
Makna Keris Masa Kini dalam Benak Masyarakat
Bulan Sura sebagai rentang waktu yang mendapat tempat sakral di hati masyarakat Jawa telah berlalu sejak 17 Agustus 2023 kemarin. Begitu sakralnya bulan Sura atau Muharram bagi masyarakat Jawa menjadikan bulan ini sebagai ajang untuk melakukan berbagai tindakan ritus, utamanya kaum Abangan.
Beberapa kelompok Kejawen dalam masyarakat Jawa rutin mengadakan penyucian pusaka di pertengahan Sura. Pusaka-pusaka yang dicuci atau dibersihkan ada banyak, namun yang paling popular adalah keris.
Keris telah menjadi benda pusaka bernilai tinggi yang erat kaitannya dengan hal-hal yang bersifat religio-magis karena harus diperlakukan secara khusus. Unsur mistik pada keris melekat dalam benak masyarakat.
Fungsi Awal Keris
Pandangan umum dan kecenderungan sebagian masyarakat Jawa memperlakukan keris secara spesial seperti wajarnya benda pusaka yang dihormati merupakan transformasi dari fungsi awal keris itu sendiri sebagai senjata tikam.
Keris awalnya merupakan senjata tikam, bagaikan belati, seperti yang dikatakan Solyom (1988: 5) dalam The World of The Javanese Keris. Keris bagi orang Jawa sebagai senjata tusuk (landhep) bisa diinterpretasikan maknanya sebagai kecerdasan, ke-waskitha-an, ketajaman perasaan, intuisi, dan ilmu pengetahuan.
Unggul Sudrajat dan Dony Satryo Wibowo dalam Materi Muatan Lokal Bidang Kebudayaan: Keris menyebutkan bahwa awal mula keris berasal dari tradisi penggunaan senjata tikam sejak zaman Megalitikum (3500-1000 SM) yang dikembangkan menjadi senjata tikam dengan bahan baku logam di masa-masa setelahnya.
Kita beranjak ke masa klasik, utamanya Jawa Kuna. Peeters dalam “The Keris is Distinctive Weapon or Dagger of the Indonesian and Malayan World, and Matches the Japanese Samurai in art and Craftmanship” menjelaskan bahwa keris di Nusantara telah ada lebih dari seribu tahun. Jika mengacu pada bagian kamadhatu Candi Borobudur, salah satu reliefnya menceritakan hendak ditikamnya seseorang dengan senjata yang wujudnya mirip keris.

Nama senjata keris berasal dari kata kris yang banyak dijumpai di prasasti masa Jawa Kuna. Misalnya, prasasti Poh (827 Saka atau 905 Masehi) yang memuat penetapan satu wilayah menjadi “sima” atau daerah yang dibebaskan dari pajak menyebutkan salah satu benda-benda yang digunakan untuk kelengkapan ritual adalah kris yang berada di antara benda tajam lainnya yaitu alat-alat pertukangan dan pertanian. Penderetan keris di antara benda-benda fungsional menyiratkan bahwa keris pada waktu itu mempunyai kegunaan praktis dan belum bernuansa mistik dan dianggap sebagai pusaka (Sedyawati, 2011: 29).
Fungsi keris sebagai senjata tikam masih berlangsung hingga masa Majapahit. Menurut Ma Huan (penerjemah resmi Cheng Ho) dalam catatannya, Yingya Shenglan yang terbit pada 1416 Masehi menceritakan bahwa pria Majapahit membawa senjata mirip keris yang disisipkan di ikat pinggang mereka. Jika terjadi pertikaian maka mereka akan mengeluarkan senjatanya dan mulai menusuk.
Selain itu Candi Sukuh (abad ke-14) memperlihatkan relief pandai besi sedang bekerja. Di sana terlihat sejumlah benda besi yang salah satunya adalah alat tusuk berbilah ramping meruncing, seperti bilah keris yang kita kenal sekarang ini.
Pergeseran Fungsi Keris
Lalu sejak kapan fungsi keris sebagai senjata tikam berubah? Edi Sedyawati dalam Keris pada Masa Jawa Kuna menjelaskan bahwa keris merupakan senjata yang dapat bertuah dan berfungsi sebagai pusaka. Seperti yang disebut dalam karya sastra kronik, Pararaton yang ditulis pada sekitar abad ke-16 Masehi. Pararaton memaparkan kisah dalam tema besar tentang keris Empu Gandring yang memakan korban tokoh demi tokoh pimpinan kerajaan.
Narasi yang dibangun Pararaton menampilkan kualifikasi bahwa keris merupakan benda yang sangat bertuah yang memiliki kekuatan tergantung pada tingkat kesaktian pemilik keris. Kisah tersebut memberikan pandangan kepada masyarakat Jawa bahwa keris merupakan senjata ampuh yang berbalut kekuatan gaib.
Penggunaan keris sebagai benda pusaka semakin berkembang pada masa Islam terutama masa Kesultanan Mataram (1586-1755 Masehi). Hal ini berlanjut sampai keturunan-keturunannya yaitu Catur Sagatra (Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Paku Alaman).
Dosen Departemen Sejarah Dr. Indriyanto, S.H, M.Hum., menjelaskan bahwa kekuasaan Mataram yang berada di pedalaman Jawa serta terkurungnya mereka karena akses laut lambat laun dikuasai VOC, membawa Mataram ke arah involusi budaya yang secara nyata tidak membawa kemajuan arah budaya Jawa.
Akibatnya Mataram semakin memperhalus budayanya sehingga tercipta hierarki sosio-kultural yang sangat jelas membagi hak, wewenang, serta peran yang harus dilakukan berbagai kelompok masyarakat Mataram. Tujuannya jelas sebagai sarana untuk legitimasi kultural untuk kelangsungan dinasti. Salah satu caranya adalah dengan penulisan babad-babad, utamanya Babad Tanah Jawi.
Babad Tanah Jawi sebagai sarana legitimasi kekuasaan priayi istana Mataram juga menggambarkan kisah-kisah religio-magis pusaka yang salah satunya adalah keris. Semua benda pusaka merupakan simbol legitimasi penguasa (Purwana, 103). Demi tujuan untuk menutup keterputusan hubungan dengan kerajaan-kerajaan pendahulunya maka harus disambung kembali dengan konsep “wahyu” yang menggabungkan unsur religio-magis dengan kekuasaan yang ada dalam keris.

