
“Kita adalah makhluk merdeka yang sudah seyogianya mampu berjalan dengan kaki sendiri, berpikir di atas pertimbangan sendiri, serta berbuat dengan usaha sendiri. Determinisme sudah barang tentu ada, bukan berarti tidak ada free will dalam hidup manusia. Kita adalah manusia merdeka!!”
Tulisan ini saya tujukan sebagai sebuah bentuk partisipasi dalam demokrasi kampus, yang saya nilai mulai menjauhi kondisi ideal yang selalu digadang-gadang oleh segenap elite-elite politisi kampus. Sudah barang tentu opini yang saya muat dalam tulisan sederhana ini akan dibangun se-objektif mungkin. Tetapi, saya pun tidak memungkiri bahwa juga akan terdapat satu dua argumen yang sekiranya subjektif dan terkesan curhat.
Sering kali, lembaga eksekutif mahasiswa (yang kemudian disebut BEM FEB) dilekatkan dengan berbagai stigma yang cenderung mengarah pada glorifikasi tanpa alasan: BEM FEB adalah rumah bagi keresahan mahasiswa; BEM FEB adalah lembaga yang inklusif terhadap konstituennya; BEM FEB adalah jantung pergerakannya mahasiswa (saya pun pada awalnya mengamini poin ini) serta sederet stigma glamor dan menyiratkan eksklusifitas lainnya. Dalam menyikapi berbagai anggapan ini saya tidak sepenuhnya berada pada spektrum penolakan apalagi yang sifatnya kontrarian, tidak sama sekali! Saya hanya akan melakukan pembidasan serta kritik sederhana terhadap fenomena-fenomena yang terjadi tersebut.
Sebagai langkah awal, saya akan berupaya membangun sebuah paradigma mengenai BEM FEB yang kemudian akan menjadi suatu landasan historis dalam tulisan ini.
Berbicara soal BEM FEB, tentu pembahasannya tidak akan pernah bisa lepas dari bahasan seputar gerakan mahasiswa di zaman Orde Lama. Pada mulanya, nomenklatur yang digunakan untuk menyebut BEM FEB adalah Dema atau Dewan Mahasiswa. Pembentukan Dema berawal pada tahun 1950–an dan berkembang secara sporadis. Kala itu, Dema ditujukan sebagai wadah pembelajaran politik di kampus-kampus. Peran dan fungsi Dema juga turut mengalami perkembangan. Dema yang pada awalnya hanya berperan sebagai wadah pembelajaran politik menjelma menjadi wadah pengaderan the future man — golongan yang kemudian mengisi pos-pos birokrasi di Indonesia.
Perkembangan yang begitu pesat serta didorong oleh berbagai kebutuhan membuat Dema juga turun terlibat aktif dalam berbagai gerakan kemahasiswaan. Sebut saja di antara gerakan tersebut adalah [Tiga Tuntutan Rakyat sebagai respons atas,] G-30-S, pembentukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) bersama kawan-kawan gerakan ekstra seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), serta aksi-aksi meruntuhkan Orde Lama. Berangkat dari tinjauan-tinjauan historis yang sifatnya sepintas ini, saya akan memulai kritik dengan satu bahasan sederhana yang saya sebut sebagai “optimalisasi ruang publik” yang seyogianya menjadi turunan mendasar dari sebuah fungsi gerakan sebuah lembaga, dalam hal ini adalah BEM FEB.
Ontologi Ruang Publik
Terminologi ruang publik tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran filsafat politik di masa Yunani Kuno. Oleh karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka, pembidasan mendalam harus dimulai pada masa tersebut. Hal ini bertujuan untuk melihat bagaimana sebuah peradaban memandang ruang publik dari masa ke masa serta melihat pergeseran-pergeseran definitif dalam melihat ruang publik.
