Atas Nama Rakyat: Pantaslah Kita Memboikot Partai Politik Pendukung Kenaikan Harga BBM Bersubsidi

Sumber Gambar: Freepik/vectorjuice

Catatan redaksi: tulisan berikut merupakan hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan pandangan LPM Hayamwuruk.

Tok! Harga BBM bersubsidi naik. Sabtu, 3 September pukul 13.30 WIB secara resmi dan penuh kesadaran pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Pertalite yang awalnya Rp7.650 kini membengkak menjadi Rp10.000 per liter, begitupun dengan solar subsidi yang naik Rp1.650 dari harga Rp5.150 per liter. Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan menilai subsidi BBM saat ini sudah tidak tepat sasaran. Anggaran subsidi dan kompensasi energi yang ditanggung pemerintah saat ini telah naik sampai Rp502,4 triliun dari awalnya Rp152,5 triliun. Hal ini yang membuat negara berpikir ulang untuk mempertahankan subsidi yang tak kunjung memberi untung.

Dalih dari Sri Mulyani tadi akhirnya membuat luluh presiden dan DPR. Dua lembaga tinggi ini sepakat bekerja sama menduakan kepentingan rakyat demi menyelamatkan kedudukan politik mereka di lingkaran pemerintahan. Baik lah, Jokowi sebagai presiden memang sudah tidak bisa diharapkan. Jangankan untuk diberi harapan, diberi amanah presiden sampai 2024 pun saya sejujurnya agak ragu. Presiden sebagai pemilik otoritas politik tertinggi, nyatanya hari ini terus-menerus gamang menentukan arah dan sikap politiknya, entah karena sudah diijon oligarki sedari awal atau memang terlalu mudah mengiyakan suara-suara bising di kiri-kanan telinganya.

Mau tidak mau harapan terakhir saya ada di puan dan tuan yang duduk di parlemen, sang penyambung lidah rakyat. Tetapi lagi dan lagi, kesalahan terbesar saya adalah ketika harus berharap kepada mereka. Dalil politik untuk lebih baik menduga buruk ketimbang berharap baik kepada pemerintah, rasanya tidak pernah tidak relevan. Bayangkan, 9 fraksi (partai politik) di parlemen saat ini mayoritas sepakat untuk menaikan harga BBM bersubsidi. Pembagiannya ada yang jelas-jelas mendukung kebijakan ini dan ada juga yang tegas menolak bahkan sampai walk out dari sidang paripurna, tetapi ada partai yang saya nilai masih malu-malu kucing untuk menyatakan sikapnya, dan saya rasa ini sama saja mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi.

PDIP, Golkar, Nasdem, PAN, dan PPP secara tersirat menyetujui kenaikan harga BBM bersubsidi yang katanya “Tak bisa dihindari lagi”. PKB yang saya sebut malu-malu kucing untuk mendukung atau menolak kebijakan ini, alasannya mungkin saja PKB masih sibuk mengurusi keruwetan partainya yang tak kunjung selesai dari beberapa tahun belakangan. Langkah yang salah bisa memicu efek domino bagi PKB dan partisannya (kalau ada), apalagi pemilu 2024 sudah kian dekat. Sedangkan di sisi seberang, Partai Demokrat, Gerindra, dan PKS menjadi ujung tombak penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi di parlemen. Dalihnya tetap, keberpihakan kepada rakyat kecil. Partai Demokrat contohnya yang menyatakan, “Bagi Demokrat, prioritas nasib rakyat, pembangunan untuk rakyat, bukan rakyat untuk pembanguan. Pemerintah yang seharusnya mengalah. Ya, kan, untuk kepentingan rakyat, bukan rakyat yang harus mengalah untuk kepentingan pemerintah. Ini sikap Demokrat.” Keren nan gagah pernyataannya tetapi menduga buruk tetap dalil politik pertama.

Teruntuk PDIP, Golkar, Nasdem, PAN, dan PPP, saya mewacanakan untuk memboikot partai-partai ini dari Pemilu 2024 besok. Sangat perlu memberikan punishment terhadap partai yang bergerak ugal-ugalan dan tidak pro rakyat. Demokrasi memang hanya bisa berjalan efektif jika masyarakat sadar akan peranannya. Apa perannya? Segalanya, termasuk menendang partai-partai kelas kambing dan penjilat dari kontestasi politik yang ada. Sebagai negara dengan Party ID (kedekatan masyarakat terhadap partai politik) rendah, penggunaan punishment menjadi hal yang sangat mungkin dilakukan oleh masyarakat utamanya mahasiswa. Mahasiswa sangat dianjurkan mengusir serta menutup pintu rapat-rapat kepada lima partai ini dari kampanye-kampanye yang sangat mungkin menyasar ke kampus. Rasanya kampus tempat yang terlalu sakral untuk mereka yang datang (mengemis) dengan segepok uang (nir gagasan) dan akal bulus (amoral) lalu bercita-cita membawa perubahan besar untuk segenap bangsa Indonesia, omong kosong.

