NH Dini yang Bergemuruh

Oleh: David Sukma P
Peliput: Galang Ari Pratama, Rizky Mega, Riska Novita Rini

Pagi yang cerah dan sejuknya udara di kampus FIB membuat maba 2011 bersemangat menyongsong Kamis pagi yang menggemparkan bersama NH Dini di Lerep. Tepat pukul 08.00 WIB, semua peserta baik dari maba dan para senior sudah siap berangkat menuju lokasi.

Semua persiapan telah dikoordinasi dan wajah ceria masih tetap menyelimuti. Namun, hal yang dikhawatirkan panitia pun terjadi. Waktu keberangkatan yang ditentukan telah terkorupsi, pukul 08.30 WIB peserta baru berangkat dari kampus FIB. Kurangnya peran panitia mengakibatkan kesalahan jalur bus yang ditumpangi maba. Dengan sedikit “bujukan” akhirnya supir bis bersedia putar jalur, walau sang kenek sempat ngedumel.

Wisma Lengeh Werdhasih, tepat pukul 09.34 WIB semua telah berkumpul dan siap mengikuti acara diskusi. Setelah sepuluh menit berlalu, sosok wanita tua berambut putih, ditemani tongkat jalannya, masuk perlahan ke dalam ruangan, berdampingan dengan Yudiono KS—dosen sastra di prodi Sastra Indonesia. Wanita yang biasanya hanya dapat dilihat di sampul novel-novel karangannya, kini dapat langsung dilihat.

Merupakan suatu kebanggaan besar bisa bertemu sosok yang begitu popular di dunia sastra dalam negeri maupun luar negeri ini. Pengarang yang karya-karyanya terkenal dengan julukan novel autobiografi ini telah berkarir selama 65 tahun. Di usianya yang ke-76 tahun ia masih berharap untuk diberi 10 tahun perpanjangan umur dengan tujuan mengarang 10 buku lagi. Benar-benar keinginan yang luar biasa di usianya yang sudah tak dapat dibilang muda lagi.

Acara diawali dengan sajian teater TENDA oleh panitia KMSI 2010 yang mengangkat petikan novel “Pada Sebuah Kapal”. Pentas tersebut dimainkan selama sepuluh menit tanpa dialog (pantomim). Hal ini sedikit disayangkan NH Dini, karena dalam sebuah pertunjukan, walau pun hanya sesaat, bila di convert dengan dialog akan tekesan lebih menarik.

Usai penampilan teater TENDA, berlanjut ke acara utama, diskusi Bulan Bahasa bertema “Kuncup berseri, Padang Ilalang di Belakang Rumah”, yang tak lain diambil dari salah satu karangan NH Dini. Sayang, tema ini terasa hanya pajangan semata, karena faktanya tidak ada satu pun peserta yang menanggapi atau pun mengajukan pertanyaan. Diskusi pun berlanjut dengan lima poin dalam satu tema yang disuguhkan NH Dini “Bahasa yang bermartabat”. Tema ini benar-benar terasa berbobot dan mengandung nilai yang berarti.

Dalam hal ini, NH Dini mengatakan, “Mengembalikan bahasa menjadi kebanggaan yang resmi, walaupun bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, tetapi tetap bangga memiliki bahasa Indonesia seperti yang dikatakan Chairil Anwar dan Soekarno.” Pada dasarnya kebanggaan memiliki bahasa Indonesia masih tetap utuh hingga sekarang. Namun, bahasa Indonesia yang kita miliki dan kita pakai dalam kehidupan sehari-hari bukanlah bahasa yang baik dan benar, melainkan bahasa-bahasa alay dan bahasa artis yang kita kembangkan sendiri. Untuk itu, kita perlu menempatkan pendidikan dan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai pusat kegiatan, guna menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang bermartabat.

