
“One is not born, but, rather, becomes a woman.” — Simone de Beauvoir.
Mungkin beberapa dari kalian merasa judul yang saya tuliskan terasa sedikit menjengkelkan (dan agak sombong). Saya mafhum, karena telah menggunakan kata “mengaku” sebagai judul. Namun, alasan saya lebih memilih kata “mengaku” dari pada “adalah” yakni untuk menantang dan memikirkan ulang tentang arti sebagai feminis. Kata “mengaku” masih menyisakan jarak bagi si subyek untuk sebuah klaim atas identitas. Sedangkan kata “adalah” memberikan efek lebih solid, karena mempertegas sekaligus merefleksi dari identitas itu sendiri.
Dewasa ini, perjuangan yang telah dilakukan oleh para aktivis feminisme telah menunjukkan hasil yang signifikan terhadap perubahan masyarakat. Kini, masyarakat mulai menyadari arti penting dari kesetaraan, kebebasan, dan anti diskriminasi terhadap perbedaan gender. Masyarakat mulai menyadari dan berusaha mengkonstruksi ulang terhadap identitas gender yang dulu dianggap sebagai sebagai kodrat alam. Akan tetapi, usaha tersebut selalu menemukan tantangan barunya, baru-baru ini muncul fenomena chauvo feminisme. Mereka adalah para laki-laki yang mengaku sebagai feminis, tetapi justru pelaku diskriminasi terhadap perempuan (Vaught, 2021).
Seorang penulis terkenal asal Inggris, Neil Gaiman, menjadi perbincangan hangat publik pada bulan Januari lalu usai seorang mantan pengasuh bayi bernama Scarlett Pavlovich mengajukan gugatan kepada Gaiman dan istrinya atas kasus pelecehan seksual ke pengadilan federal di Massachusetts. Berita itu langsung saja mengejutkan banyak pihak dan menimbulkan polemik di masyarakat. Hal ini karena sebelumnya, Gaiman pernah mengklaim dirinya sebagai sebagai sosok penulis progresif yang membela hak-hak perempuan dan kaum marginal. Keseriusan tersebut, dituangkan dalam beberapa karyanya, seperti The Sandman dan Caroline.
Namun, Neil Gaiman menyanggah gugatan tersebut. Ia mengatakan bahwa gugatan yang diarahkan kepadanya merupakan kebohongan. Ia menulis dalam blognya berjudul “Breaking The Silence,” bahwa dirinya tidak pernah melakukan hubungan seksual tanpa sebuah konsensual “I’m far from a perfect person, but I have never engaged in non-consensual sexual activity with anyone. Ever.” Meskipun begitu, gugatan oleh korban pemerkosaan bukanlah sesuatu yang semata-mata bisa kita abaikan dengan mudah.
Pada kasus-kasus pelecehan seksual, hubungan antara korban dan pelaku selalu hadir dalam ketimpangan relasi kekuasan. Korban menjadi sosok yang paling dirugikan baik secara fisik dan psikis. Bagi korban pelecehan, kehidupan mereka tidak pernah lagi sama, bayang-bayang traumatik akan selalu menjangkit ingatan mereka sampai waktu yang entah sampai kapan.
Kasus Neil Gaiman sebenarnya bukanlah kasus yang pertama, pada tahun 2006 seorang produser film dari sebuah studio besar Miramax, Harvey Weinstein, telah melakukan kekerasan, pelecehan, dan pemerkosaan terhadap kurang lebih 80 perempuan. Jika kita melihat pada film dokumenter berjudul She Said yang berkisah tentang pembokaran kasus Weinstein, memperlihatkan dampak mengerikan dari dominasi kekuasaan yang mampu membuat para korban untuk diam selama berpuluh-puluh tahun.
Meski Harvey Weinstein sendiri tidak pernah mengklaim dirinya sebagai seorang feminis secara terbuka seperti yang dilakukan oleh Neil Gaiman, akan tetapi dia pernah mendukung gerakan women’s march dan film-film yang disutradarai oleh perempuan (dikutip dari Magdalene). Hal ini secara tidak langsung membentuk citra Weinstein sebagai sosok yang mendukung kesetaraan perempuan.
Kasus Gaiman dan Weinstein merupakan bukti nyata bahwa kekerasan terhadap perempuan belum benar-benar tuntas, bahkan dalam tubuh laki-laki yang mengaku sebagai feminis. Mereka mengklaim sebagai feminis, mendukung kesetaraan, berkontribusi dalam menghasilkan karya-karya progresif, akan tetapi semua itu seperti manipulasi publik atas wajah patriarki mereka. Manipulasi dan kontrol atas perempuan mereka lakukan sehalus mungkin untuk menjaga reputasi karir dan kekuasaan.
There Is No Safe Word
Pada feature yang berjudul There is No Safe Word oleh Lila Shapiro menceritakan tentang seorang penulis bernama Neil Gaiman yang menyembunyikan tindak kriminalnya selama beberapa tahun kepada beberapa perempuan. Tulisan tersebut menceritakan tentang bagaimana Gaiman melakukan hubungan seksual tanpa konsensual dengan korban. Gaiman seringkali memaksa, memukul, dan menggunakan kalimat manis seolah dirinya adalah sosok yang dominan “He said, ‘Call me ‘master, and I’ll come.’ He said, ‘Be a good girl. You’re a good little girl.’”