Pada awalnya, nomenklatur ruang publik diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles dalam salah satu karyanya yang sangat berpengaruh yaitu Politics. Ia menyebut ruang publik sebagai res publica yang kemudian hari ini diadopsi menjadi sebuah bentuk negara, republik. Dalam karyanya, Aristoteles memaknai ruang publik sebagai ruang bersama, tempat di mana kepentingan khalayak ramai dibahas dan dibicarakan[1]. Pendefinisian ruang publik versi Aristoteles tidak bisa dilepaskan dari konteks Yunani dan Feodal pada masa itu. Walaupun definisi yang disampaikan cukup sah jika dilihat sekilas namun pada kenyataannya terdapat penyempitan makna publik pada masa itu. Kebanalan dan kegagalan Aristoteles dalam membangun definisi yang holistik serta kebodohan Aristoteles dalam membebaskan pemaknaannya dari jeruji positivisme kepentingan[2] membuat kata publik tidak lebih sebagai legitimasi atas perbedaan kepentingan dalam politik saja.
Kedangkalan Aristoteles menghantarkan kata publik pada mis-paradigm besar-besaran dalam hal pemaknaannya. Saya akan terlebih dahulu menguraikan letak-letak mis-paradigm Aristoteles dalam memaknai ruang publik agar selanjutnya kita dengan mudah menemukan konsep ideal dari ruang publik itu sendiri. Kedangkalan pertama dari definisi ruang publik versi Aristoteles adalah definisi yang disampaikan sangat determinan terhadap kondisi politik Yunani kala itu. Sehingga melahirkan sebuah definisi yang masih meng-amini sistem pembagian kelas dalam kerangka feodalisme. Aristoteles dengan gamblangnya menyatakan dengan jelas bahwa kelas-kelas tersebut dibagi menjadi kelas bawah, prajurit, dan kelas terdidik[3]. Pendefinisian yang kental akan nuansa feodalisme hanya akan menghasilkan sebatas aksioma di atas kertas dan mustahil untuk terwujud. Dengan pemaknaan akan ruang publik semacam ini maka ruang publik tersebut hanya akan menjadi milik segelintir orang saja−tidak inklusif. Kelas bawah secara langsung tidak diberikan hak dalam berpolitik bahkan berkehidupan dengan layak ketika ruang publik masih terkurung dalam jeruji positivistik feodalisme.
Persoalan kedua dari definisi yang disampaikan oleh Aristoteles adalah, pengategorian siapa yang dikatakan publik dan privat sangatlah “pilih kasih”. Sebagai seorang pemikir yang pertama kali mengemukakan pembagian sektor dalam politik menjadi res private dan res publica, Aristoteles masih mempertahankan egonya untuk tidak mengakui bahwa ruang publik adalah milik semua orang. Sikap “pilih kasih” tersebut tergambar jelas dalam tesisnya yang mengatakan bahwa sekelompok orang telah ditakdirkan untuk takluk sedangkan yang lain ditakdirkan untuk berkuasa bahkan semenjak ia dilahirkan; manusia yang di determinasi dan dimiliki orang lain (bahkan sejak lahir) adalah budak[4]. Implikasi dari pemikiran ini adalah pemaknaan sepihak dan mengandung kesalahan yang amat besar dalam hal publik. Publik kemudian dimaknai sebagai sebutan bagi keningratan pada masa Yunani, publik kemudian dimaknai sebagai publikus atau tokoh publik yang lekat akan nuansa feodalisme. Hal ini bukan tanpa dasar, publik pada masa Yunani adalah sebutan bagi orang yang memiliki keutamaan status sebagai konglomerat, penguasa, atau bangsawan[5].
Kedangkalan yang sifatnya mendasar di atas, berimplikasi terhadap bagaimana perempuan dianggap dan dipandang di ruang publik. Secara terang-terangan Aristoteles memberikan pandangannya mengenai perempuan dalam tesisnya melalui teks Politics-nya yang terkenal. Dia mendefinisikan perempuan sebagai laki-laki yang belum utuh dan tidak memiliki ruang di polis. Oleh karena itu, perempuan hanya mendapat porsi untuk berkehidupan di oikos. Pemaknaan ini dikritik habis-habisan oleh kelompok feminis. Cara melihat yang sangat dangkal dan sebatas fungsi genital saja membuat Aristoteles gagal melihat fungsi sosial dari perempuan. Konsep ideal yang dipahami kelompok feminis (saya secara pribadi turut mengamini konsep ini) menyatakan bahwa perempuan haruslah dilihat sebagai subjek yang bebas merdeka atas hak-haknya; termasuk dalam politik dan kepemimpinan. Permasalahan ini berakar pada penempatan peran gender masih terkurung dalam jeruji positivistik heteronormativitas. Perempuan sering kali dianggap sebagai second choice dalam konstruksi berpikir ruang publik menurut Aristoteles, bahkan menjadi kebudayaan hingga dewasa ini[6].
