Nasib Akut Sampah TPA di Jatibarang

Dok. Hayamwuruk/Alim

Tahun 2017 merupakan tahun terakhir bagai Kota Semarang mendapatkan anugerah penghargaan piala Adipura. Anugerah tersebut diberikan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup kepada kota-kota metropolitan di Indonesia terkait dengan urusan tata kelola kebersihan lingkungan. Namun, sepertinya untuk saat ini dan entah sampai kapan, penghargaan tersebut seperti tertimbun di tumpukan sampah TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Jatibarang. Padahal, dulunya Kota Semarang sendiri pernah memenangkan penghargaan Adipura sebanyak enam kali berturut-turut.

TPA Jatibarang terletak tiga belas kilometer dari Simpang Lima Semarang ke arah barat, tepatnya di Kelurahan Kedungpane, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah. Truk-truk sibuk di sekitar TPA Jatibarang membawa dan mengantarkan sampah dari berbagai penjuru wilayah Kota Semarang, setidaknya tempat tersebut harus menerima sampah dengan rata-rata 1000 ton per hari.  

Joko, Kepala Subbagian Tata Usaha TPA Jatibarang mengatakan bahwa telah terdapat kajian  kalau TPA Jatibarang sebenarnya sudah mengalami overload sejak tahun 2001 dan saat itu belum ada solusi. Oleh karena itu, solusi yang bisa dilakukan saat ini yaitu dengan mengedukasi masyarakat untuk mengelola sampahnya, seperti membuat pupuk dari maggot, membuat bank sampah, atau diolah yang kemudian dijual kembali.

 “Ada kajian pada tahun 2001, TPA Jatibarang sudah overload dan belum ada solusi, Jadi di sini harus dimaksimalkan, lalu solusinya apa? Masyarakat diedukasi untuk mengolah sampahnya. Sampah anorganik dikumpulkan lalu dijual, atau membuat bank sampah. Sedangkan sampah organik dibuat pupuk dengan maggot. Kalo mengolah sampah bisa dapat uang, dapat berkah, tidak perlu dibuang ke TPA,” ungkap Joko pada Senin (2/6/2025) di Kantor TPA Jatibarang

TPA Jatibarang sendiri memiliki luas 46.183 Ha dengan 27.7098 Ha (60%) untuk lahan buang dan sisanya 17.4732 Ha (40%) sebagai infrastruktur kolam lindi (leachate). Tempat dengan luas lebih dari 46 Ha tersebut sampai sekarang masih menggunakan sistem open dumping. Singkatnya, sistem open dumping merupakan pengelolaan sampah yang dilakukan dengan cara menumpuk di lahan terbuka tanpa adanya proses lebih lanjut. 

Berdasarkan dari  pernyataan dari Joko, TPA Jatibarang  pernah mendapatkan bantuan berupa tanah yang digunakan sebagai sanitary landfill dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) seluas 2 Ha, akan tetapi tanah tersebut sudah penuh dan tidak bisa digunakan kembali.

Sedangkan, apabila menggunakan sistem sanitary landfill, perlu tanah yang berfungsi sebagai lapisan penutup. Namun, sulit untuk mencari tanah khususnya di wilayah Semarang. Ditambah lagi, penerapan sistem sanitary landfill untuk pengelolaan sampah juga memerlukan biaya yang cukup tinggi. 

Jadi kelemahannya itu mencari tanah untuk mengurug. (Sampah –red) setelah dibuang, didor, ditata, baru di atasnya dikasih tanah, nah di sini kesulitannya itu mencari tanahnya untuk mengurug, sedangkan gali aja di Semarang gak boleh,” ungkap Joko.

Dok. Hayamwuruk/Diaz

Dampak Open Dumping Bagi Pekerja

Dilansir dari Tempo.co bahwa sistem open dumping dapat menyebabkan potensi kebakaran akibat dari ledakan gas metana, salah satunya adalah Muhammad Tegar Maulana (20) yang bekerja selama 3 tahun. Tegar menceritakan bahwa dirinya pernah mengalami sesak napas ketika TPA Jatibarang mengalami kebakaran pada tahun 2024. Saat itu, Tegar hanya mendapatkan pertolongan meminum air mineral dan istirahat.

“Sesak, saat kebakaran uapnya pada naik semua,” jelas Tegar pada Senin (2/6/2025) di area sekitar TPA Jatibarang

Selain itu, ketika kondisi cuaca hujan juga membuat gas metana lebih mudah tercium karena kondisii udara yang lembab, terkhusus ketika berada di wilayah zona empat. Dampak lain seperti longsor dan selip dari ban kendaraan juga harus dihadapi oleh para pekerja. Meski telah  dibantu dengan eksavator, akan tetapi para pekerja belum mendapatkan sarana dan prasarana (sarpras) yang memadai, seperti baju pengaman dan topi.

