Oleh: Syaiful Romadhon
Selasa (18/10/2011), ruang teater yang terletak di lantai 2 cukup ramai dengan mahasiswa. Saat saya masuk ke ruangan tersebut, ternyata sedang berlangsung acara diskusi sastra yang bertajuk HB.Jasin. Acara ini merupakan agenda rutin dari Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) yang sempat vakum. Kali ini KMSI mengadakan kembali agenda rutinnya. Acara tersebut bernama DIBEKAM#1. ”Target peserta Dibekam#1 merupakan mahasiswa sastra Indonesia. Tujuan Dibekam#1 sendiri merupakan tempat disksusi sastra diluar perkuliahan. Untuk acara perdana Dibekam#1, panitia sudah cukup puas melihat jumlah pesertanya.” tutur Arif selaku ketua panitia Dibekam#1.
Konsep acara diskusi berlangsung semi formal. Sesi pertama diskusi, dua orang pemakalah menjelaskan sepintas tentang siapa itu H.B Jasin. Tokoh yang digelar Paus Sastra Indonesia itu merupakan seorang pengarang, editor, dan kritikus sastra ternama di Indonesia. Ia lahir di Gorontalo 13 juli 1917 dan tutup usia di Jakarta pada tanggal 11 Maret 2000. H.B. Jasin sangat tekun dalam mendokumentasikan karya-karya sastra di Indonesia, yang sampai sekarang masih dapat kita jumpai karyanya di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jasin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Suasana diskusi mulai terlihat saat memasuki sesi tanya tanya jawab. Salah satu penanya mengutarakan kenapa H.B Jasin menilai karya sastra dengan perasaan? Sedangkan menurut ilmu yang dipelajari di bangku kuliah menjelaskan bahwa karya harus di kaji menggunakan teori. Kemudian Dissa dari Sasindo 2009 selaku moderator menjelaskan bahwa H.B. Jasin menilai suatu karya sastra dengan membacanya secara tekun hingga ia merasakan kalau sebuah karya dapat dinikmati dan di hayati, tidak perlu menggunakan teori sastra yang membatasi pemahaman.
Pertanyaan selanjutnya datang dari Angga Sasindo 2009 tentang karya kontroversial “Langit Makin Mendung”. Dia menanyakan pendapat tentang karya tersebut.Apakah ada unsur menghina Tuhan pada karya tersebut? Sontak pertanyaan ini banyak mendapat banyak tanggapan dari peserta diskusi.
Dayat (Sasindo ’09) menyatakan bahwa ada rumor kalau Ki Panji Kusmin adalah H.B. Jasin itu sendiri. Namun, Alvidiansyah (Sasindo ’10) mendapat info dari internet bahwa Ki Panji Kusmin adalah WS Rendra. Spekulasi itu bisa dilihat dari gaya bahasa yang mirip dalam puisi Bangkitlah Pelajur Kota Jakarta dengan cerpen kontroversial tersebut.
Mendengar perdebatan Dayat dengan Alvi, Angga lalu memberikan tanggapan bahwa kita tidak perlu memperdebatkan siapa Ki Panji Kusmin tersebut. Ia lebih suka membiarkan ada kemisteriusan yang membuat karya sastra jadi menarik. Pendapat yang sempat di kuatkan oleh Desta seketika di bantah oleh Bram selaku ketua KMSI. Ketua KMSI ini mengutarakan pendapatnya bahwa kita tidak bisa menyederhanakan suatu permasalahan sastra karena itu merupakan ranah yang perlu dikaji oleh mahasiswa saastra. Alvi pun menguatkan pendapat dari Bram bahwa banyak hal yang masih harus dikaji dari dunia sastra.
Namun jalannya diskusi menjadi kurang hikmat oleh beberapa peserta yang tidak kondusif, seperti sibuk sendiri di pojok ruang teater. Beberapa kali sempat diingatkan oleh moderator, namun hanya berefek sementara.
Acara diskusi seperti yang diadakan KMSI diharapkan dapat terealisasi secara rutin dengan diiringi suasana yang kondusif, sehingga mahasiswa yang mengikuti acara tersebut dapat menikmati dengan maksimal. Selain itu dapat menambah pengetahuan mahasiswa, serta meningkatkan keakraban antarmahasiswa FIB Undip.