Nuansa “pilih kasih”, feodalisme, dan kedangkalan definitif ini disinyalir berakar pada sebuah realitas pada era Yunani di mana masih kental akan politik misoginis dan feodalistis. Aristoteles saya nilai sebagai filsuf yang mengkhianati jalan pikirannya sendiri. Hal ini bukan tanpa dasar, konsep negara utopia yang ia bangun sebagai sebuah konsep yang menjelaskan kondisi ideal dalam sebuah bangsa justru gagal memaknai peran ideal setiap entitas dalam raung publik. Berbagai kedangkalan yang saya paparkan di atas, saya nilai cukup kuat untuk mengutuk para Aristotellian yang terus merasa nyaman dalam jeruji positivistik definisi ruang publik Aristoteles yang penuh nuansa “pilih kasih” dan patriarki tersebut. Pada akhirnya, ruang publik menjelma sebagai nomenklatur kosongan yang digunakan sebagai legitimasi atas relasi-kuasa entitas berkepentingan saja[7].
Kekopongan definisi ini turut disambut oleh Jurgen Habermas dalam salah satu karyanya yang berjudul The Structural Transformation of Public Sphere: An Inquiry into A Category of Bourgeois Society (1989)[8]. Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai ruang yang tercipta dari kumpulan orang-orang tertentu, konteksnya sebagai konstituen dalam menyikapi otoritas publik. Bagi Habermas, ruang publik lahir sebagai bagian dari masyarakat sipil, serta resiprokal dengan setiap orang yang memiliki intelektualitas otonom dalam pikirannya. Intelektualitas otonomi digunakan Habermas sebagai penggambaran konsep ruang publik yang ideal muncul dari gagasan filsafat kritik-rasional. Dalam konteks sosial, ruang publik muncul sebagai institusi formal-informal serta dijadikan sebagai fondasi dasar eksistensi demokrasi[9].
Dalam teksnya yang lain, Between Facts and Norms[10], teks yang menawarkan gagasan mengenai demokrasi deliberatif, Habermas menguatkan definisinya mengenai ruang publik. Ia menekankan bahwa urgensi ruang publik dalam konteks dikursus hukum dan demokrasi. Habermas lebih lanjut memberikan penegasan bahwa ide mengenai ruang publik sejatinya merupakan bagian dari personal privat yang aktif mengonsolidasikan dan membicarakan perihal publik concern atau ketertarikan umum di masyarakat sipil[11].
Selain ditujukan sebagai alat kritik terhadap disfungsi ruang publiknya Aristoteles, Habermas juga menjadikan tesisnya tentang ruang publik sebagai bentuk ikhtiar meluruskan paradigma ruang publik borjuasi Eropa abad pertengahan. Ruang publik borjuasi dimaknai sebagai kondisi di mana dialektika kritis terhadap otoritas hanya terjadi di kalangan pemilik modal, dalam hal ini manifestasinya adalah salon, restoran-restoran, dan kafe yang diisi oleh para kaum borjuis ketika istirahat makan siang. Dalam upaya membersihkan ruang publik borjuasi ini, Habermas memformulasikan institutional criteria[12] sebagai kriteria ideal sebuah ruang publik. Pertama, dalam ruang publik semestinya senantiasa mengabaikan status dari entitas di dalam publik itu sendiri. Hal ini bertujuan agar tidak ada relasi-kuasa dalam dikursus publik yang dibangun. Keterwujudan kesamaan hak akan dimulai dari kriteria pertama ini. Pengabaian terhadap status mengharuskan setiap orang membuang jauh-jauh status sosialnya ketika sudah melebur ke dalam publik itu sendiri.
Kedua, ruang publik semestinya fokus pada hal-hal yang menjadi common concern dan pada hal yang sekiranya terkait dengan kepentingan bersama. Kriteria ideal yang kedua ini menjadi sebuah kritik bagi publikus yang berupaya menyembunyikan perdebatan yang semestinya menjadi milik publik. Secara tegas Habermas menuntut transparansi dalam sebuah ruang publik serta menggugat kekuasaan yang menutup-nutupi ruang publik dengan kain hitam dengan dalih “rahasia dapur”. Tidak hanya berkaitan dengan kekuasaan, perkembangan ilmu pengetahuan yang notabenenya milik semua orang juga berupaya dibebaskan dari ketertutupan melalui gagasan ruang publik oleh Habermas ini. Sejatinya, apa yang seharusnya menjadi milik publik harus dibiarkan senantiasa ada dan lestari di ruang publik itu sendiri.