PDIP sebagai partai pemenang pemilu dan jumlah kursi terbanyak di DPR saat ini, berada dalam kondisi paling bahaya. Bagaimana tidak, kebobrokan demi kebobrokan yang PDIP pertontonkan periode ini masih segar di ingatan kita, mulai dari Menteri Juliari yang ditangkap KPK, polemik Harun Masiku, pernyataan ketua dan kader partai yang seringkali kontroversial, sampai dengan sikap lembek partai terhadap rancangan undang-undang dan kebijakan bermasalah. Ke depannya, slogan “wong cilik” yang kerap dilekatkan pada partai ini harus dihapus sebab hari ini PDIP sudah terlalu jauh dari jalan kerakyatan. Khitah PDIP bergeser dari yang awalnya membela wong cilik menuju wong agung (oligark). PDIP mau tidak mau harus mendapat ganjaran atas berbagai konsolidasi jahatnya selama hampir 8 tahun ini.

Jauh sebelum itu, PDIP harusnya belajar dari pengalaman Partai Demokrat yang diludahi dalam kontestasi politik (Pemilu 2014). Demokrat yang berhasil memenangi Pemilu 2009 harus rela kehilangan 50% suaranya akibat rentetan kasus korupsi yang merongrong kekuasaan presiden SBY (Demokrat). Tidak tanggung-tanggung, orang-orang yang duduk di posisi strategis partai, hampir seluruhnya ditangkap KPK. Demokrat kehilangan wibawa, pengaruh, dan dominasi dalam kancah politik nasional. Sedangkan PDIP? Wajib hukumnya merasakan perlakuan dan dampak yang sama seperti apa yang dirasakan partai berslogan “Katakan Tidak Pada Korupsi” pada Pemilu 2014 silam.

Jika saat ini partai-partai sudah berbondong-bondong membentuk koalisi politik, masyarakat harusnya tak boleh kalah untuk membentuk basis-basis massa. Akal bulus politikus senantiasa berkembang, tidak lagi dengan cara-cara memberi amplop-amplop berisikan uang tunai tetapi juga membunuh serta merusak sistem penyelenggaraan pemilu. Calon anggota dewan yang miskin gagasan, harus sedari awal dijegal, pun begitu dengan calon-calon yang memajang besar-besar fotonya di baliho persimpangan jalan, kalau ternyata otaknya tidak sebesar itu, pantaslah balihonya kita buang ke saluran-saluran pembuangan limbah. Uji kompetensi calon-calon tersebut tidak boleh lagi dilakukan di lorong-lorong gelap nan kotor tetapi harus seterang-benderang mungkin agar publik tau sejauh mana kapasitas calon pemimpin mereka. Sebab tidak ada yang bisa menjamin mutu seorang pemimpin, sekalipun ia berasal dari keturunan presiden pertama atau anak kandung kader PKI.

Untuk itu, perlu adanya desakan publik kepada partai politik untuk sesegera mungkin membenahi pelembagaan partai dan sistem kepartaian di Indonesia. Partai politik menjadi instrumen penting dalam proses demokrasi. Tanpa ada partai politik maka demokrasi sulit bekerja dan berjalan. Harapannya, partai politik yang konsisten di jalur kerakyatan, pendidikan politik, dan sarana penyelesaian konflik, bisa membentuk iklim demokrasi dan kepartaian yang kokoh. Dengan terciptanya iklim kepartaian yang kokoh, potensi sebuah partai politik bergerak ugal-ugalan akan semakin kecil. Transparansi, ideologi, dan kaderisasi partai dengan sendirinya terbentuk, sedang pengkultusan figur, hajat “investor” partai, serta praktik KKN tidak lagi membudaya di partai-partai politik Indonesia. Jika semua hal tersebut tercipta, kepercayaan publik terhadap partai politik akan menguat, partai politik tak akan disebut kepanjangan tangan elit tetapi mediator antara pemerintah dan suara rakyat.

Terakhir, tulisan tentang pemboikotan partai politik yang melakukan konsolidasi jahat terhadap rakyat, memang sebagai bentuk kemuakan saya melihat teater politik Indonesia hari ini. Meski demikian, saya tetap mendorong adanya reformasi partai politik dan penegakan reward and punishment terhadap seluruh gerak-gerik partai politik di Indonesia. Tujuannya jelas, partai politik tidak lagi bergerak melenceng dari jalur-jalur kerakyatan. Demokrasi harus kita kembalikan ke pengertian asalnya, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Panjang umur perjuangan.

Penulis: Raihan Immaduddin (Sejarah Undip 2020)
Editor: Rilanda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top