
Cuaca tak menentu dan air laut menyusup ke sela-sela rumah warga Kampung Tambakrejo menggenangi jalanan setiap hari. Kenaikan muka air laut memang tidak pernah terlalu tinggi, tetapi warga tentu khawatir akan menurunkan performa kendaraan mereka yang sering kali dipakai untuk bekerja. Di belokan, sebuah warung jajanan mungil menyembul dari teras rumah. Rumah itu teduh, atapnya rendah dan datar, dengan ubin berwarna jingga kecoklatan yang membentang rapi. Hari itu, Rabu (21/5/2025), sebuah kasur tipis tergelar di ruang tamu rumah Suniyah (53), tempat ia biasa beristirahat sambil mengawasi warung kecilnya dari balik pintu terbuka.
Air yang naik tak berimbas di tempat tinggal Suniyah. Di gang kecil itu, rumahnya yang berlantai rendah cenderung aman sebab tanggul laut berdiri kokoh tak jauh dari rumahnya. Struktur pelindung itu dibangun sebagai bagian dari upaya menahan rob di kawasan pesisir Semarang Utara.
“Di sini sudah aman karena ada tanggul laut,” ujar Bu Suniyah .
Sayangnya, Suniyah belum tahu jika tanggul laut mengubah arus laut sehingga menyebabkan sisi lain Tambakrejo masih terendam air rob. Tak lepas dari itu, abrasi juga masih menjadi salah satu masalah yang belum mendapatkan solusi.
Meskipun keadaan rumahnya terbilang aman dari rob, persoalan lain masih menjadi bahan diskusi Suniyah dengan rekan-rekan Kelompok Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI). Salah satunya adalah menyoal lokasi gunung sampah yang berdekatan dengan pemukiman, serta tidak mendapatkan pemrosesan dengan baik sehingga aroma busuk menyeruak ke sudut-sudut ruang terbuka.
Suniyah mengaku sudah beberapa kali melakukan audiensi kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang, meminta solusi atas persoalan sampah yang makin menggunung di kampungnya. Meski DLH telah menyediakan dua bak truk, jumlah itu terasa timpang mengingat Tambakrejo dihuni oleh lebih dari seribu kepala keluarga. Sampah rumah tangga terus bertambah setiap hari, belum lagi kiriman dari laut yang muncul saban malam dan menumpuk di pesisir.
“Dibuang ke Jatibarang kejauhan dan sudah overload. Akhirnya, dibuang ke halaman milik perorangan itu,” ujarnya dengan resah.

Sebuah tanah kosong yang cukup luas disediakan oleh seorang pendatang. Ia mengizinkan lahan tersebut dijadikan tempat pembuangan akhir warga Kampung Tambakrejo. Hingga kini, lahan tersebut tampak seperti gunung sampah. Selain itu, tidak hanya warga yang diperkenankan membuang sampah rumah tangga ke sana.
“Bukan hanya dari warga. Rumah sakit dan limbah pabrik pun dibuang ke sana,” tutur Bu Suniyah.
Upaya Suniyah sebagai kader aktif KPPI belum menunjukkan hasil konkret. Meski berbagai audiensi telah dilakukan dengan instansi terkait, janji-janji penyelesaian masalah lingkungan di Kampung Tambakrejo masih belum terwujud. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat Suniyah dan rekan-rekannya. Mereka terus bergerak dengan inisiatif-inisiatif kecil sembari mempertahankan komunikasi dengan pihak berwenang, berharap suatu saat usaha mereka akan membuahkan perubahan yang berarti.
Meski sudah hidup bertahun-tahun dengan masalah lingkungan, persoalan sampah bukanlah satu-satunya hal yang meresahkannya. Dari sorot matanya, Suniyah tidak bisa menyembunyikan perasaan akan masalah selokan yang masih menghantuinya sebagai warga Kampung Tambakrejo. Air dalam selokan tidak dapat mengalir dengan baik, sehingga menjadi salah satu faktor munculnya penyakit melalui jentik-jentik, serta membuat air rob yang setiap hari naik menjadi tercemar. Di samping itu, Suniyah mengaku belum ada aksi kolektif dari warga maupun pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut.
“Kalau kegiatan bersih-bersih tidak ada,” akunya.
Suniyah menuturkan bahwa hanya sedikit anak-anak yang jatuh sakit karena masalah air rob dan selokan yang mencemarinya. Kebanyakan anak-anak justru terpukau dan dengan bahagia bermain air rob. Namun, tak bisa dipungkiri penyakit seperti gatal-gatal dan alergi masuk ke dalam penyakit biasa yang sering kali dialami oleh warga Tambakrejo, terutama anak-anak.