Terakhir, Habermas menggambarkan ruang publik akan menjadi utuh ketika ada inklusifitas yang menyertainya. Bagi saya, kriteria ini menjadi sebuah penegasan dan sekaligus konklusi atas dua kriteria lain yang dijelaskan di atas. Inklusifitas menjadi syarat mutlak bagi idealnya sebuah ruang publik. Secara harfiah, semua orang pada dasarnya di ruang publik menemukan dirinya sebagai seorang manusia yang bebas merdeka alih-alih sebagai publik itu sendiri. Dalam hal ini, Habermas ingin mengeluarkan manusia dari upaya-upaya objektifikasi oleh kaum borjuasi dan kekuasaan serta ingin membebaskan manusia sebagai makhluk merdeka dari belenggu relasi kuasa status sosial; utamanya dalam ruang publik itu sendiri. Pada akhirnya, ruang publik akan menjadi ruang yang aman dan ramah bagi setiap orang, tidak peduli apa status sosialnya.
Berbekal penjelasan di atas, saya akan berupaya untuk melihat bagaimana BEM FEB sebagai kekuasaan eksekutif di lingkup mahasiswa mengambil perannya dalam merawat ruang publik yang ada. Barang tentu, ruang publik yang akan dibahas tidak hanya sebatas ruang publik politik, namun juga ruang publik sastra. Sebagaimana Habermas mengategorikan ruang publik menjadi dua, yaitu: ruang publik politik dan ruang publik sastra[13].
Se-tong Penuh Ujaran Kebencian
Tepat pada tanggal 12 September 2021, telah dilaksanakan Penetapan Ketua dan Wakil Ketua BEM FEB dan Senator FEB UNDIP 2022 via Microsoft Teams. Tentunya penetapan ini tidak berdiri sendiri. Kegiatan ini didahului oleh berbagai kegiatan lainnya, termasuk masa kampanye yang notabene adalah wadah membangun dikursus antara calon pimpinan (saya lebih suka menyebutnya calon politisi sebab tidak ada jaminan Calon Ketua dan Wakil Ketua BEM FEB memenuhi kriteria sebagai pemimpin) dan konstituennya kelak ketika terpilih.
Sebagai seorang yang juga pernah berkecimpung dalam dunia per-BEM FEB-an, sudah barang tentu bahasan ini akan saya penuhi dengan “hujatan” terhadap BEM FEB. Namun, bukan berarti entitas politik lainnya akan saya pinggirkan dalam bahasan ini.
Sebagai awalan, saya ingin mengajak siapa-pun yang membaca tulisan ini untuk melihat sejenak ke belakang, pada masa-masa kampanye setiap politisi kampus yang mencalonkan dirinya sebagai ketua dan wakil ketua BEM FEB. Dalam beberapa dialog publik yang diselenggarakan sebagai rangkaian Pemilu Raya, para politisi senantiasa menggaungkan narasi tentang pemahaman konstituen, hadirnya mereka dengan dasar keresahan serta kebermanfaatan, dan berbagai bualan-bualan retoris ala-ala politisi istana. Namun, setelah saya analisis dan merangkai pola-pola yang sifatnya empiris, saya menemukan sebuah kesamaan bahwa berbagai narasi tersebut disampaikan guna memberi persuasi kepada publik bahwa mereka akan menjadi entitas representatif dari kepentingan konstituennya−klaim representasi[14].
