Si Hijau Kembali: Melihat Masa Depan Pemerintahan Prabowo Subianto di Bawah Bayang-Bayang Multifungsi TNI

Ilustrasi/Afis

Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah mencapai masa kerja lebih dari 100 hari. Waktu yang memang cukup singkat bahkan kurang cocok bila kita menilai kinerja pemerintah selama lima tahun yang akan datang, akan tetapi selama 100 hari itu kita bisa melihat ke mana arah kebijakan pemerintahan dalam beberapa tahun ke depan. Apakah sesuai dengan janji kepada rakyat atau kepada para donatur?

Sejak bulan Oktober 2024, pemerintahan Prabowo Subianto telah menerapkan berbagai kebijakan baru yang kental dengan istilah “merakyat”. Jika kita membaca kembali isi pidato Prabowo yang dibacakan saat pelantikan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024. “Asta Cita” merupakan 8 Misi sang Presiden dalam membangun Indonesia selama lima tahun ke depan, salah satu misinya berbunyi “Memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.”

Tampaknya, Prabowo Subianto mempunyai komitmen yang sangat besar dalam mewujudkan Supremasi Sipil sekaligus menjalankan Amanat Reformasi 1998. Namun, janganlah masyarakat terlalu percaya dengan omongan besar seorang pemimpin jika hal tersebut di kemudian hari tidak lebih dari sebuah nonsense atau lebih tepatnya hanya sekedar “omon-omon” saja. Tidak butuh waktu lama untuk melihat bahwa apa yang dibicarakannya berbeda dengan apa yang dilakukan.

Hingga saat ini, birokrasi di tubuh pemerintahan Prabowo Subianto seolah ingin kembali ke masa rezim Orde Baru di mana tugas dan fungsi perwira militer, TNI, hanya bekerja di balik meja kerja pemerintahan dan bukan bertugas di markas besar, perbatasan, atau bahkan di medan perang. Namun, terdapat perbedaan dalam hal legalitas jika memperhatikan bagaimana TNI masuk ke ranah sipil akhir-akhir ini. Jika pada masa Orde Baru perwira TNI dapat menduduki posisi-posisi sipil karena sistem dwifungsi ABRI kala itu, sekarang TNI dapat masuk ke ranah sipil berkat trust pemerintah yang melihat bahwa dengan militer segala permasalahan dapat dituntaskan.

Tidak mengherankan jika sejak dilantik sebagai presiden RI, Prabowo seolah-olah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada perwira TNI untuk masuk ke dalam ranah pemerintahan sipil seperti di Kabinet Merah Putih. Hingga saat ini, terdapat berbagai kontroversi yang terjadi di dalam pemerintahan Prabowo Subianto berkenaan dengan intervensi TNI yang mulai menempati posisi-posisi penting di pemerintahan.

Persoalan pertama adalah ditunjuknya Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) menjadi awal bagaimana komitmen Prabowo terhadap supremasi sipil mulai dipertanyakan. Meskipun hak prerogatif dalam menentukan seorang seskab diberikan kepada presiden, tetap perlu dipahami jika sektor tersebut (seharusnya) tidak boleh diisi oleh kalangan militer aktif. Ironisnya, penunjukan Teddy sebagai seskab dilakukan sehari setelah pembacaan misi Asta Cita.

Hal kedua muncul pada kenaikan anggaran pertahanan dan keamanan untuk kepentingan Pembangunan Komando Daerah Militer (kodam) dari 15 kodam menjadi 38 kodam di tengah Kebijakan Efisiensi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Artinya setiap provinsi memiliki kodam sebagaimana pihak kepolisian memiliki Polisi Daerah (Polda) di setiap provinsi yang ada di Indonesia. Selain kodam, pemerintah berupaya mendirikan 100 batalyon pembangunan teritorial yang bertujuan untuk mendukung kepentingan nasional seperti Program Food Estate, Makan Bergizi Gratis (MBG), hingga Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya.

Keterlibatan TNI dalam PSN berpotensi menimbulkan konflik vertikal “berdarah” dengan masyarakat di sana, sebab PSN cenderung mengabaikan kehidupan masyarakat.