Harianto (36) mengaku persediaan sarpras tidak langsung terpenuhi karena harus mengajukan rencana anggaran ke pemerintah. Hal tersebut memakan waktu lama, sehingga para pekerja harus lama untuk menunggu.

“Turunnya tidak tahu kapan, cuman tidak sekali minta turun, anggarannya kan ikut pemerintah, nanti ada pengajuan anggaran berapa, turunnya sekarang nggak bisa sekarang,” Jelas Harianto

Ilusi Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

Dilansir dari Tirto.id, Kota Semarang merupakan salah satu wilayah yang mendapatkan proyek pengembangan Pembangkir Listrik Tenaga Sampah (PLTsa). Proyek tersebut merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional yang tercantum pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, akan tetapi proyek tersebut gagal dan mangkrak hingga saat ini. Pada saat Tim LPM Hayamwuruk datang ke lokasi tidak melihat adanya aktivitas PLTSa yang lokasinya berada di depan kantor TPA Jatibarang.

Apabila melihat  situs Central java Investment Platform, saat ini Pemerintah Semarang terlihat sedang dalam tahap pembangunan proyek Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Dikutip dari Majalah Digital Tempo, definisi PSEL sendiri merupakan istilah baru pengganti dari nama PLTSa. Proyek PSEL memiliki estimasi nilai investasi sebanyak Rp2,6T. Dari dana tersebut, TPA Jatibarang diproyeksikan mampu mengelola sampah sebesar 1.000 sampai 1.200 ton per hari dan mampu menghasilkan energi listrik sebesar 15-18 megawatt (MW). 

Proyek tersebut diperkirakan akan mulai beroperasi pada tahun 2027. Sumber pendapatan proyek PSEL berasal dari Tipping Fee, Feed in Taris, dan VGF (Viability Gap Fund). Tim LPM Hayamwuruk mencoba mengkonfirmasi ulang terkait dengan proses proyek PSEL kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Semarang melalui pesan WhatsApp, akan tetapi sampai tulisan ini terbit belum ada balasan dan hanya dibaca.

tangkap layar dari website: cjip.jatengprov.go.id

Nur Cholis, salah satu perwakilan dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Tengah menolak pembangunan proyek PLTSa atau PSEL. Menurut Cholis, permasalahan  sampah tidak hanya bisa diselesaikan di akhir saja, melainkan perlu dari proses distribusi, pengangkutan, pemilihan, dan pembatasan. Oleh karena itu, dana yang cukup besar untuk membangun proyek PLTSa atau PSEL bisa dialihkan ke proyek kecil, seperti bank sampah atau bak truk sampah. Hal ini karena bagaimanapun juga permasalahan sampah haruslah bersifat jangka panjang.

“Kita sebenarnya menolak untuk proyek-proyek besar itu dan kami mendorong proyek-proyek itu seharusnya tidak untuk mendanai teknologi yang besar, itu yang mahal. Tetapi di proyek dana besar itu diproyeksikan untuk kecil (proyek -red) kecil, mensupport entah itu bank sampah atau mensupport sistem,” ungkap Cholis saat diwawancarai melalui Zoom Meeting pada Selasa (3/6/2025).

Cholis juga menambahkan bahwa penyelesaian pengelolaan sampah melalui proyek PSEL justru akan membuat polusi dan menimbulkan racun. Apabila selama proses pembakaran tidak dilakukan secara sempurna seperti Persistent Organic Pollutants (POPs), dioxins, furans, dan lain sebagainya.

“Maksudnya ketika pembakaran itu tidak sempurna di bawah 1.000°C, itu akan menyebabkan polusinya, asapnya itu apa itu menimbulkan menimbulkan senyawa kimia tersebut dan itu bisa meracuni,” jelas Cholis.

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dan Walhi sendiri pada awal tahun 2016, ketika pemerintahan Presiden Jokowi, pernah menggugat Perpres No. 18 Tahun 2016 di Mahkamah Konstitusi (MK) dan berhasil dicabut. Namun, Presiden Jokowi kembali mengeluarkan Perpres No. 18 tahun 2018 dengan menambahkan proyek yang berbasis teknologi ramah lingkungan.

“Tapi selang dua tahun kemudian di 2018, Pak Jokowi bikin lagi yang mirip serupa. Hanya ditambahkan itu ramah lingkungan. Tadinya misalkan tadinya percepatan pengelolaan sampah, berbasis sampah menjadi listrik itu di 2016. Di 2018 yang ditambahkan berbasis teknologi ramah lingkungan, hanya seperti itu saja,” ungkap Cholis.

Dok. Hayamwuruk/Diaz

Masih Adakah Alternatif?