Ketika kita membicarakan klaim representasi, juntrungannya akan mengacu pada asas keterwakilan dalam sebuah kekuasaan. Dalam konteks ini, saya memaknai asas keterwakilan sebagai kondisi di mana setiap entitas dalam ruang publik diwakili oleh satu atau lebih orang maupun entitas guna memperjuangkan satu dan lain hal−entah itu gagasan, aspirasi, kepentingan, et al. Berangkat dari pemaknaan ini, saya tergelitik, lantas melahirkan tiga pertanyaan mendasar yang sekiranya dapat membantu pembidasan mengenai klaim representasi yang senantiasa dijadikan bahan bualan oleh para politisi kampus: 1) Siapa mereka yang lantas sangat percaya diri mengklaim diri sebagai entitas representatif?; 2) Sejauh apa kapabilitas, kemampuan, serta pemahaman mereka atas lembaga yang ingin dikuasai?; dan 3) Apa benar adanya eksistensi serta esensi entitas representasi di tataran ruang publik kampus?. Tiga pertanyaan ini kemudian akan saya gunakan untuk menyusun konklusi apakah sudah sepantasnya BEM FEB hadir di tengah-tengah ruang publik atau sudah selayaknyakah BEM FEB absen dari ruang publik.
Pertanyaan pertama dan kedua membawa saya kepada diskusi di salah satu warung makan di Gondang bersama para kolega. Dalam diskusi mengenai politik kampus, salah seorang kolega memberikan sebuah pernyataan yang cukup menohok bagi saya. Ia berujar bahwa, “Dalam ajang kontestasi politik, baik kampus ataupun nasional, yang dipilih pada kenyataannya bukan orang yang mampu, melainkan orang yang populis di basis konstituennya.” Sekiranya saya mengamini pendapat ini. Di penghujung tahun 2021, banyak sekali kolega saya yang lain yang beramai-ramai masuk bursa kontestasi, entah itu di rumpun eksekutif ataupun di kursi legislatif[15]. Hal yang paling mendasar yang ingin saya sampaikan sudah barang tentu serangkaian apresiasi atas keberanian mereka untuk maju berkontestasi. Namun, jika dikaitkan dengan pertanyaan pertama yang diajukan, jawaban saya akan bermula pada peletakan pemahaman bahwa mereka yang berani maju berkontestasi bukanlah siapa-siapa, minim intelektualitas tapi kaya akan popularitas−sekalipun itu adalah kolega saya.
Saya mengibaratkan para kolega yang memberanikan diri masuk ke dalam bursa kontestasi tanpa modal intelektualitas yang cukup layaknya prajurit perang salib yang berangkat tanpa kepala. Di tengah medan laga, para prajurit yang luput mengemas kepalanya akan kelabakan menghadapi berbagai hal−jangankan prajurit dari kubu lawan, bahkan kerikil di bawah kakinya sendiri akan membunuh mereka dalam laga. Begitu pula orang-orang yang menjadi pemain dalam politik kampus, mereka akan kelabakan menghadapi serangan publik sebab ketidakpahaman akan apa yang akan mereka duduki. Pada kenyataannya, dua pasang calon yang maju dalam kontestasi FEB tidak paham bagaimana fungsi BEM FEB itu sendiri. Hal yang saya nilai sebagai pemahaman fundamental, namun dinegasikan dengan dalih bahwa mereka tidak pernah mendapat materi tersebut di kaderisasi mana-pun. Fakta menarik lainnya, saya temukan ketika debat terbuka Pemira FEB Undip tahun ini. Alangkah teramat geli ketika para calon punggawa BEM FEB tidak mampu berdialektika dengan baik di tengah publik serta tidak bisa mengemas argumen mereka dalam kerangka akademik yang benar. Namun, itulah realitas yang harus saya dan mungkin juga Anda terima ketika menyaksikan debat terbuka yang diselenggarakan.
Lantas, dengan bekal intelektual yang dangkal, kenapa sebegitu beraninya mereka mengambil klaim sebagai entitas representatif tersebut? Tidak ada jawaban pasti mengenai pertanyaan ini. Namun, saya akan mencoba meraba-raba guna memberikan sedikit pembidasan akan pertanyaan tersebut. Secara umum, pertanyaan ini dijawab oleh Tom Nichols dalam bukunya yang bertajuk The Death of Expertise[16]. Konsep demokrasi yang sering kali digunakan mengantarkan pertarungan politik pada sebatas tataran populisme semata. Sehingga, fenomena semacam ini menjadi sebuah kebudayaan dalam skema perpolitikan, termasuk dunia akademik. Selain itu, mandulnya ruang publik yang ada juga menjadi akar terjadinya fenomena di atas. Berangkat dari konsepsi ini saya menyimpulkan bahwa duduk perkaranya ada pada dua hal: 1) konsep demokrasi yang mengabaikan aspek akademik dan konstruksi berpikir tokoh politik dalam kontestasi; serta 2) tidak optimalnya ruang publik sebagai sistem kontrol dalam kekuasaan.
