Menjemput Kembali Masa Keemasan Itu
DUA puluh tiga tahun lalu embrio Hayamwuruk terlahir. Tepatnya tanggal 16 Maret 1983. Waktu itu bernama Mutasi. Baru dua tahun kemudian Mutasi berganti nama Hayamwuruk.
Kalau dihitung dari embrio kelahirannya, Hayamwuruk sekarang telah genap berusia 23 tahun, tepat pada tanggal 16 Maret 2006. Tapi bila berdasar terbentuknya, ditandai dari pergantian Mutasi ke Hayamwuruk, sekarang Hayamwuruk berusia 21 tahun.
Usia 23 maupun 21 merupakan usia menginjak dewasa untuk ukuran manusia. Begitu pula seharusnya dengan Hayamwuruk yang telah 21 tahun malang-melintang dalam dunia pers mahasiswa tentunya telah bertambah matang.
****
Hayamwuruk telah mengalami masa keemasannya justru ketika negara ini dibawah kendali rezim otoriter Orde Baru. Ketika pers Indonesia bungkam karena represi dari pemerintah, Hayamwuruk justru tampil dalam barisan terdepan mengusung suara perlawanan dari barisan pers mahasiswa Indonesia.
Pada saat itu, Hayamwuruk tak hanya berdiam di kampus. Ia keluar melewati pagar-pagar akademik, berbaur dengan rakyat membela suara-suara yang tertindas di masyarakat. Ia turun ke jalan merekam setiap ketidakadilan melalui goresan pena para awak redaksi yang juga merangkap sebagai aktivis gerakan, disamping sebagai mahasiswa. Sungguh fenomenal Hayamwuruk kala itu. Ia tak hanya dikenal di kalangan masyarakat Semarang, tapi juga seantero kota-kota besar lainnya.
Sungguh sulit dibayangkan, wartawan mahasiswa yang hanya bermodal pena dengan dukungan dana yang minim bisa mengejar narasumber hingga ke Ibu Kota. Para kru seperti tak mau kalah saing dengan para wartawan media umum, yang dari perlengkapan jelas lebih memadai. Barangkali karena modal nekat mereka bisa pulang ke Semarang dengan membawa berita.
Ada satu cerita menarik. Seorang kru kehabisan uang ketika sedang ditugaskan liputan di Ibu Kota. Redaksi memutuskan tak memberikan suntikan dana karena dana yang dianggarkan sudah diberikan. Padahal siapa mengira bila narasumber susah ditemui hingga rencana jadwal semula bisa menyelesaikan liputan dalam waktu dua hari bisa molor hingga satu minggu karena sibuknya narasumber. Akhirnya dengan modal nekat seorang kru itu tetap bertahan di Ibu Kota. Lalu bagaimana caranya? Ya, pokoknya ada akal saja, daripada ia harus didenda mengembalikan dana liputan andai kata pulang tak berhasil membawa berita?
Apalagi ngomong soal teknologi, alama ma tahun 80-an atau 90-an awal itu belum ada komputer. Handpone barangkali juga belum keluar di Indonesia. Para kru menulis liputan dengan mesin ketik. Kalau salah ya tak bisa di backspace. Tak ada juga media penyimpanan yang sewaktu-waktu bisa dibuka atau diedit kembali seperti dengan adanya alat seperti komputer sekarang ini. Apalagi internet, ah jangan membayangkan yang sejauh itu. Kontak dengan narasumber di luar kota masih menggunakan cara konvensional, dengan pos. Tak seperti sekarang yang bisa dengan cepat dan murah dengan email.
Kendati demikian, meski tidak didukung dengan perangkat teknologi seperti sekarang ini, Hayamwuruk tetap bisa survive. Tetap bisa rutin terbit. Bisa mengikuti berita-berita aktual meski tak ada internet. Itulah orang-orang diera-era awal masa keemasan Hayamwuruk. Mereka terbukti telah bisa menaklukkan jaman.
****
Tahun 1997 Hayamwuruk mendapat penghargaan ISAI sebagai nominator pertama katagori pers alternatif. Ini penghargaan sangat bergengsi waktu itu, khususnya bagi pers mahasiswa. Tahun itu Hayamwuruk menaklukan persma-persma lainnya, seperti Balairung, Warta Ubaya, yang mendapat nominasi diurutan setelah Hayamwuruk.
Tiga tahun kemudian sampai dengan event penghargaan serupa tidak diadakan lagi, Hayamwuruk masih masuk dalam 10 besar. Tapi tidak diurutan pertama lagi. Entah apakah itu bisa dijadikan sebagai parameter bila Hayamwuruk makin meredup.
Seperti sekarang ini, Hayamwuruk tengah dihadapkan pada berbagai masalah. Krisis keanggotaan dan kurangnya militansi para anggota. Tanggungjawab dan etos kerja yang rendah. Liputan yang tak kunjung diselesaikan. Akibatnya penerbitan selalu molor.
Kenyataan itu jelas merupakan pukulan, bahkan tamparan bagi para kru saat ini. Bila orang-orang saat dulu yang dengan berbagai keterbatasan masih bisa eksis bahkan bisa menunjukkan kekuatannya, mengapa sekarang justru melemah?
Di usia menginjak dewasa ini, banyak hal yang harus direnungkan kembali. Ada apa dengan kita sekrang ini? Masalah itu dipecahkan!
Setiap generasi memang punya ciri masing-masing, punya cerita kebanggan sendiri-sendiri. Mari kita juga buat cerita itu sekarang dengan kembali menghidupkan Hayamwuruk kita ini.
Selamat ulang tahun ke 21 Hayamwuruk, semoga panjang umur, lekas sembuh dari kesakitan ini