
Bagi mahasiswa Universitas Diponegoro yang rumahnya di Semarang, berangkat ke kampus lima hari dalam seminggu terasa tidak jauh seperti halnya rutinitas ketika berangkat ke SMA atau SMP beberapa tahun lalu. Hal serupa tidak bisa dikatakan bagi orang-orang yang harus merantau untuk melanjutkan jenjang pendidikan mereka.
Sepertinya ada masalah umum yang hampir semua mahasiswa perantau akan setuju. Selain tentunya, biaya bulanan untuk kontrakan atau kos-kosan. Kesulitan dalam bertransportasi pasti menjadi sebuah fenomena umum, terutama bagi mereka yang tidak membawa kendaraan dari kampung halaman mereka.
Tentu bagi mereka yang melek teknologi, pesan ojek online merupakan jalan pemikiran pertama di benak mereka. Lebih langka lagi mereka dengan pemikiran ortodoks yang memastikan adanya pangkalan ojek di dekat domisili sementara mereka.
Niche dari kebutuhan jasa antar jemput dan pemesanan makanan memang telah terdominasi oleh jasa ojek online (ojol). Tetapi bagi segmen mahasiswa yang aktif di media sosial tersendiri, keluh kesah para perantau Undip dapat dilihat di akun @undipmenfess di X -sebelumnya dikenal sebagai Twitter- di mana kata kunci seperti “anjem” atau “jastip” akan muncul di beberapa postingan dengan kolom komentar akan berisi respons berupa angka negosiasi harga.
Anjem yang merupakan singkatan dari “antar jemput” dan jastip yang merupakan singkatan dari “jasa titip” adalah sebuah fenomena yang sedang mewarnai kehidupan mahasiswa di Tembalang. Layanan Anjem dan jastip hadir dari kebutuhan mahasiswa akan pemasukan tambahan dan juga jawaban untuk ransportasi online yang murah dan terjangkau.
Persaingan para anjem atau jastip dalam mendapat pelanggan dapat terlihat dari reply di postingan menfess yang berisi para mahasiswa yang sedang membutuhkan jasa anjem atau jastip.
Para penjaja jasa anjem dan jastip akan menawarkan harga yang lebih rendah dari responden lain. Mereka merupakan driver yang menjajakan dan membujuk konsumen dengan sistem tidak tertulis yang mereka buat sendiri.
“Biasanya anak-anak [konsumen, red] pengen langsung tau fee-nya,” tutur Linda Febriyanti, seorang mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2020 yang melakukan kedua jasa sambilan tersebut.
Linda hanya salah satu dari beberapa mahasiswa yang berkecimpung di dalam tren usaha ojol mandiri dari kalangan mahasiswa guna mencari tambahan uang. Bisnis anjem dan jastip terus mendapat popularitas di kalangan mahasiswa pengguna media sosial.
Dava dan Raymon, mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2021, serta Ikhlas Dirgantara Ismoyo Putra yang akrab dipanggil Putra dari Sekolah Vokasi angkatan 2020 adalah contoh nyata mahasiswa yang mengambil inisiatif menjalankan bisnis sambilan ini.
Motivasi menjalankan bisnis ini bervariasi. Dava dan Raymon bermula dari kelas kewirausahaan yang mereka ikuti dalam semester 5. Keterlibatan mereka dalam anjem dan jastip berawal dari kebutuhan akan penghasilan tambahan dan peluang eksplorasi kota. Mereka melihat bahwa motor mereka lebih banyak tidak digunakan selama mereka kuliah.
“Jadi di semester 5 ini ada mata kuliah kewirausahaan. Nah, kita kepikiran karena kita di mata kuliah kewirausahaan itu kita malas buat usaha jasa makana.Akhirnya kita inisiatif untuk buat bisnis anjem ini,” ujar Dava.
Sementara itu, Putra mencari peluang dalam dunia anjem karena melihat pengeluaran yang banyak dan kebutuhan akan sumber pendapatan tambahan. Bagi Putra yang sebelumnya pernah aktif dalam jasa ojek online konvensional, bekerja sebagai anjem justru lebih mudah dan menguntungkan dibandingkan ojek online konvensional.
“Untuk sekarang lebih enak anjem karena kalo anjem sekarang udah bisa dapet langganan, berbeda dengan ojol yang sekarang sistemnya berubah-ubah. Kadang bisa dapat dari history atau kadang bisa penumpang baru dan itu belum tentu setiap hari dapatnya sama. Bisa kadang zonk,” ujar Putra.