Pengelolaan sampah di TPA Jatibarang yang sampai sekarang masih menggunakan sistem angkut buang atau open dumping, menurut pengamatan dari Cholis mengungkapkan adanya ketidaktegasan dalam pemerintah Kota Semarang terkait penanganan sampah. Hal ini menurut Cholis tidak bisa dilepaskan dari awal pembangunan TPA Jatibarang yang saat itu mendapat penolakan dari warga. Alhasil, warga mendapat iming-iming berupa sapi.

“Bisa jadi karena ketidaktegasan dari DLH, tetapi ketidaktegasan juga buntut dari sejarahnya (awal pembangunan -red).  Dulu kan memang juga mau dibuka untuk TPA warganya gak mau, jadi dikasih iming-iming sapi itu biar mau,” terang Cholis.

Lalu, ketika ditanya terkait dengan regulasi  yang bisa diperbaiki, Cholis mengatakan perlu untuk menaikkan anggaran dana di lingkungan hidup.  Namun, di sisi lain, Cholis juga mendukung program zero waste sebagai pilihan alternatif model pengelolaan sampah karena tanpa memerlukan biaya yang tinggi dan tidak mencemari lingkungan.

“Memang sudah terbukti di beberapa negara, contoh di Filipina, di beberapa kota juga sudah melakukan dan ini tidak akan membutuhkan biaya yang tinggi seperti kita membangun PSEL atau PLTSa” terang Cholis.

Di satu sisi, Dr. Hartuti Purnaweni, dosen dari Fakultas Ilmu Politik (Fisip), program studi Ilmu Lingkungan dan Administrasi Publik, mengatakan bahwa urusan sampah bukan saja permasalahan pemerintah saja, melainkan juga bagian tanggung jawab dari masyarakat dan industri.

“Yang membuang sampah itu adalah masyarakat dan industri. Mestinya mereka berdua itu lebih bertanggung jawab. Jadi yang sangat-sangat penting, mandatory, adalah peran masyarakat, peran warga. Nggak bisa lagi pakai modal zaman dulu, pokoknya semua sampah tak buang, apapun langsung masuk keranjang, apapun langsung masuk keranjang sampah,” kata Dr. Hartuti pada Kamis, (5/6/2025) melalui aplikasi dari Teams.

Dr. Hartuti menambahkan bahwa untuk mendapatkan lingkungan bersih dan sehat perlu biaya yang mahal. Jika tidak, maka bisa dengan apa yang dikatakan oleh Hartuti yaitu diet sampah, seperti membawa tas belanja ketika membeli makanan atau minuman guna mengurangi pengeluaran sampah.  Selain itu, diet sampah juga bisa dilakukan dengan mengurangi membeli makanan secara online.

Dok. Hayamwuruk/Diaz

“Kalau tidak mau membayar mahal, misalnya sebulan bayar 150 ribu gitu. Maukah bayar untuk pengelolaan sampah 150 ribu per bulan per KK (Kartu Keluarga –red)? Nah kalau gak mau, ya harus bekerja. Kerjanya bagaimana? Pertama harus diet sampah,” jelasnya.

Hartuti juga menyoroti pentingnya reduce, reuse, recycle dalam mengurangi jumlah sampah, khususnya sampah plastik yang sangat susah untuk diurai.  Hal ini sejalan dengan kampanye pada Hari Lingkungan Hidup tanggal 5 Juni yang berupa tagar Beat Plastic Pollution.

“Ini kan Hari Lingkungan Hidup di tanggal 5 tagarnya Beat Plastic Pollution. Harus menghilangkan polusi plastik. “Beat” ya, harus menghindari polusi plastik. Caranya gimana? Ya mau gak mau dengan mengurangi plastik, mengurangi pemakaian plastik. Tadi ya reduce, diet plastik,” jelas Hartuti.

Selain pemerintah, kata Hartuti, peran pemuka agama juga memiliki kekuatan dalam mendorong pengikutnya untuk menjaga lingkungan lingkungan agar bersih dan sehat. Meskipun pada dasarnya setiap orang bertanggung jawab dan berpartisipasi dalam pengelolaan sampah.

“Karena biasanya pemuka agama itu mempunyai kekuatan untuk mendorong para pengikutnya untuk melakukan hal yang baik dan benar dilihat dari kacamata agama dan kemanusiaan. Jadi semua harus berpartisipasi dan warga negara juga. Jadi bukan hanya tugas pemerintah atau pemuka agama, tapi kewajiban every single person,” jelas Hartuti.

Tulisan ini disusun atas dasar kolaborasi dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah untuk merayakan Hari Lingkungan Hidup.

Penulis: Diaz Fatkhur Rohman
Editor: Petricia Putri Marricy

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top