
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meluncurkan catatan akhir tahun (Catahu) 2020 yang bertajuk “Mutasi Kejahatan Negara-Korporasi dan Babak Baru Jerat Oligarki Tambang” secara daring pada Minggu (24/01/2021).
Perwakilan Divisi Jaringan dan Simpul Jatam Nasional, Ki Bagus, mengatakan, sikap pemerintah dan aktivitas korporasi tambang merupakan bagian dari permasalahan kerusakan lingkungan yang saat ini terjadi.
“Dalam rangkai gelombang pemilihan presiden, Pilkada (Pemilihan kepala daerah), munculnya beberapa peraturan perundang-undangan yang memperkuat posisi kejahatan negara-korporasi ini,” kata Bagus.
Menurut Bagus, ada empat kebijakan yang dipaksakan oleh pemerintah meskipun sedang dalam kondisi Covid-19. Kebijakan tersebut di antaranya, UU Cipta Kerja, UU Mineral dan Batubara (Minerba), Pilkada serentak 2020, dan proyek Ibu Kota Negara (IKN).
UU Minerba dan UU Cipta Kerja, kata Bagus, memberi insentif besar terutama bagi sektor investasi dan industri yang berpotensi mengeruk sumber daya alam. Selain itu, menurut Bagus, pilkada serentak yang dilaksakan tidak lebih dari pemilihan operator pelaksana UU Cipta Kerja.
“Karena kita tahu, banyak kebijakan yang harus ditetapkan oleh kepala daerah dan mau tidak mau, pilkada ini menjadi salah satu jalan keluar untuk memilih operator-operator omnibus law (UU Cipta Kerja) di berbagai daerah,” katanya.
Ia mengatakan, pertambangan juga akan semakin gencar dilakukan untuk memenuhi kebutuhan material dan energi proyek IKN.
Deforestasi hingga Lubang Tambang yang Menelan Korban Jiwa.
Jatam mencatat, hingga Juni 2020 total ada 1.304 unit izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) di 34 provinsi dengan total luas 499.655,57 hektar. Sejak 2016-2020, total ada 592 unit IPPKH seluas setengahnya, yakni 241.613,25 hektar untuk kepentingan non kehutanan termasuk perkebunan sawit dan pertambangan. Namun, luasan ini belum termasuk luasan IPPKH bagi survei, eksplorasi, dan aktivitas tambang liar.
Jamil dari Divisi Hukum Jatam Nasional berpendapat, sangat tidak masuk akal ketika suatu perusahaan tambang diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan karena aktivitas pertambangan sudah pasti merusak hutan.
“Pinjam hutan, kembalinya lubang tambang. Kalau dalam konteks hukum sebetulnya sudah menyalahi,” katanya.
Sejak 2011-2020, Jatam mencatat terdapat 3.092 lubang tambang yang dibiarkan menganga terbuka. Berdasarkan catatan Jatam, jika diurutkan tiga teratas, lubang tambang paling banyak berada di Kalimantan Timur (1.735), Kalimantan Selatan (814), dan Kalimantan Tengah yang posisinya berdiri sama tinggi dengan Sumatra Selatan (163).
Menurut Jamil, jumlah ini masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan jumlah izin tambang yang ada di Indonesia.
“Misalnya begini, jumlah izin [tambang] yang ada di Indonesia sekitar 5.000-an terakhir, dulu pernah mencapai angka 10.000-an. Secara logika sederhana kalau misalnya satu pertambangan meninggalkan dua lubang, itu artinya Indonesia ke depan akan punya 20.000 lubang tambang. Kan, sesuatu yang tidak mungkin kalau satu tambang hanya meninggalkan dua lubang,” imbuh Jamil.
Ia menambahkan, dalam konteks pengelolaan pertambangan, kewenangan untuk memberikan izin dan mengawasi yang kini diserahkan kepada pemerintah pusat lewat omnibus law dan UU Minerba hanya akan memperparah pengabaian.
“Padahal waktu kewenangan masih berada di pemerintah daerah saja, seperti ini portret daya rusak yang ada. Lubang-lubang tambang tak pernah direklamasi, bagaimana kalau seluruhnya terpusat di Jakarta, tentu saja akan luput dalam konteks pengawasan,” katanya.
Selain itu, pengabaian lubang tambang selalu menimbulkan korban. Jatam mencatat sepanjang tahun 2014-2020 terdapat total 168 korban. Di tahun 2020, korban berjumlah 24. Mayoritas korban adalah anak-anak dengan kasus seperti tenggelam atau terbakar karena terjatuh ke dalam lubang yang masih mengandung batu bara.
Reporter: Rilanda, Karen, Genisti (magang)
Penulis: Rilanda
Editor: Airell