Realitas masyarakat masa kini baik pelajar, masyarakat, maupun para pejabat telah tercemar oleh bahasa para artis. Untuk mengembalikan bahasa menjadi suatu kebanggaan tersendiri, kini benar-benar terasa berat. Bagaimana tidak? Kita sendiri para pelajar sastra saja, enggan untuk berbahasa yang benar dalam percakapan sehari-hari. Bukan hanya itu, dalam diskusi seminar maupun kampus, penggunaan bahasa yang baik, benar, dan bermartabat pun urung dijumpai. Realitas ini adalah karangan hidup nyata yang perlu kita perangi. Mari awali dari diri kita sendiri dan banggalah sebagai mahasiswa sastra.

Dari sekian penjelasan muncullah lontaran santai Alvi, “Bagaimana dengan sastra feminisme dan pergolakan dinamika sastra di tahun 70-an dan 90-an?” Menanggapi pertanyaan ini, NH Dini mengatakan bahwa sastra di tahun 70 dan 80-an, penganut sastra majalah dan pengarang wanita mulai bermunculan, tetapi tidak berlangsung lama. Mengenai feminisme, NH Dini membandingkannya dengan maskulinisme “Kenapa istilah ini tidak pernah muncul? Kenapa hanya feminism? Mungkin akibat banyakknya penulis pria yang menyinggung masalah feminisme. Karena itulah, maskulinisme tidak terjamah hingga sekarang.” tutur NH Dini.

Terlepas dari itu, “Apakah kejujuran dalam menulis?” singkap Umi Lutfiah setelah mengatakan pertemuan ini bagaikan mimpi bertemu pengarang sesungguhnya. “Menulis semua bahan yang ada dalam masyarakat, mengangkat realitas fakta menjadi dunia rekaan. Dan sastra yang tidak jujur adalah sastra yang ditunggangi kepentingan agama dan politik.” songkak NH Dini menegaskan.

Diujung acara, Soni mengajukan pertanyaan yang terkesan blak-blakan di hadapan sosok besar seorang NH Dini. “Novel karya Ayu Utami yang terkesan vulgar, dan apa tindakan NH Dini yang dilakukan untuk memperbaiki Bahasa Indonesia bila kami tidak ada di sini?” Kesan emosi pun mulai muncul di raut tua wajah NH Dini saat menanggapi pertanyaan tersebut, “Soal vulgar atau tidak itu bukan urusan saya dan saya tidak mengatakan novel itu bukan sastra. Dan untuk memperbaiki BI itu urusan anda!! Toh yang orang sastra itu anda-anda semua. Saya ini lebih berpengalaman dari anda, jadi jangan menggurui saya.”

Ketegangan mendengar diskusi mereka terlihat di wajah para maba dan peserta lainnya, banyak maba yang menyesalkan pertanyaan itu. Namun riuh keceriaan mulai muncul kembali di akhir diskusi ini, kue ulang tahun di depan pintu masuk dipegang oleh salah seorang panitia menunjukkan akan ada sebuah kejutan. Yudiono KS ternyata yang berulang tahun pada hari itu. Tepuk tangan dan gemuruh ceria alunan lagu ulang tahun terasa begitu meriah. Dan wajah Yudiono pun tersenyum lebar mendapat kue serta jabat tangan NH Dini dan para peserta diskusi.

“Dari sekian acara, terasa kurangnya sikap kondisional dari para peserta,” tutur salah seorang maba. Hal ini terbukti, banyak maba yang duduk di pojok ruangan dan membuat diskusi khusus. Ditambah lagi tidak ada satu pun panitia mau pun moderator yang menyinggungnya tingkah kurang etis tersebut.

Sebenarnya ada banyak kendala di dalam acara ini. “Kurangnya partisipasi dari anak-anak 2010 membuat acara ini berkendala sejak awal.” tutur Arif Ulin selaku ketua panitia. Diakhiri dengan makan kudapan, NH Dini pun meninggalkan tempat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top