
Sebelum menjadi Presiden Republik Indonesia, bagi sebagian orang, Prabowo Subianto telah menunjukkan gejala nafsu untuk menciptakan sistem yang otoriter. Gelagat tersebut terlihat oleh Ian Wilson ketika Prabowo dan partainya, Gerindra, secara konsisten ingin mengembalikan Konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ke yang asli. Padahal UUD tersebut pernah digunakan oleh Soekarno dan Soeharto untuk melegitimasi secara konstitusional memperpanjang jabatan eksekutif tanpa batas waktu. Sekarang, sudah lebih dari seratus lima puluh hari masa kepemimpinan Prabowo, gelagat tersebut kian terpampang nyata.
Usaha dalam membangun sistem pemerintahan yang otoriter dalam kepemimpinan Prabowo tampaknya berjalan mulus sampai sekarang. Meski, demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil telah banyak terjadi di berbagai tempat. Namun, pemerintah hanya menunjukkan sikap abai terhadap aspirasi publik. Bahkan, kekerasan dan intimidasi dari para aparatur negara kepada masyarakat marak terjadi di berbagai daerah. Tidak ada penanganan serius. Niat Prabowo dalam membawa Indonesia kembali ke era Orde Baru seperti tidak bisa diganggu gugat. Rakyat yang melawan harus siap menerima senapan laras panjang di depan wajah mereka.
Kepalsuan Pemilu
Sistem otoriter selalu mensyaratkan minimnya partisipasi publik dalam pemilu. Mereka akan menggunakan segala cara untuk mengendalikan, menipu, dan mengontrol suara publik. Meskipun, pemilu dalam sistem demokrasi tetap ada, akan tetapi semua itu hanya bersifat semu. Para oligarki, dengan segala alat-alatnya, mampu mengendalikan masyarakat ke dalam jerat akal bulus mereka. Bukti ini, bisa kita lihat dalam peran Jokowi saat membagikan sembako kepada masyarakat untuk mencari simpatisan dukungan saat pilpres, khusus untuk mendukung Prabowo
Peran dan dukungan Jokowi terus-menerus berlanjut terhadap Prabowo sebagai calon presiden jelang pilpres 2024, ketika meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden Prabowo melalui amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Anwar Usman, Paman Gibran, yang saat itu menjabat sebagai Ketua MK menjadi aktor penting dalam menghasilkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon wakil presiden. Padahal sebelumnya ia pernah mengatakan bahwa tidak ingin ikut terlibat dalam kepentingan politik.
Penyelewengan kekuasaan dan kebijakan yang seharusnya inkonstitusional telah dilakukan oleh pemerintah berulang kali. Mereka meninggalkan borok yang membuat sistem pemerintahan Indonesia semakin menjadi rapuh. Ke depannya (mungkin saja) bisa menjadi lebih parah. Saya tidak tahu apa yang ada di dalam niat Prabowo. Namun, mereka yang sedari awal tidak mematuhi peraturan Undang-Undang dan norma, akan sangat sulit untuk tidak kembali melakukan kecurangan.
Absennya Oposisi
Kata “damai” dalam negara demokrasi hanya dapat dipahami sejauh setiap orang bebas berbicara tanpa intervensi dari siapapun termasuk negara. Hak tersebut dilindungi oleh negara, bahkan secara konstitusi, Indonesia memiliki wadah tersendiri, salah satunya bernama DPR sebagai perantara suara rakyat. Namun, para pejabat yang sedang menduduki lembaga legislatif tersebut sepertinya tidak pernah benar-benar mempertimbangkan suara rakyat. Bukti tersebut ketika perumusan RUU TNI dilakukan oleh para anggota dewan di hotel bintang 5 Fairmont Jakarta tanpa melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
Absennya oposisi dalam demokrasi berdampak pada kebijakan pemerintah yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat. Pembentukan Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus yang menduduki 81,10 persen kursi DPR oleh Prabowo membuat iklim demokrasi menjadi rusak. Bahkan, partai PDIP yang meski berada di luar lingkaran istana sama sekali tidak bisa diharapkan, apalagi sejak pertemuan antara Prabowo dan Megawati pada 7 April kemarin. Padahal, seharusnya PDIP memiliki potensi besar untuk mengawal dan mengkritisi kebijakan negara bersama rakyat. Namun, dalam dunia politik, kekuasaan sering lebih menggoda ketimbang emas.
Jika hal ini terus menerus dibiarkan, maka akan menciptakan efek domino terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sejarah telah membuktikan hal tersebut, sejak tahun 1998 sampai sekarang kasus-kasus pelanggaran HAM berat, Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), kemiskinan di daerah 3T, kurikulum pendidikan, dan buruknya toleransi antar pemeluk agama menjadi persoalan yang tidak pernah tuntas. Sedangkan kini, dalam perang dagang global, Indonesia hanya bisa menjadi penonton.
