencapai 116.

“Jadi, parlemen/DPR ini, undang-undang yang dia lahirkan jadi alat untuk mengkriminalkan warga sehingga status kita sebenarnya adalah calon kriminal, kapan saja bisa dikasih label sebagai kriminal menggunakan undang-undang apa saja,” jelasnya.

Mulai dari alih fungsi lahan hingga deforestasi yang dalam prosesnya menimbulkan berbagai macam konflik, hal tersebut juga berdampak pada bencana alam, khususnya bencana banjir di Kalimantan Selatan yang belakangan menjadi sorotan usai pernyataan pemerintah terkait curah hujan tinggi sebagai penyebab utama.

Menurut Arie, deforestasi jangka panjang di Kalimantan telah berpengaruh terhadap suhu lokal dan menyebabkan bentang alam semakin sensitif terhadap perubahan iklim seperti kekeringan dan curah hujan yang intensif. Apalagi wilayah sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito di daerah Kalimantan Selatan merupakan wilayah yang sering terbakar di musim kemarau.

Selama periode La Nina dengan curah hujan intensitas tinggi, area gundul dengan sistem drainase yang disalurkan ke perkebunan, termasuk bekas lubang tambang tidak lagi dapat menyerap air dalam jumlah besar karena kurangnya fungsi penyangga runoff mengalir langsung ke sungai, sementara kapasitasnya terbatas. “Deforestasi dan penggunaan tata guna lahan itu berkontribusi sangat nyata terhadap terjadinya banjir di Kalimantan Selatan,” ujarnya.

Hal ini didukung oleh Siti yang mengutip pernyataan Guru Besar Manajemen Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro, Sudharto Prawata Hadi yang menyatakan, tingginya curah hujan menjadi salah satu penyebab banjir di Kalimantan Selatan. Namun, alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan pertambangan menurunkan daya serap permukaan tanah hingga menyebabkan banjir. Banjir tidak akan separah sekarang jika tutupan hutan di Kalimantan Selatan masih luas. “Ini professor yang bilang sehingga juga bisa dijadikan bahan oleh pemerintah bahwa mereka itu keliru dalam menganalisis,” imbuh Siti.

Siti juga memaparkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampai 23 Januari 2021 pukul 15:00 WIB, di Indonesia terdapat 1,9 juta jiwa mengungsi, 197 bencana, 184 korban meninggal. Bencana yang mendominasi adalah banjir dengan 134 kejadian, longsor 31 kejadian, dan puting beliung 24 kejadian. Lebih dari 2.700 luka-luka dan 9 orang dinyatakan hilang.

Reporter : Sun Alfi (Magang), Rilanda
Penulis : Rilanda
Editor : Qanish

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top