Representasi Budaya Patriarki Melalui Lagu Masa Kini

Ilustrasi/Afis

Musik merupakan salah satu komponen penting dalam cerita hidup manusia. Tanpa musik, hidup terlalu hampa untuk dijalani dan dinikmati. Mendengarkan musik terbukti membuat pikiran lebih tenang. Di sela-sela hari, manusia mencuri waktu untuk bermusik atau sekadar mendengarkan lagu yang mereka suka. Di sanalah, tiba-tiba muncul satu persoalan yang memantik pikiran pendengar menjadi lebih kritis dan peka.

Bagi saya, mendengarkan lirik dan mendalaminya menjadi sebuah kesenangan tersendiri. Lirik lagu yang sarat akan makna serta disampaikan dengan puitis akan mendorong saya memutar lagu tersebut berjuta-juta kali. Kadang-kadang, ketika sudah bosan, saya mendengarkan judul lain dari penyanyi yang sama. Dari situlah mulai muncul sebuah pantikan untuk menelaah kembali lirik lagu yang saya dengarkan. Apakah relatable untuk saya? Atau sekadar mewakili perasaan saya yang sedang tak keruan? Atau sialnya, penggalan lirik tersebut menumbuhkan rasa resah dan tak nyaman, hingga amarah? Itu semua berawal dari mendengarkan musik dengan lirik.

Saya mencintai lagu cinta, sebab itu mewakili perasaan saya yang sedang jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang sama. Saya mencintai lagu cinta sebab tak ada yang lebih romantis daripada memikirkan orang yang saya cinta dengan mendengarkan sebuah lagu. Lagu yang mewakili perasaan saya tersebut membuat hati saya bingah, bahagia, nyaman, dan terkadang merindukan orang terkasih. Namun, telinga saya yang peka ini, berhasil menemukan sepenggal lirik tak nyaman di dalam salah satu lagu kesukaan saya.

Siapa yang tak kenal lagu berjudul Nanti Kita Seperti Ini karya Batas Senja? “Kau dipanggil ibu, sementara aku ayah” adalah lirik ikonik dari lagu tersebut. Namun, hal yang membuat saya tak nyaman adalah “Lalu datang pagi, kau memasak, kubekerja.” Entah mengapa, lirik tersebut mengingatkan saya pada standar yang ditentukan oleh masyarakat di dalam budaya patriarki. Terlebih, sudut pandang dalam lagu ini adalah dinyanyikan oleh laki-laki, meskipun bersandingan dengan suara indah seorang penyanyi perempuan.

Ibu memasak dan ayah bekerja. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala saya sebab meskipun tidak relate, saya merasa standar tersebut terlalu klise dan kuno. Mengapa selalu ibu memasak dan ayah bekerja? Mengapa keduanya tidak bekerja saja? Atau mengapa ayah tak boleh di rumah saja?

Di hari tulisan ini dikerjakan, saya dan ibu mengobrol sebelum beliau berangkat bekerja. Ibu bertanya pada saya, begini kira-kira: “Bagaimana jika seorang lelaki yang mencintai kamu mengatakan bahwa alih-alih bekerja, ia ingin menjadi bapak rumah tangga?” Lalu, saya menjawab, “Tak masalah bagi saya. Asalkan ia benar-benar bertanggung jawab.” Jawaban tersebut memantik perdebatan kecil nan singkat. Ibu tak terima seorang laki-laki berada di rumah sedangkan perempuan bekerja, namun bagi saya itu tak masalah asalkan keduanya bertanggung jawab atas tupoksi masing-masing. Begitu ibu tak terima, saya diam saja.

Peristiwa tersebut sedikit menggetarkan hati saya. Ada rasa yang tak nyaman ketika membicarakan keharusan seseorang untuk melakukan sesuatu. Termasuk laki-laki yang harus bekerja dan perempuan yang sebaiknya di rumah saja. Masyarakat yang tumbuh di budaya patriarki masih terlena dengan standar-standar tersebut, padahal kelompok feminis sudah berjuang selama tiga gelombang untuk menjunjung kesetaraan gender. Yang berarti, sudah saatnya menerima bahwa terkadang bapak rumah tangga juga diperlukan. Tak masalah jika laki-laki di rumah saja, sebab keduanya (pasangan) bertanggung jawab untuk satu sama lain, untuk rumah, dan keluarga. Keduanya berperan penting dan sangat baik jika saling melengkapi.

Kembali pada lagu Nanti Kita Seperti Ini. Saya sangat suka nada dan liriknya, kecuali yang satu itu. Saya merasa lagu tersebut masih menerapkan budaya patriarki yang tak ada akhirnya. Menanamkan peran mutlak “ibu memasak” rasanya akan membuat pendengarnya tak membuka hati. Tak masalah bukan jika ayah memasak, namun ibu tidak? Menurut saya, itu tidak masalah. Jadi, mungkin lirik lagu bagian tersebut tak perlu menyampaikan kedua standar kuno nan klise yang diterapkan di masyarakat Indonesia ini.

Tak hanya lagu ciptaan Masitong tersebut yang meresahkan saya, lagu Mendung Tanpo Udan (Mendung Tanpa Hujan) turut menggugah hati saya untuk menulis ini. Lagu ini diciptakan oleh seorang laki-laki bernama Kukuh Prasetya, namun dipopulerkan oleh Ndarboy Genk, penyanyi asal Bantul.

Penggalan lirik yang jujur saja tak menarik adalah: “Awakdewe tau nduwe bayangan, mbesuk yen wes wayah omah-omahan, aku moco koran sarungan kowe blonjo dasteran” yang berarti “Kita pernah membayangkan, saat berumah tangga, aku membaca koran mengenakan sarung, kamu belanja mengenakan daster.”

