
Memasuki era society 5.0, Akal Imitasi (AI) menjadi salah satu teknologi dari revolusi industri 4.0 yang berkembang di Indonesia untuk memudahkan pekerjaan masyarakat, tak terkecuali pada bidang industri kreatif. Namun, alih-alih digunakan sebagai alat pembantu pekerjaan, sekarang ini penggunaan AI pada industri kreatif justru digunakan hingga 100% untuk menciptakan sebuah karya secara instan.
Salah satu hal yang menjadi sorotan masyarakat terutama seniman Indonesia adalah bagaimana pemerintah Indonesia memasifkan penggunaan AI dalam penciptaan sebuah karya untuk mengunggah konten-konten di media sosial.
Pada 3 Februari 2025 lalu, Menteri Komunikasi Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid Ansyah, terlihat menggunakan AI dalam unggahannya di akun Instagram pribadi miliknya yang menampilkan sebuah animasi terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG). Unggahan tersebut sempat menjadi viral di media sosial dan mendatangkan berbagai tanggapan khususnya dari para seniman.
Antares.T, seorang self-taught artist berdomisili Jawa Timur yang aktif sebagai seorang ilustrator di X, menyampaikan pendapatnya terhadap peristiwa tersebut melalui pesan langsung. Ia merasa pemerintah seolah tidak memberikan dukungan kepada industri kreatif dalam negeri.
“Saya sedih melihat peristiwa tersebut seakan pemerintah tidak men-support industri kreatif dalam negeri. Sebagai artist, melihat gambar AI yang dipakai pemerintah rasanya aneh, sayang sekali padahal Indonesia memiliki seniman hebat namun tidak diapresiasi,” ujarnya.
Selain animasi untuk promosi program MBG, Meutya juga mengunggah konten lainnya yang memuat animasi AI seperti konten edukasi tentang pendampingan anak di dunia digital hingga ucapan dalam rangka menyambut bulan Ramadan.
Melihat masifnya penggunaan AI oleh pemerintah, Adena Varda sebagai seorang ilustrator pekerja lepas yang juga aktif di X mengatakan bahwa AI tidak hanya merugikan pekerja kreatif, tetapi juga memberi dampak buruk bagi lingkungan.
“Generative AI juga memiliki dampak buruk bagi lingkungan. Untuk mengerjakan satu prompt, pusat data AI harus melewati banyak sekali perhitungan untuk mencocokkan prompt tersebut. Untuk menjaga pusat data ini berjalan dan tidak overheat, diperlukan air dalam jumlah banyak juga,” jelas Aden.
Jika dinormalisasikan, penggunaan AI ini bisa saja menutup ruang bagi seniman dalam negeri untuk berkarya, bahkan menggerus karir mereka. Penggunaan AI dengan alasan lebih praktis dan murah dapat membuat harga pasar untuk karya seniman menjadi anjlok. Aden juga menyebutkan bahwa ia dan beberapa rekan ilustrator merasakan daya beli masyarakat kian menurun.
Penggunaan AI oleh pemerintah ini tidak hanya mendapat respons dari para pekerja kreatif, tetapi juga dari mahasiswa seni. Azarine, seorang mahasiswa Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Sebelas Maret (UNS) turut memberikan tanggapannya terhadap hal ini. Ia menilai bahwa AI bisa digunakan dengan lebih bijak, misalnya dengan melakukan kolaborasi dengan seniman.
“Pemerintah atau pihak lain yang menggunakan AI harusnya sudah paham betul kalau AI ini hanya sebatas alat bantu, jelas berbeda dengan seniman. Nah, dari kelebihannya itu mending dikolaborasikan sama para seniman, entah buat nyari ide, nyari elemen yang pas, dan lainnya. Nanti semuanya bakal dieksekusi sama seniman sampai jadi hasil akhirnya,” tutur Azarine.
Melihat perkembangan AI yang tentunya tidak dapat dihindari seiring dengan berkembangnya teknologi, para seniman mengungkapkan harapan mereka bahwa harus ada edukasi dan regulasi yang tegas terkait penggunaan AI, baik untuk melindungi seniman maupun masyarakat dari dampak penyalahgunaan AI tersebut.
Reporter: Arya, Marricy, Dila, Lia
Penulis: Lia
Editor: Cattleya