
Cuaca Kota Semarang di pertengahan Maret menyengat siapa saja yang berada di bawah naungannya. Tercium bau harum gulai yang semerbak diikuti oleh sorak-sorai orang-orang dari dalam gang kecil di Kota Semarang.
Menjelang datangnya bulan suci Ramadhan, warga Kampung Bustaman yang terletak di Jalan MT. Haryono, Purwodinatan Semarang, Jawa Tengah mengadakan festival budaya yang melambangkan pembersihan diri sebelum datangnya hari kemenangan. Dalam festival ini, Masyarakat sekitar melakukan ritual menggunakan air sebagai medianya. Ritual yang dilakukan bukan merupakan ritual yang dibumbui dengan hal-hal mistis, sebaliknya malah mengukir senyum dan dipenuhi canda tawa siapapun yang mengikutinya. Festival itu dinamakan Festival Gebyuran Bustaman.
Menurut penuturan Adin selaku panitia acara tersebut, Tradisi ini dimulai oleh sosok Kyai Bustam yang merupakan pendiri kampung. Ia memanfaatkan sumur yang dibangun di atas tanah pemberian Belanda untuk menggebyur anak-cucunya sebelum Ramadhan. Hal itulah yang menjadi asal-usul Festival Gebyuran Bustaman diselenggarakan.
Hari Bustam selaku sesepuh kampung juga mengatakan bahwa acara gebyuran ini sudah dilakukan selama kurang lebih 281 tahun. Sejak pada tahun 2012, acara gebyuran ini dibuka untuk umum. Pada awalnya masyarakat hanya menggunakan alat-alat yang sederhana seperti ciduk, gayung serta ember. Barulah di tahun berikutnya, mereka menggunakan plastik berisi air dengan berbagai macam warna seperti warna merah, hijau, kuning dan biru.
Yang dinamakan tradisi pasti sarat akan makna, sama halnya dengan Festival Gebyuran Bustaman ini. Setiap laku yang dilakukan di dalam festival ini memiliki maknanya tersendiri. Misalnya saja tradisi siraman yang dilakukan oleh warga sekitar kepada anak-anak yang ada di sana. Ritual ini dimulai dengan didudukannya anak-anak yang berusia sekitar enam sampai dengan 8 tahun. Mereka mengenakan pakaian adat sembari duduk di kursi yang sudah ditata sedemikian rupa. Kemudian setelah melakukan beberapa pembacaan doa, tubuh mereka disiram menggunakan air.
Menurut Pak Azhar yang merupakan ketua RW setempat, ritual siraman ini dilakukan sudah sangat lama. Ritual ini dijadikan sebagai penanda bahwa akan datangnya bulan suci Ramadhan. Filosofi dari ritual siraman itu sendiri yaitu, siraman dipercaya sebagai simbol pembersihan diri dari dosa-dosa manusia yang dilakukan sebelumnya. Diharapkan, saat datangya bulan Ramadhan, diri kita seperti membuka lembaran baru, suci dan bersih dari dosa.
Kemudian ada pula ritual mencoreng wajah menggunakan bedak cair yang sudah diberi warna. Bedak cair itu melambangkan dosa-dosa yang sudah kita buat selama ini. Nantinya, bedak cair itu akan hilang seiring berjalannya festival gebyuran. Bedak cair itu perlahan akan luntur oleh air yang dilemparkan saat puncak acara dilaksanakan. Dalam puncak acara, Masyarakat sekitar akan melemparkan plastiK berisi air yang sudah diberi pewarna makanan. Air-air itu lah yang nantinya akan melunturkan bedak cair yang dicoreng di wajah.
Mungkin beberapa laku yang dilakukan dalam Festival Gebyuran Bustaman ini dianggap tidak penting. Namun, dibalik itu justru tersimpan berbagai filosofi yang mengingatkan kita pada kehadiran Bulan Ramadhan, jalan menuju hari kemenangan.
Reporter: Suci, Nazil, Marricy, Ayunda, Diyah, Alaina, Melly, Vita, Albert, Faruq, Izza, Shinta.
Penulis: Lala