Melalui penggalan lirik tersebut, tersampaikan bahwa laki-laki (khususnya bersuku Jawa) mendambakan kehidupan dengan istri yang melayani semua urusan domestik. Hal tersebut tak jauh berbeda dari standar-standar yang sudah diterapkan di tengah masyarakat Jawa, terutama karena masih terikat dengan budaya patriarki.

Lirik tersebut menjustifikasi bahwa peran yang dimiliki seorang perempuan, khususnya istri dan ibu, terbatas pada urusan domestik saja, seperti mencuci, memasak, dan mengurus anak. Sesuai dengan ungkapan yang tak asing lagi di telinga saya: Masak, Macak, Manak yang berarti Memasak, Berdandan, dan Melahirkan. Saya sangat membenci ungkapan tersebut, sebab sangat merendahkan martabat perempuan. Seolah-olah perempuan hadir ke dunia ini hanya untuk menyenangkan laki-laki dengan berdandan, meneruskan keturunan, dan memasak.

Terlepas dari lagu-lagu dengan lirik patriarkis tersebut. Banyak musisi perempuan menciptakan lagu yang melawan adanya budaya patriarki. Bisa kita lihat Taylor Swift dan Ramengvrl. Lagu Taylor Swift berjudul The Man secara langsung mengkritik standar ganda yang diterapkan di masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan. Melalui lagu ini, Taylor Swift menyoroti bahwa laki-laki seringkali diizinkan melakukan hal-hal yang tidak diterima perempuan.

Lagu yang rilis pada tahun 2019 ini memiliki penggalan lirik keren seperti: “I’d be fearless leader, I’d be an alpha type” dan “raking in dollars, and getting bitches and models. And it’s all good if you’re bad and it’s okay if you’re mad. If I was out flashing my dollars, I’d be a bitch not a baller.”

Lirik tersebut menyampaikan pesan bahwa laki-laki seringkali melakukan hal yang merendahkan perempuan, seperti menyewa mereka dan mempermainkan mereka. Perempuan, menurut Taylor Swift melalui lirik di atas, dapat menjadi sosok yang kuat, pemimpin, dan alpha type.

Lalu, lagu terakhir dengan lirik yang menunjukkan kepemilikan perempuan atas hidupnya sendiri adalah I Am Me yang dinyanyikan oleh Ramengvrl. Selain itu, terdapat penggalan lirik yang menunjukkan bahwa laki-laki mengomentari perempuan sebab mereka bertato dan berucap kata-kata kotor, kemudian dianggap sebagai Bad Girl.

Penggalan liriknya adalah sebagai berikut: “Nobody, but I just wanna comment on your act silly. You’ve been a bad girl, plus you talk dirty. Why you can’t be normal and be a lady? Stop adding more inks on your skin already. Daddy really don’t like your vocabulary.”

Penggalan lirik tersebut menunjukkan betapa laki-laki ingin mengontrol tubuh dan hidup perempuan. Mulai dari meminta perempuan untuk tak berkata-kata kotor dan tak diizinkan bertato. Kembali lagi, tubuh dan hidup masing-masing manusia adalah milik mereka. Jika perempuan tidak diperbolehkan mengucapkan kata kasar, mengapa laki-laki tidak apa-apa?

Terdapat lirik lain di lagu I Am Me yang menunjukkan betapa perempuan sudah muak dikomentari perkara hidup mereka sendiri. Lirik tersebut adalah: “I still remember every single one of y’all used to blame everything and everyone when they ain’t got no fault.”

Melihat lagu-lagu masa kini yang masih dilingkupi akar budaya patriarki sangat memprihatinkan bagi saya. Di era sekarang ini, perempuan berjuang penuh untuk mencapai kesetaraan dan hak-hak mereka, namun musisi-musisi yang masih terikat di budaya patriarki menciptakan gambaran ideal yang tak menggiurkan bagi perempuan masa kini. Meskipun banyak pula musisi yang mengisahkan tentang betapa kuat perempuan, serta betapa tak ada batasan bagi hidup perempuan untuk berekspresi, lagu-lagu terkait perempuan dengan urusan domestiknya masih digandrungi penggemarnya. Lagu Mendung Tanpo Udan selalu diputar di temat-tempat makan seperti burjo dan ayam geprek. Memang benar nadanya sangat catchy dan easy listening, namun liriknya begitu patriarkis dan mendiskreditkan perempuan sebagai pelayan bagi pasangan laki-lakinya.

Ini bukan kampanye untuk melakukan boikot terhadap lagu-lagu bernuansa patriarkis, namun saya mengajak kita semua untuk lebih peka dan terbuka akan bentuk kritik terhadap karya seni. Menjadi lebih peka dengan membaca lirik-lirik lagu pun akhirnya akan menguntungkan pendengarnya. Kita jadi bisa mengenal karakter musisi melalui karya mereka, mengerti pandangan mereka terhadap kehidupan masa kini, dan belajar bagaimana budaya patriarki ternyata masih mengakar kuat di tengah kehidupan kita, bahkan mengalir melalui karya seni.

Benar adanya bahwa musik merupakan salah satu komponen penting dalam cerita hidup manusia. Melalui musik, hidup manusia diceritakan dan melalui musik, manusia menceritakan hidup mereka. Mendengarkan musik juga membantu manusia menjadi lebih sensitif terhadap isu-isu sosial di sekitar. Jangan pernah berhenti mendengarkan musik.

 

Penulis        : Marricy
Editor         : Alena

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top