Pelecehan seksual yang dilakukan oleh Neil Gaiman erat sekali kaitannya dengan ketimpangan kuasa antara dirinya dan korban. Gaiman, seorang penulis dengan karya-karya yang terkenal dan mendapat perhatian khusus bagi para penggemarnya, bahkan karyanya yang berjudul Caroline berhasil mengeksplorasi kompleksitas ide-ide tentang “Ibu” sebagai sosok feminis, sedangkan para korban, kebanyakan dari mereka adalah para perempuan berusia sekitar 20 tahun.
Sebut saja Pavlovich, saat bertemu dengan Gaiman, ia masih menjadi mahasiswa jurusan Drama yang berusia 22 tahun. Ia pertama kali bertemu dengan Gaiman setelah mendapat tawaran kerja sebagai pengasuh bayi dari Amanda Palmer, istri Gaiman, yang sekaligus seorang feminis. Singkat cerita Neil Gaiman melakukan pemerkosaan dan kekerasan beberapa kali kepada Pavlovich, bahkan Gaiman pernah melakukan tindak kriminal tersebut ketika anaknya sedang berada di rumah.
Berita tentang pemerkosaan yang dilakukan oleh Gaiman memang memancing amarah, tetapi hal ini telah memaksa kita untuk lebih kritis. Bahwa, sampai sekarang, perempuan masih belum bisa terlepas dari jerat penindasan yang merupakan dampak dari nilai-nilai patriarki. Mereka masih terjerembab menjadi objek seksual. Bahkan ketika laki-laki mengaku dirinya sebagai seorang feminis.
Ungkapan “master” yang selalu diucapkan oleh Gaiman ketika memperkosa para korbannya menandakan akan sebuah superioritas, entah dia sebagai penulis terkenal. Mungkin kalian akan bertanya, sekarang, siapa lagi yang masih bisa dipercaya?
Dominasi adalah Akar Segalanya
Kasus kekerasan, pelecehan, pemerkosaan hingga femisida terhadap perempuan berasal dari akar yang sama, yaitu kontrol atas perempuan, entah berbentuk kebijakan atau nila-nilai budaya dan agama yang dalam masyarakat masih menganggap perempuan sebagai objek belaka. Sehingga dalam budaya patriarki, tidak heran, melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan dianggap menjadi hal yang normal.
Hal ini masih berlaku dalam beberapa kasus, termasuk dalam fenomena chauvo feminisme. Meski memiliki kadar intensitas berbeda. Jika kita melihat lebih dekat lagi, para pelaku bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Tanda-tanda ini kita bisa lihat dalam penggunaan bahasa yang dilakukan ketika berkomunikasi, biasanya para laki-laki akan secara terang-terangan mendukung kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi semua itu harus masih dalam ranah yang bisa mereka kontrol.
Hal ini pernah terjadi pada salah satu public figure bernama Anang Hermansyah di dalam diskusi dan debat di wawancara Mata Najwa, dia pernah mengatakan “Kita laki-laki udah capek ke rumah (melihat istri –penulis), pake daster, gak cantik, gak keren, terus lihat beginian, ini gimana?” ucapan yang dilakukan secara menggebu-gebu itu mengandung unsur kontrol terhadap tubuh perempuan tanpa Anang sadari. Padahal selama wawancara berlangsung, Anang menganggap dirinya sebagai sosok yang pro terhadap kebebasan perempuan.
Membandingkan antara kasus Neil Gaiman dan statement Anang Hermansyah adalah bukti masih kokohnya patriarki di masyarakat. Sehingga untuk menciptakan lingkungan yang setara dan bebas dari diskriminasi gender masih menyisakan beban usaha bersama.
Saya mafhum, karena patriarki tidak bangun dalam satu malam. Ia merupakan sisa dari peradaban yang sudah tertanam dalam diri manusia, seolah-olah patriarki menjadi sesuatu yang alami. Namun, kita tetap harus berjuang untuk mendorong patriarki ke dalam jurang sekaligus bertanya kepada para laki-laki.
Di dalam hati paling jujur, apakah kalian ingin berbagi tempat bersama perempuan?
Penulis: Diaz Fatkhur Rohman
Editor: Marricy
Daftar Pustaka
Devi, J. F. (2025, Februari 5). Neil Gaiman dan Citra Laki-Laki Feminis yang Runtuh. Retrieved from Magdalene: https://magdalene.co/story/neil-gaiman-citra-laki-laki-feminis-runtuh/#google_vignette
Gaiman, N. (2025, Januari 14). Breaking The Silence. Retrieved from Journal Neil Gaiman: https://journal.neilgaiman.com/2025/01/breaking-silence.html
Mata Najwa(2023, Maret 1). Susahnya Jadi Perempuan. Youtube. https://youtu.be/jOfwbj09z1Q?si=jl95Bq7UVyC5tDWc
Shapiro, L. (2025, January 13). There Is No Safe Word How the best-selling fantasy author Neil Gaiman hid the darkest parts of himself for decades. Retrieved from Vulture: https://www.vulture.com/article/neil-gaiman-allegations-controversy-amanda-palmer-sandman-madoc.html
Vaught, A. (2021, Februari 10). Chauvo-Feminism: On Sex, Power, and #Me Too by Sam Mill . Retrieved from 3: AM Magazine: https://www.3ammagazine.com/3am/chauvo-feminism/