Belum usai dengan permasalahan drainase, gunung sampah, dan air rob, warga Tambakrejo rupanya juga terancam mengalami kesulitan akses air bersih. Suniyah mengatakan bahwa masih banyak warga Tambakrejo menggunakan air artesis/sumur bor untuk menunjang kehidupan sehari-hari, yang berarti memperburuk penurunan tanah, serta menjadi salah satu faktor pendorong air rob semakin tinggi.
“Air artesis itu sebenarnya tidak boleh karena salah satu penyebab besar penurunan tanah. Meskipun katanya semakin dalam airnya semakin bagus, air juga jadi semakin keruh,” kata Suniyah menjelaskan dengan serius.
Sebuah solusi rupanya pernah memasuki kawasan Kampung Tambakrejo, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang muncul bagai pahlawan untuk menghindari penurunan tanah akibat penggunaan air artesis. Sayang, warga menolak solusi tersebut dengan alasan bahwa air dari PDAM berasa kaporit dan ada pula kendala dalam melakukan pembayaran secara rutin, sementara air artesis yang mereka pakai untuk hidup terasa lebih baik, serta pembayaran secara kredit dapat diupayakan.
Berbeda dengan Kampung Tambakrejo, wilayah relokasi atau yang disebut sebagai Kampung Nelayan Tambakrejo memiliki permasalahan utamanya sendiri. Air rob dan air bersih bukan jadi persoalan utama karena sabuk laut (sea belt) berkontribusi menyelamatkan Kampung Nelayan Tambakrejo dari naiknya permukaan air laut dalam situasi tertentu. Di samping itu, PDAM telah menjangkau sebagian besar rumah di Kampung Nelayan Tambakrejo meskipun warga tetap menggunakan air galon isi ulang sebagai bentuk tindakan preventif dari konsumsi air berkaporit.
Wilayah relokasi Kampung Nelayan Tambakrejo merupakan hasil dari kebijakan penggusuran yang terjadi beberapa tahun silam. Banyak warga pesisir, khususnya nelayan, kehilangan ruang hidup mereka akibat pembangunan infrastruktur berskala nasional seperti tol laut dan tanggul laut. Ironisnya, proyek-proyek tersebut justru mengutamakan kelancaran arus logistik dan industri alih-alih menyejahterakan komunitas nelayan yang telah lama menetap di pesisir.
Kelambu Rapat di Wilayah Relokasi

Kampung Nelayan Tambakrejo berada tak jauh dari lokasi Suniyah tinggal. Hanya perlu menyeberang dengan jembatan bambu reyot dan menelusuri jalan yang terbuat dari beton untuk sampai ke sana. Rumah-rumah hasil relokasi berjejeran dengan ukuran dan bentuk yang serupa. Ketika menyusuri setiap gang di sana, sebuah selokan besar yang mampet digenangi air berlumut, ranting-ranting pohon, dan tak luput dari botol-botol bekas. Aroma laut bercampur limbah rumah tangga yang mengendap di selokan-selokan depan rumah warga menyeruak menusuk hidung.
Ummi (35) sibuk mengaduk sayur asem sambil sesekali mencicipi masakannya pada hari Jumat (30/5/2025). Ia baru saja berpindah rumah. Rumah lamanya kini ditinggali sang adik ipar, sementara ia kini tinggal tak jauh dari situ. Sebuah tong terletak di setiap rumah, tong itulah yang menampung limbah-limbah rumah tangga warga Kampung Nelayan Tambakrejo. Setiap dua hari sekali, sampah-sampah akan diangkut.
Sudah seperti makanan sehari-hari ketika sampah tiba-tiba muncul dan merapat sebelum menyempil di selokan-selokan kecil. Masalah sesungguhnya muncul dari selokan besar yang tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya sebab dahulu merupakan bekas tambak, sehingga kawasan ini tidak memiliki sistem aliran air alami. Genangan pun dibiarkan begitu saja, mempercepat perkembangan nyamuk. Udara pesisir yang lembab, suhu yang fluktuatif, dan air yang tak surut menciptakan habitat ideal bagi jentik. Tanpa penanganan serius, genangan tak lagi sekadar bau, tapi bisa menjelma wabah dari balik lampu yang redup.
“Kalau lampu mati, mereka menyerang kita (manusia),” ujar Ummi.

Ummi mengungkapkan bahwa suatu hari ia merekam nyamuk-nyamuk yang beterbangan di dalam rumah, lalu mengunggahnya ke media sosial. Seorang temannya mengomentari bahwa nyamuk-nyamuk itu mungkin bagian dari program penyebaran nyamuk wolbachia—jenis nyamuk yang telah dimodifikasi untuk menekan angka penyebaran demam berdarah. Namun, Ummi sendiri mengaku belum pernah mendapat sosialisasi resmi terkait hal itu.