Keris pusaka sejak dinasti Mataram berfungsi sebagai simbol kekuasaan dan kedaulatan atas wilayah. M.C. Ricklefs menyatakan bahwa tidak ada raja Jawa yang bisa mendirikan kekuasaannya tanpa mengumpulkan di sekitarnya simbol-simbol keabsahan kerajaan semacam itu.
Misalnya, berdirinya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat didahului oleh kesepakatan perdamaian perang antara Susuhunan Pakubuwana Ill dengan Pangeran Mangkubumi tahun 1755 serta pembagian umum atas pusaka-pusaka keraton yang berlangsung di Jatisari. Terjadi serah terima sekumpulan pusaka keraton yang diperlukan oleh Pangeran Mangkubumi sebelum ia bisa mendirikan istananya dengan kukuh hingga finalnya ia dapat menjadi raja setelah memperoleh pusaka milik Raja Mataram Sinuhun Pakubuwana II.
Validasi keris sebagai benda bertuah juga didukung dengan upacara siraman pusaka. Menurut Bambang H. Suta Purwana dalam Makna dan Fungsi Keris dalam Kehidupan Orang Jawa, upacara siraman pusaka yang diselenggarakan oleh keraton setiap tahun memiliki makna penting yaitu ajang pameran pusaka karena setiap pusaka memiliki sejarah.
Pembersihan dan penampilan pusaka tidak lain hanya sebuah visualisasi dari legenda yang melekat pada masing-masing pusaka. Tradisi perawatan keris karena dianggap berdaya magis yang bermula di istana ini mungkin menyebar hingga ke lingkungan wong cilik yang didukung oleh narasi-narasi dalam Babad Tanah Jawi.

Pada akhirnya fungsi keris cukup berkembang, namun tetap dalam lingkup religio-magis seperti pemanfaatan keris pusaka untuk media penyembuhan penyakit, membantu proses kelahiran bayi, mengusir setan, menjaga keselamatan rumah tangga dan mendatangkan hujan. Fungsi keris seperti itu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat masih ditemukan di Tepus, Gunung Kidul (Sumintarsih, dkk, 1990: 136).
Pada kehidupan tradisional masyarakat Jawa ditemukan juga tradisi lisan yang mungkin di sebagian kecil wilayah masih dianut yaitu gambaran sosial tentang sosok seorang laki-laki Jawa yang ideal adalah mereka yang mampu memenuhi lima kelengkapan hidup sebagai warga yang bermartabat. Lima kelengkapan hidup tersebut adalah seorang laki-laki dikatakan sempurna apabila telah memiliki garwa (istri), wisma (rumah), curiga (keris), turangga (kuda) dan kukila (burung). Budaya semacam itu yang terwujud dalam sistem pengetahuan masyarakat Jawa semakin meningkatkan nilai prestise pusaka keris.
Referensi:
Ricklefs, M.C., 2002, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749- 1792: Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta: Matabangsa.
Sudrajat, Unggul dan Dony Satryo Wibowo. 2014. Materi Muatan Lokal Bidang Kebudayaan: Keris. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Sumintarsih, dkk, 1990, Senjata Tradisional Daerah lstimewa Yogyakarta. Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek lnventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2011. Keris dalam Perspektif Keilmuan. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Hardoyo, Adityo B, dkk. (2014). “Urgensi Pengenalan Senjata Tradisional Keris Untuk Anak Sekolah Dasar Melalui Media Internet”. Jurnal Kreatif, 2 (2), hlm: 83 – 94.
Putri, Herdahita Putri. (2018). “Catatan Ma Huan tentang Masyarakat Majapahit”, diakses dari https://historia.id/kuno/articles/catatan-ma-huan-tentang-masyarakat-majapahit-vqj0y/page/1 , pada 8 September 2023.
Penulis: Wahyu Mada (kontributor)
Editor: Andriv (Aan)