Pelemahan oposisi (atau usaha menghilangkan?) semakin meresahkan ketika militer mendapat lampu hijau untuk menduduki ruang-ruang sipil. Cara lama tersebut, sengaja mereka gunakan untuk menciptakan atmosfer yang penuh ketakutan, khususnya kepada rakyat. Berbekal senjata, mereka “seolah-olah” berhak dan berkuasa untuk melanggengkan kekerasan serta intimidasi. Padahal, fungsi TNI seharusnya menjadi alat negara, bukan sebagai perpanjangan kaki tangan kekuasaan.
Alam Fasisme Prabowo
Pada acara sarasehan ekonomi di Menara Mandiri, Prabowo mengucapkan “Kalau saudara mungkin sudah kenal saya lama, mungkin saya ini paling nasionalis. Kalau istilahnya dulu, kalau mungkin jantung saya dibuka, yang keluar merah putih, mungkin,” (dikutip dari detik.com) pernyataan yang diucapkan oleh Prabowo merupakan bentuk dari fasisme—meeki tidak sepenuhnya benar—akan tetapi, seorang fasis selalu menghendaki dirinya sebagai representasi sempurna atas sebuah negara.
Prabowo menggunakan kata ‘nasionalis’ untuk menciptakan ilusi sekaligus memperkeruh situasi di masyarakat. Tujuannya sederhana, yaitu menciptakan citra ideal sebagai presiden yang seolah mengayomi masyarakat dan membawa kemajuan. Maka, apabila ada kondisi yang menyebabkan citra tersebut dirusak, ia akan menyangkal, biasanya berbentuk merendahkan. Label ‘antek asing’ yang dicap kepada para demonstran merupakan bukti konkrit untuk membendung kritik, sekaligus memutar-balikkan narasi. Seolah-olah mereka yang turun ke jalan adalah sebuah ancaman bagi keamanan negara.
Selain itu, bagi seorang fasis, dia akan menolak peran individu dalam suatu negara—kecuali jika mereka memilih bergabung dalam lingkaran kekuasaan. Proyek anti-individualistik terlihat dalam usaha Prabowo dalam mengesahkan berbagai Undang-Undang untuk melegalkan hasrat kekuasaannya. Prabowo memanfaatkan kondisi masyarakat Indonesia yang masih intoleran, apolitis, dan bercorak feodalistik, sehingga tekanan-tekanan yang dihadapi tidak mendapatkan ancaman serius. Bahkan cenderung kalangan tertentu saja. Sebagian besar masyarakat sibuk bertikai dalam ranah horizontal, daripada melihat akar permasalahan sebenarnya (pemerintah).
Hal ini sejalan dengan prinsip fasisme yang mengatakan bahwa demokrasi hanyalah urusan buang-buang waktu.
Jika hal ini terus menerus terjadi, maka satu-satunya yang tersisa adalah kehancuran. Dalam pemerintahan seorang fasis yang syarat akan otoritarianisme, masyarakat hanya akan menjadi korban dari sistem yang menindas dan anti kritik. Hal ini semacam penyakit kronis yang tidak bisa dihindari. Indonesia sendiri memiliki luka mendalam atas akibat dari pemerintahan yang otoriter, seperti peristiwa 65, pembantaian etnis Tionghoa pada Mei 98, Semanggi 1 dan 2, dan masih banyak lagi. Trauma tersebut seharusnya menyadarkan kita bahwa hal tersebut tidak perlu terulang kembali.
Sampai detik ini, membayangkan Presiden Prabowo untuk memperbaiki konstitusi dan demokrasi lebih mirip sebuah perjudian. Diharapkan, tetapi lebih banyak mengecewakan. Pasalnya, Prabowo seperti sedang melakukan masturbasi kekuasaan, dengan rakyat sebagai bahan fantasinya. Rakyat hanya dimanfaatkan oleh para Presiden untuk dijadikan pemuas ego kekuasaan saja.
Oleh karena itu, jalan terbaik untuk keluar dari belenggu rezim ini adalah mulai menyadari pentingnya kesadaran kolektif tentang hak-hak sipil, artinya segala keputusan yang terkait dengan negara, harus disandarkan pada kepentingan publik. Mereka yang menolak hal ini berarti sudah menghina masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Hal ini tidak bisa dibiarkan, melihat negara Indonesia yang kaya akan nilai-nilai pluralisme disetir oleh segelintir kepentingan. Namun, kesadaran ini perlu adanya gerakan yang disiplin, konsisten, terstruktur dan penuh empati untuk terus menerus mengontrol kekuasaan.
Penulis: Diaz
Editor: Marricy