Keberanian tersebut sudah barang tentu dibersamai dengan narasi-narasi klaim representasi, sebuah narasi klasik yang dari tahun ke tahun senantiasa digaungkan. Namun, pada kenyataannya, klaim representasi adalah narasi yang pseudo dan sepihak. Dasar pengakuan atas entitas representasi sangatlah teramat lemah. Pertama, dalih pengakuan atas entitas representasi selalu didasarkan pada peristiwa yang terjadi di balik bilik suara−serangkaian pemilihan kemudian dijadikan pembenaran bahwa ketika seorang individu meletakkan pilihannya pada 01 atau 02 sebagai titik mula keterwakilan individu tersebut. Hal ini sangatlah tidak tepat. Sebab, tidak ada satu jaminan bahwa apa yang terjadi di balik bilik suara adalah keputusan final untuk mewakilkan individu seseorang ke dalam individu lainnya. Kita bisa saja berasumsi bahwa seseorang memilih 01 ataupun 02 hanya sebatas hubungan antar kolega semata.
Selain itu, dalam keberjalanan sebuah kekuasaan sangat jarang terjadi pertemuan antara entitas yang mewakili (baca; penguasa) dengan entitas yang diwakili (baca; konstituen). Sepanjang tahun 2021, BEM FEB FEB tidak pernah melakukan satu kali pun dialog publik guna bertemu dengan konstituennya. Orang-orang BEM FEB hari ini, masih saja menjelma sebagai publikus Aritotelian. Hal ini terlihat dalam status quo ruang publik FEB hari ini, di mana banyak sekali “orang-orang BEM FEB” yang notabene meng-klaim sebagai entitas representasi tidak mau melepas status keningratannya−lagi-lagi sebagai “orang BEM FEB”. Alhasil, ruang publik yang terbentuk adalah ruang publik yang penuh akan stratifikasi sosial dan sudah barang tentu sangat eksklusif.
Dalam keberlangsungannya, BEM FEB pun tidak dapat memahami perannya dalam merawat dan menghidupkan ruang publik yang semestinya terbentuk. Sebut saja satu hal, paradigma pengambilan sikap misalnya. Dalam pengambilan sikap, pendekatan yang digunakan sebatas pendekatan top-down−sebuah pendekatan pengambilan sikap yang saya sebut sebagai akar kemandulan suatu ruang publik. Idealnya, dalam pengambilan sikap, ketika klaim representasi digunakan, pendekatan yang digunakan ialah bottom-up. Salah satu cara yang tepat saya rasa adalah dengan melakukan konsolidasi berkala sebagai wadah dialektik para entitas dalam ruang publik untuk sekadar bertemu, berbagi keresahan, serta beradu gagasan. Sayangnya, cara ini dicap sebagai yang rumit tapi tak kunjung diuji penerapannya. Pada akhirnya, kebanalan para “orang BEM FEB” dan seisinya hanya akan menjadi benalu bagi ruang publik yang ada serta entitas yang akan mempermandul fungsi reproduksi ruang publik yang ada. Maka dari itu BEM FEB sebaiknya dibubarkan dan biarkan ruang publik bergerak di atas asas inklusifitas dan kolektivitasnya.
Segelas Intisari
Di awal tulisan ini saya memulai dengan sebuah penekanan bahwa manusia adalah makhluk merdeka yang seyogianya berdiri di atas kaki sendiri, bersikap atas pertimbangannya sendiri, serta berbuat atas usahanya sendiri. Bagi saya, dengan segala pertimbangan yang dibangun dalam kajian ini, klaim representasi merupakan klaim penghinaan atas keberadaan suatu ruang publik. Orang-orang dan lembaga-lembaga yang bernaung di bawah klaim representasi dengan segala dalih politisnya adalah pelaku atas bentuk penghinaan ini. Mereka adalah sekumpulan entitas yang bermental sok kuasa seolah-olah mereka adalah juru kunci atas hidupnya suatu ruang publik.