Untuk mengatasi permasalahan nyamuk, Ummi merasa harus berjaga ekstra setiap malam. Ia menyalakan empat obat nyamuk bakar di setiap sudut ruangan tempatnya tidur. Selain itu, ia juga mengoleskan krim anti-nyamuk, menyalakan raket nyamuk dan kipas angin, serta memasang kelambu di sekitar kasur tempat ia dan suaminya beristirahat. Upaya ini bukan hanya menguras tenaga, tapi juga kantong. Mereka harus rela hidup dalam kepungan asap, suara dengung nyamuk, dan hawa panas yang tertahan dalam kamar tertutup.
“Ada obat nyamuk bakar empat. Di situ juga ada kelambu. Ini raket nyamuk, belum lagi kipas angin juga nyala,” katanya sambil tertawa getir.
Sayangnya, menurut Ummi, kesadaran kolektif warga Kampung Nelayan Tambakrejo terhadap pengelolaan lingkungan masih rendah. Tidak ada inisiatif yang nyata untuk mengelola sampah secara mandiri atau memperbaiki saluran air. Hal ini tak lepas dari kondisi kemiskinan struktural yang masih membelit masyarakat pesisir.
Tak lepas dari itu, daerah pesisir juga menyumbang proporsi tertinggi kasus penyakit berbasis lingkungan. Kondisi ini diperparah dengan pengelolaan sampah yang belum terintegrasi dan kualitas gizi keluarga yang belum optimal, menciptakan siklus kerentanan yang berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Di tengah keterbatasan fasilitas dan kurangnya ajakan untuk melakukan aksi kolektif dari instansi ke warga Kampung Nelayan Tambakrejo, Ummi menyadari bahwa upayanya untuk menjaga kesehatan keluarga dapat dimulai dari dalam rumah. Selain itu, Ummi juga memiliki banyak waktu karena bekerja di rumah, yakni mengaitkan beban ke jaring penangkap ikan untuk suaminya melaut.
“Saya mencoba untuk masak makanan yang seimbang, seperti ada serat dari sayuran dan protein,” katanya.
Menurut Ummi, peran ibu-ibu sangat penting karena sebagian besar dari perempuan pesisir sangat aktif di semua bidang, baik di luar maupun di dalam rumah. Namun, upaya dari perempuan-perempuan tidak akan pernah cukup jika pihak pemerintah tidak turut andil dalam memperhatikan kondisi lingkungan, khususnya Kampung Nelayan Tambakrejo.
“Saya berharapnya pemerintah juga lebih memperhatikan, seperti memperbanyak tempat pembuangan sampah dan petugas yang mengambilnya. Karena kalau warga sudah ada kesadaran tetapi tempat pembuangan sampah tidak maksimal, warga akhirnya bingung mau diarahkan ke mana,” ungkap Ummi dengan serius.
Ummi juga menambahkan bahwa bantuan dari pemerintah terkait penanggulangan sampah di Kampung Nelayan Tambakrejo akan berdampak besar bagi para warga, khususnya para perempuan untuk menjaga kesehatan keluarga.
Baik Suniyah, maupun Ummi, telah menunjukkan bahwa peran perempuan pesisir begitu alami terbentuk karena kondisi lingkungan yang meresahkan. Suniyah berkomitmen memperjuangkan hak kolektif warga di hadapan dinas kota, sementara Ummi berjuang dalam senyap di dapur dan kamar yang dikepung kepulan asap obat nyamuk. Dengan cara yang berbeda, kedua sosok perempuan ini telah menjadi tameng dan garda terdepan keluarga dalam menghadapi kerusakan lingkungan.
Jejak dan Ruang Ikhtiar
Krisis iklim datang seperti pencuri yang menyelinap masuk ke rumah-rumah warga. Ia perlahan-lahan memasuki ruang-ruang keluarga Tambakrejo membawa segudang kerugian yang kasat mata. Kampung Nelayan Tambakrejo seperti menjadi gawang bagi cuaca tak menentu, mungkin membawa serta demam dan dehidrasi yang tak jelas kapan berakhirnya. Belum lagi air rob merembes, menelisik ke selokan-selokan dan menggiring hewan-hewan sumber penyakit beternak dengan liar.
Suhu yang fluktuatif, kelembaban tinggi, serta curah hujan yang tak menentu memicu peningkatan kasus demam berdarah, diare, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), hingga penyakit kulit. Dalam konteks pesisir, tantangan tersebut semakin kompleks karena bercampur dengan sanitasi buruk, polusi limbah, dan keterbatasan akses air bersih.
Di tengah krisis iklim yang perlahan menjadi bola liar sebab warga tak tahu harus bagaimana mengatasinya, mereka ditantang pula oleh kebiasaan hidup yang sudah lama mendarah daging. Bukan hanya persoalan air yang naik dan sampah tidak terangkut, kini masalah penyakit berbasis lingkungan juga mengintai di sudut-sudut rumah. Ditambah lagi, kondisi ekonomi yang turut memaksa mereka memasuki gelombang pemakluman, membuat mereka abai terhadap krisis iklim dan kebersihan lingkungan.
