![]() |
Ilustrasi: Aa |
Perbedaan waktu dimulainya perkuliahan antara mahasiswa baru dan mahasiswa lama Universitas Diponegoro (Undip) selama 4 minggu menyebabkan padatnya jadwal kuliah mahasiswa baru. Mahasiswa baru dan dosen diharuskan mengejar ketertinggalan tersebut sebelum Ujian Tengah Semester (UTS) dimulai hingga terpaksa kuliah di akhir pekan (fullweek).
Pada ajaran baru 2020/2021, mahasiswa lama mulai aktif kuliah pada 24 Agustus, sedangkan mahasiswa baru pada 14 September. Buntut dari keterlambatan 4 minggu ini, dosen dan mahasiswa baru diharuskan untuk mengejar ketertinggalannya agar UTS dapat dilaksanakan secara serentak.
Wakil Rektor 1 Universitas Diponegoro, Budi Setiyono menerangkan bahwa mundurnya jadwal mahasiswa baru merupakan penyesuaian dari jadwal kelulusan SLTA akibat COVID-19 dan mundurnya jadwal penerimaan mahasiswa baru jalur SBMPTN dan UM.
“Karena saat ini terjadi pandemi corona, jadwal penerimaan SBMPTN dan UM menjadi mundur beberapa kali sehingga perlu dilakukan penyesuaian PMB yang berpengaruh pada kemunduran awal kuliah maba,” katanya ketika kami wawancarai melalui WhatsApp pada Senin, (28/9).
Terkait jadwal perkuliahan mahasiswa baru yang padat, Budi Setiyono mengatakan bahwa hal tersebut merupakan keharusan. “Maba harus memenuhi persyaratan perkuliahan nasional sebanyak 16x tatap muka, maka jumlah itu harus terpenuhi sebelum semester ganjil berakhir,” katanya.
Padatnya jadwal kuliah ternyata cukup berdampak kepada mahasiswa baru dan dosen pengajar yang harus memutar otak dalam mengatur waktu. Salah satunya adalah Danandjaja, mahasiswa Teknik Sipil Undip 2020 yang dihubungi via Line. Dia mengeluhkan mengenai padatnya jadwal kuliah fullweek yang masih ditambah dengan tugas yang waktu pengerjaannya terlalu singkat.
“Kuliah fullweek ini membuat mahasiswa menjadi kurang fokus karena waktu kuliah yang terlalu lama (ada yang sehari kuliah hingga 9 jam dan jadwal paling malam pukul 22.20),”
katanya.
“Kita kan baru aja masuk kuliah, tiba-tiba aja udah kuliah nonstop tanpa hari libur bahkan sebulan kuliah udah harus UTS. Jadinya cultureshock banget, sih, dan pusing juga. Seharusnya, lebih baik UTS-nya mundur daripada jadwal (kuliah) padet banget.”
Hal senada juga dikeluhkan Gina Apriali Santoso, mahasiswa baru Bahasa dan Kebudayaan Jepang. Dia mengatakan kalau sebenarnya tidak masalah dengan kuliah padat selama tidak ada tugas tambahan dan tugas yang deadlinenya berdekatan.
“Ada yang sehari sampe 5 kelas berasa kaya anak SMA yang pulang sekolah harus bimbel lagi sampe malem, apalagi ini kuliah daring liatin monitor dari pagi sampai sore ga berhenti, ya pusing juga,” katanya.
Kendala padatnya jadwal tersebut juga turut dirasakan oleh Heriyanto, Dosen Ilmu Perpustakaan Undip, yang memilih untuk tidak memberi kuliah tambahan diakhir pekan lantaran jadwal mengajarnya yang sudah padat.
Ia beranggapan, memaksakan kuliah di akhir pekan hanya akan menambah beban mahasiswa apalagi jika ditambah tugas. Sehingga, Heriyanto lebih memilih membagikan video materi singkat atau melakukan observasi maupun membaca literatur.
“Menurut saya perkuliahan itu tidak harus mendengarkan dosennya bicara,bisa lewat observasi, kemudian membaca literature secara kritis, atau menonton rekaman video yang diunggah di Microsoft Teams,”katanya ketika diwawancarai oleh Hayanwuruk pada (29/9).
Sementara dosen lain, tambah Heriyanto, sebagian ada yang mencari pengganti di waktu lain dan ada juga yang seperti dirinya. Menurutnya, kuliah fullweek itu terkesan mengejar selesai jadwal. “Maka harapan saya itu murni dilakukan perkuliahan tanpa ada tugas tambahan di luar jam perkuliahan yang online itu karena saya pikir itu akan makin memberatkan bagi mahasiswa baru,” tambahnya.
Ternyata padatnya jadwal mahasiswa baru juga berdampak pada kegiatan di luar perkuliahan seperti pengenalan organisasi mahasiswa fakultas (ormawa). Farhan Munggaran Putra, Wakil Ketua BEM FIB Undip, mengatakan bahwa pengenalan dunia kampus di luar perkuliahan adalah hal yang penting karena bagian dari kehidupan kampus.
“Tetapi dengan adanya jadwal yang padat ini kami kesulitan mencari waktu yang tepat untuk maba karena harus menyesuaikan dengan jadwal mereka,” katanya.
“Proker Research for Humaniora (RfH) BEM FIB yang rencananya dengan konsep webinar, terpaksa diubah menjadi sosialisasi karena larangan mengumpulkan maba sebelum 24 Oktober (UTS selesai),” tambahnya.
Reporter : Teguh, Lala, Yuan
Penulis : Senja
Editor : Zanu