Lagi-lagi, bagi saya setiap kepentingan seharusnya hidup dan lestari dalam ruang publik tanpa intervensi mental sok kuasa dan status keningratan para entitas sok representatif. Persoalan keresahan, gerakan, pelayanan, dan urusan publik lainnya sudah selayaknya hidup dalam ruang publik dan diusahakan pula oleh publik itu sendiri, secara kolektif pastinya. Maka dari itu, jika mental sok kuasa yang dibalut dengan klaim representasi itu masih ada dan lestari alangkah lebih baik entitas representasi tersebut dibubarkan saja. Alternatif lainnya adalah perubahan-perubahan dalam berbagai hal, diantaranya meliputi: 1) entitas representasi harus senantiasa melebur kepada basis konstituennya; 2) entitas representasi harus mampu dan bersedia melepas sejenak status keningratannya ketika masuk ruang publik sehingga inklusifitas dapat terbangun; 3) tidak boleh lagi entitas representasi tersebut nyaman dengan mental sok kuasa-nya; dan 4) paradigma pengambilan sikap sudah seharusnya melibatkan publik, dalam hal ini pendekatan idealnya adalah bottom-up.
Pada akhirnya, pilihan berada di tangan para kolega yang hari ini berkuasa. Mereka punya hak untuk memilih merawat atau membiarkan ruang publik yang ada mati suri. Sayangnya publik-pun punya hak untuk menuntut bubarnya lembaga tersebut jika mental sok kuasa yang dibalut dalam klaim representasi tersebut. Singkatnya pilihan yang tersedia hanya dua−reformasi atau bubarkan!
*Catatan redaksi: tulisan di atas merupakan hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan pandangan LPM Hayamwuruk.
Penulis: Rahmatullah Yudha Welita, Ketua Bidang Kebijakan Publik BEM FEB 2021
Editor: Rilanda
***
[1] Yadi Supriadi, “Relasi Ruang Publik Dan Pers Menurut Habermas,” Jurnal Kajian Jurnalisme 1, no. 1 (2017): 1–20.
[2] Santosa Irfaan, “Jurgen Habermas: Problem Dialektika Ilmu Sosial,” KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi 3, no. 1 (1970): 101–113.
[3] Supriadi, “Relasi Ruang Publik Dan Pers Menurut Habermas.”
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Nadya Karima Melati, “Ketika Kuntilanak, Sundel Bolong, Dan Wewe Gombel Menggugat | GEOTIMES,” accessed December 19, 2021, https://geotimes.id/kolom/ketika-kuntilanak-sundel-bolong-dan-wewe-gombel-menggugat/.
[7] Supriadi, “Relasi Ruang Publik Dan Pers Menurut Habermas.”
[8] Rulli Nasrullah, “Internet Dan Ruang Publik Virtual, Sebuah Refleksi Atas Teori Ruang Publik Habermas,” Komunikator 4, no. 01 (2015), http://journal.umy.ac.id/index.php/jkm/article/view/188.
[9] C. Calhoun, “The Public Sphere in the Field of Power,” Social Science History 34, no. 3 (2010): 301–335.
[10] A. Prasetyo, “Menuju Demokrasi Rasional: Melacak Pemikiran Jurgen Habermas Tentang Ruang Publik,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 16, no. 2 (2012): 37770.
[11] Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere : A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 26, no. 25 (1990): 56–80.
[12] Nasrullah, “Internet Dan Ruang Publik Virtual, Sebuah Refleksi Atas Teori Ruang Publik Habermas.”
[13] Supriadi, “Relasi Ruang Publik Dan Pers Menurut Habermas.”
[14] BPMF PIJAR, “Membayangkan Absennya Lembaga Perwakilan Mahasiswa,” accessed December 30, 2021, https://bpmfpijar.com/membayangkan-absennya-lembaga-perwakilan-mahasiswa-membuka-alternatif-saluran-bagi-aspirasi-dan-opini-mahasiswa/.
[15] Per tulisan ini dibuat satu orang kolega berhasil memenangkan kontestasi di BEM FEB Fakultas dan satu orang di Senat Mahasiswa Fakultas serta beberapa kolega turut berhasil menduduki kursi-kursi strategis di fakultasnya masing-masing.
[16] Tom Nichols, “How America Lost Faith in Expertise: And Why That’s a Giant Problem,” Foreign Affairs 96, no. 2 (2017): 60–73.