Bahkan dari segi penghasilan, bagi Putra, pendapatan dari ojek online sudah tidak jauh berbeda dengan anjem.
“Bisa aja seminggu cuma nutup sehari-hari karena di ojol sekarang menghapus sistem bonus. Jadi pendapatan nggak segede waktu awal-awal dulu,” tegas Putra.
Perbedaan dari kedua layanan terletak pada apa yang perlu ditangani. Anjem yang tentunya berkutat dengan membawa seseorang menuju ke tujuan yang diinginkan merupakan jasa yang paling sama dengan modus operandi seorang pengojek.
Putra yang merupakan seorang mantan driver ojek online memilih untuk melanjutkan jasa yang berfokus pada aspek antar jemput. Begitu juga dengan Linda. Namun Linda menambahkan bahwa alasannya memilih anjem karena dalam transaksi anjem jasa yang ditawarkan simpel, mengantar konsumen ke tempat tujuan.
Hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk jastip di mana barang atau makanan menjadi pertanggungjawaban driver. Sentimen yang sama dimiliki Linda bergema pada Dava dan Raymon karena kompleksitas negosiasi dengan pelanggan dalam hal kompensasi biaya pembelian barang maupun biaya dari jarak pengantaran.
Bagaimanapun bisnis berjalan prinsip money talks tetap berlaku. Fokus dari pelayanan anjem dijelaskan secara gamblang oleh Linda, di mana pemasukan dari pelayanan antar jemput yang secara rata-rata lebih cepat daripada jasa titip yang lebih memakan waktu.
Delay waktu juga dirasa menyusahkan bagi Raymon. Terutama pesanan pada tempat yang ramai. Dava secara langsung lebih memilih uang bersih dari anjem daripada perhitungan rumit dari pembagian biaya jastip.
Meski penghasilan dari anjem atau jastip sangat membantu bagi para pelaku usahanya, sering kali penghasilan itu harus tertunda untuk masuk ke dalam kantong. Hal ini dikarenakan adanya para pelanggan yang sering kali menunda pembayaran.
Biasanya para pelanggan ini membayar melalui e-wallet. Mereka yang menunda pembayaran bahkan bisa menunda hingga tempo beberapa hari.
Permasalahan lain yang dihadapi para anjem dan jastip adalah adanya pembatalan perubahan jadwal mendadak. Hal ini dikarenakan tidak adanya unsur urgensi berupa pengikat pembayaran untuk pengguna yang umumnya ada pada aplikasi pemesanan ojek online.
Adanya sebuah komunitas tersendiri bagi driver ojol mandiri membantu mengatasi permasalahan ini. Putra menjelaskan bahwa para anjem saling berkomunikasi melalui sebuah grup WhatsApp untuk menghindari adanya perselisihan dengan pelanggan yang sengaja menyusahkan atau lebih buruknya sengaja menipu demi kepentingan mereka sendiri.
Linda menyebut bahwa ada grup WhatsApp bernama “Anak Tembalang”. Adanya grup khusus membuat negosiasi antara driver dan calon pengguna anjem dan jastip bisa menjadi lebih mudah.
Keberadaan dan perkembangan tren anjem dan jastip terlihat seperti antitesis dari monopoli ojek online yang semakin mendominasi servis jasa transportasi online. Di bawah cengkeraman billboard iklan promo mahasiswa dari salah satu perusahaan raksasa ojek online, ada mahasiswa yang melakukan bisnis yang hampir sama dengan cara mereka sendiri.
Ojek online dianggap sebagai dekonstruksi ojek tradisional dengan menghilangkan banyak aspek negatif yang mengakar pada praktiknya. Ojol mandiri yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa dapat dikatakan sebagai sebuah rekonstruksi kecil atas ojek online.
Fenomena kecil di kalangan mahasiswa ini juga mencerminkan dinamika dan tantangan dalam bisnis sambilan yang mahasiswa lakukan untuk alasan masing-masing. Sebuah pencerminan prevalensi mindset kapitalisme di mana motor nganggur merupakan alasan yang cukup untuk menambah uang jajan atau mempersiapkan diri untuk mencari uang sendiri.
Penulis: Bintang
Reporter: Farhan, Dewi, Ayunda, Alaina.
Editor: Andriv