“Cuaca akhir-akhir ini tidak menentu. Pasti pengaruh kalau imun turun. Jadi, lemas atau tiba-tiba linu,” ungkap Ummi pada Kamis (19/6/2025).
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Kabid P2P) Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang Dani Miarso tidak menyangkal bahwa penyakit berbasis lingkungan menjadi hal tak terhindarkan khususnya di wilayah pesisir Kota Semarang.
“Di pesisir itu tekanan alamnya lebih besar, apalagi perubahan iklim. Jadi, memang agak sulit dan perjuangannya berat. Tapi, kami mulai dari penguatan imun yang bersangkutan. Kedua, edukasi. Lalu, dilanjutkan dengan pengawasan umum,” kata Dani pada Rabu (18/6/2025).
Penyakit-penyakit yang berhubungan langsung dengan kondisi sanitasi seperti air menjadi yang paling dominan di wilayah pesisir. Dani mengungkapkan bahwa diare, penyakit kulit, dan gangguan pencernaan bermula dari kondisi sanitasi yang kurang baik.
Selain karena cuaca yang tak menentu, kondisi lingkungan akibat sampah dan genangan air juga menjadi salah satu faktor besar timbulnya penyakit berbasis lingkungan.
“Bukan penyakit spesifik, namun memang dominan di wilayah pesisir. Penyakit-penyakit berbasis lingkungan seperti diare, penyakit kulit, dan gangguan pencernaan karena sanitasi yang kurang baik,” ungkap Dani.
DKK Semarang telah melaksanakan serangkaian upaya untuk meningkatkan angka kesehatan masyarakat, khususnya di wilayah pesisir Kota Semarang. Mulai dari perluasan program daycare untuk mengatasi masalah gizi dan pertumbuhan anak.
Kemudian, peningkatan cakupan program nyamuk wolbachia juga dilakukan untuk mengendalikan angka Demam Berdarah Dengue (DBD). Dani menambahkan bahwa program pengembangbiakan nyamuk wolbachia dinilai berhasil karena sukses menurunkan angka DBD hingga 40%.
Ditambah lagi, pemanfaatan ambulans motor yang mampu menjangkau daerah-daerah pesisir sebab sulit diakses oleh kendaraan besar. Tak lupa, DKK juga melakukan edukasi kepada masyarakat melalui beberapa kanal seperti media sosial, kunjungan langsung, hingga pertemuan berkala, untuk memaksimalkan partisipasi warga.
“Di daycare, setiap hari nilai gizinya dihitung, termasuk dengan pertumbuhannya. Kemudian kasus DBD menurun sampai 40% dan juga ada penggunaan ambulans motor karena kalau menggunakan mobil tidak dapat masuk ke daerah (pesisir) itu,” terang Dani.
Keterlibatan aktif warga sangat dibutuhkan dalam menghadapi dan menangani kondisi lingkungan. Meskipun kondisi selokan yang tak mengalir dan nyamuk masih melalang buana di sekitar rumah, warga, khususnya perempuan, cukup terbuka terhadap kegiatan terkait kesehatan, seperti berpartisipasi dalam pos pelayanan terpadu (posyandu) dan bank sampah yang dilaksanakan oleh Kelurahan Tanjung Mas.
Walau belum merata, Kepala Seksi Pembangunan Kelurahan Tanjung Mas Subeno mengatakan bahwa mereka sudah mengupayakan semua program yang diturunkan dari kebijakan pemerintah kota dan berkolaborasi dengan Puskesmas dengan melakukan pertemuan selama tiga bulan sekali.
“Kami selalu rapat dengan puskesmas triwulan sekali,” kata Subeno pada Kamis (19/6/2025).
Kendala muncul pada keterbatasan jumlah petugas kebersihan untuk melakukan kegiatan bersih-bersih secara rutin ke kampung-kampung. Sayangnya, tanpa adanya permintaan dari warga ke kelurahan terkait kegiatan kebersihan, maka petugas tidak akan dikirim.
“Untuk kegiatan kebersihan ada. Biasanya warga minta tolong pada kami, Tim Kebersihan Kecamatan. Tetapi, kalau tidak diminta, ya kami tidak melakukan kebersihan di sana. Semua tergantung laporan. Kalau tidak ada laporan, kami tidak tahu. Soalnya, ada keterbatasan jumlah kru Tim Oren (petugas kebersihan) dari kecamatan,” ujar Subeno.
Tulisan ini merupakan hasil liputan penulis dalam “Media Fellowship: Jurnalis Peduli Pesisir, Jaga Urip Wong Jateng” yang diinisiasi oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Penulis & Reporter: Petricia Putri Marricy