Ekspektasi pemerintah melalui PSN cenderung hanya memperhitungkan urusan komersial maupun pendapatan negara ketimbang kehidupan yang layak bagi masyarakat disana. Keterlibatan TNI juga berpotensi terhadap meningkatnya kasus pelanggaran HAM sebagaimana yang terjadi ketika konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah, seperti konflik Food Estate yang terjadi di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Ketiga, penunjukkan Mayor Jenderal Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama (Dirut) Badan Urusan Logistik (Bulog) menjadi indikasi nyata bahwa TNI sudah diperbolehkan mengisi pos sipil. Meskipun penunjukan Novi Helmy sebagai direktur Bulog berasal dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni Erick Thohir, akan tetapi hal tersebut menggambarkan kepercayaan pemerintah “hanya” kepada pihak TNI.

Keputusan mengangkat seorang perwira aktif TNI membuat pemerintah memandang TNI sebagai solusi atas berbagai permasalahan yang ada serta menjadi langkah efektif untuk mengakselerasi proses pembangunan nasional.

Melihat fenomena “Hijau Kembali” di pemerintahan Prabowo membuat masyarakat bertanya-tanya mengenai langkah pemerintahan Prabowo berkaitan dengan penggunaan TNI untuk menjawab berbagai tantangan pembangunan. Untuk memahami hal tersebut perlu dilakukan sebuah kajian mendalam tentang arah kebijakan politik sang Presiden. Mula-mula perlu dicermati latar belakang seorang Prabowo Subianto sebelum menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Dalam “memahami” karakter dan pemikiran seorang Prabowo Subianto supaya lebih afdol ada baiknya jika kita membaca dan menelaah buku-buku karangan beliau. Salah satunya yang berjudul Paradoks Indonesia dan Solusinya, di dalam buku tersebut Prabowo menumpahkan segala pikiran dari benaknya tentang bagaimana ia membangun Indonesia ke depannya.

Meskipun Prabowo lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga ekonom ternama, Sumitro Djojohadikusumo, sikap dan kepribadian Prabowo Subianto sebenarnya terbentuk di lingkungan militer ketika ia menjadi perwira TNI aktif selama lebih dari 20 tahun. Tidak mengherankan jika pemikiran Prabowo Subianto tentunya sangat dipengaruhi oleh doktrin angkatan bersenjata pada masanya, yakni pada masa Orde Baru. Saat itu pemerintahan sipil didominasi oleh kalangan militer, mulai dari aparatur desa hingga lembaga eksekutif di tingkat kementerian.

Keberadaan sistem dwifungsi ABRI memberikan karpet merah bagi militer untuk menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan sipil. Dengan dalih keamanan dan stabilitas nasional, militer mempunyai maksud dan alasan mereka bisa menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan sipil walaupun pada faktanya tidak ada ancaman besar terhadap Stabilitas Nasional kala itu.

Bentuk ancaman seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Operasi Seroja pada tahun 1975 dapat dikatakan sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional, akan tetapi kedua hal tersebut hanya mencakup satu daerah dan tidak benar-benar mengancam stabilitas dengan cakupan lebih besar, yakni negara.

Faktanya, menggunakan militer memang dapat diandalkan dalam hal fungsi teknis dan operasi lapangan apabila hal tersebut terbilang sulit untuk dilakukan oleh kalangan sipil, terlebih jika mereka memiliki keterbatasan. Perlu dipahami bahwa hal tersebut bersifat teknis lapangan yang berarti militer hanya berfungsi sebagai satuan pendukung, bukan sebagai central command sebagaimana hierarki dalam tubuh militer. Cukup bagi pemimpin satuan tersebut bertugas di bawah arahan sipil bukan mereka yang Justru menjadi Komando.

Hal tersebut termaktub jelas dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang menjelaskan fungsi TNI dapat memberikan bantuan melalui operasi. Terdapat batasan-batasan yang jelas mengacu pada Undang-Undang No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Salah satu poin penting di dalamnya menjelaskan bahwa OMSP mempunyai definisi berupa tugas-tugas non-tempur dalam OMSP seperti tugas kemanusiaan, bencana alam, dan kepentingan nasional lainnya.

Namun, konteks “Kepentingan Nasional” mempunyai makna luas jika menggunakannya dalam hal urusan pemerintahan, maka tidak mengherankan jika dalam prosesnya penggunaan TNI dalam OMSP cenderung bergesekan dengan peraturan (Undang-Undang) yang ada. Kerancuan tersebut menjadi penyebab mengapa pemerintahan Prabowo Subianto cenderung menempatkan militer dalam tubuh pemerintahannya yang padahal sudah sepatutnya menjunjung tinggi supremasi sipil sekaligus amanat Reformasi 1998.

 

Penulis: Irsyad

Editor: Marricy

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top