
Bisnis sewa iPhone menjadi fenomena yang mendatangkan pro dan kontra di masyarakat. Bagi sebagian orang, iPhone bisa menjadi sebuah identitas sosial. Meskipun demikian, iPhone juga memberi alternatif lain sebagai alat yang membantu pengguna untuk meningkatkan produktivitas. Alhasil, sampai sekarang, bisnis iPhone mulai bermunculan dan berkembang di berbagai kota, termasuk Semarang.
Kasyabal Albab, seorang manajer dan pemilik gerai Sewa iPhone Nusantara telah menjalankan bisnis sewa iPhone selama hampir tiga tahun. Awalnya, ketika dirinya masih mahasiswa yang pernah menjadi perwakilan delegasi ke luar negeri merasa repot apabila membawa kamera seperti digital single lens reflex (DSLR) atau mirrorless. Oleh karena itu, ia memilih untuk membeli iPhone karena lebih simpel. Namun, akan dijual kembali apabila event telah selesai. Sejak saat itu dia berpikir untuk membuka bisnis sewa iPhone.
“Saya berpikir apakah banyak juga yang mungkin kondisinya seperti saya. Akhirnya saya buka sewa iPhone dan ternyata banyak juga peminatnya,” ungkap Albab kepada LPM Hayamwuruk pada Minggu (20/04/2025) melalui aplikasi Google Meet.
Bagi Albab, bisnis sewa iPhone cukup menguntungkan. Hal ini karena menurutnya banyak orang yang masih nyaman dengan gawai android, tetapi tetap ingin menghasilkan foto bagus, salah satunya seperti saat konser. Selain itu juga ada faktor gengsi.
“Peminatnya juga banyak. Yang saya lihat itu, pertama gengsi, terus kedua itu fungsinya. Mungkin banyak orang yang udah nyaman dengan android, tapi masih butuh banyak momen atau beberapa waktu yang menggunakan iPhone,” imbuhnya.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang diucapkan oleh Anin, Lead Leader dari bisnis sewa iPhone Wav Official. Para pelanggan penyewa iPhone yang rata-rata adalah generasi Z, menggunakan gawai dari perusahan apple tersebut untuk membuat konten, berswafoto bersama teman atau keluarga saat liburan, selain itu juga ada yang menggunakan ketika naik gunung.
“Mungkin kalau dilihat dari orang pertama kali dengar iPhone disewakan, mungkin mikirnya paling buat gengsi doang. Tapi kalau buat orang ngonten, jika dibandingkan dengan android beda, jadi bukan sekadar buat gengsi tapi juga ada manfaatnya,” ungkap Anin.
Kharis Mustofa, seorang mahasiswa Teknik Sipil dari Politeknik Negeri Semarang (Polines), pernah menyewa iPhone 11 seharga Rp250.000 dalam satu hari untuk kebutuhan mengambil dan editing video saat bertugas sebagai asisten dosen (asdos) ketika pengabdian masyarakat.
“Saat itu untuk keperluan pengabdian masyarakat dan kebetulan saya asisten dosen, jadi kadang kalau jadi asdos itu perlu editing dan take video gitu karena ponsel saya tidak mendukung. Ponsel dosen juga tidak mendukung, sehingga saya sewa iPhone di Semarang bawah,” ujarnya.
Dosen Psikologi Sosial, Universitas Diponegoro (Undip), Adi Dinardinata, mengatakan bahwa fenomena sewa iPhone sebagai sesuatu yang wajar terjadi di kalangan remaja. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti rasa inferioritas dalam pertemanan, kualitas kamera, konsumerisme dan harga yang lebih terjangkau.
“Kalau dia punya iPhone maka orang-orang akan merasa dia keren dan kalau tidak punya biasanya tidak dihargai dengan nilai yang sama seperti yang bawa iPhone kan gitu. Nah, jadi wajar sekali kalau misalnya ada yang akhirnya menjadikan itu komoditas lalu disewakan,” ucapnya.
Namun, ia memberi saran kepada para remaja untuk membertimbangkan kebutuhan terlebih dahulu sebelum menyewa iPhone dan bukan sekadar tidak ingin tertinggal dari teman. Oleh karena itu, ia menganjurkan untuk mengembangkan diri agar tetap eksis dan tidak ketergantungan. Selain itu, bagi orang tua, ada baiknya untuk lebih mengarahkan dan mengajak anak-anak memaksimalkan potensi dengan sumber daya minimal.
“Concern saya yang lebih besar sebenarnya justru ke orang-orang yang berkepentingan dengan anak-anaknya itu jadi orang tua gitu. Misalnya, justru mestinya itu bisa diarahkan untuk mengembangkan mereka untuk jadi lebih baik,” ungkap Adi.
Reporter: Arya, Wildan, Diaz, Irsyad
Penulis: Diaz
Editor: Marricy