Membayangkan Kartini Datang di Acara “Mangsa X MGBP: Suara Kartini dalam Irama” Kemarin

Ilustrasi/Ketrin

Dua puluh satu April telah lewat, hari di mana satu kali dalam satu tahun, Kartini menjadi begitu sibuk pada perayaan atas dirinya. Ia dirayakan dengan kebaya sembari mengingat-ingat bahwa ia seorang yang emansipatoris dan sedikit melupakan bahwa ia adalah seorang yang realis. Pada tiga hari setelah dua puluh satu April yang begitu penuh dengan perayaan atasnya, Kartini menemukan secarik poster acara “Mangsa X MGBP: Suara Kartini dalam Irama”. Sepertinya ia begitu gegabah menganggap itu perayaan atas dirinya dan ia memutuskan datang melihatnya.

Dalam perjalanannya menuju acara itu, ia memikirkan dengan khusyuk bahwa, apa hakikat dari ia dirayakan setiap April di tanggal dua puluh satu? Apalah artinya emansipasi dalam perayaan kebaya dan diskusi-diskusi sepi untuk sekadar mengingat dirinya yang lampau? Ia sungguh tidak ingin luhur dalam ruang itu, sebab setelah perayaan, ia hanya akan kembali pada segelintir ruang dalam ingatan beberapa orang, menumpuk dalam ingatan-ingatan lain atas bagian lain yang bukan dirinya dan orang-orang akan segera mencari perayaan lain.

Ada sebuah penasaran ketika ia melihat ada acara yang seperti ingin menciptakan perayaan yang berbeda. Ia tertarik atas, bagaimana acara ini keluar dari konvensi perayaan tanggal dua puluh satu dan mencoba merayakannya di tanggal dua puluh lima. Ia tertarik membaca temanya, “Suara Kartini dalam Irama”. Pikirannya terlontar keluar dari masa lampaunya, ia membayangkan surat-suratnya kepada sahabat-sahabat pena Eropanya bermetamorfosis menjadi suara-suara lain yang bukan tulisan, menjadi nyanyian-nyanyian, menjelma suara-suara yang luhur atas emansipasi yang lebih baru.

Kartini menjadi senang ketika acara dimulai dengan tabuhan gamelan, ada sebagian dari dirinya yang bergetar, yang begitu purba, yang hanya bisa dijelaskan lewat percakapan intim kepada dirinya sendiri. Ia sangat senang melihat perempuan-perempuan melantunkan irama-irama purba, bernyanyi dengan bahasa ibu, menghasilkan nyanyian-nyanyian yang menegaskan ruang jika kita Indonesia. Kartini yang lampau sangat senang dengan gamelan, bahkan menuliskannya, bahwa musik ini mampu mencerminkan kepribadianya.

Setelah irama gamelan tidak terdengar lagi, Kartini tidak sabar menantikan suaranya yang lain, yang ternyata menjelma aktivitas peragaan busana yang modernis. Sebenarnya peragaan busana seperti ini sering ditemuinya beberapa tahun belakangan di saat-saat perayaannya pada setiap dua puluh satu April. Tapi, ia tetap senang melihat perempuan-perempuan itu begitu percaya diri dengan kebaya yang terlihat necis. Perempuan-perempuan itu menyuarakan hak atas berpakaian dalam bahasa yang begitu menarik, bukan lewat kata-kata, tapi dalam bentuk peragaan busana tradisional yang modernis.

Tidak hanya peragaan busana yang membuat Kartini begitu bersemangat. Ia menemukan suara lain, bahwa perempuan sedemikian asyiknya berekspresi. Ia menemukan perempuan bermusik dalam panggung yang tanpa hierarki atas gender di dalamnya. Perempuan-perempuan itu bernyanyi tanpa dibenturkan pada norma-norma yang mengikat perempuan harus seperti ini, bertutur seperti itu, atau berperilaku berdasarkan ini itu lainnya. Kartini mengira-ngira inilah suara Kartini lain, dalam irama. Betapa Kartini yang lampau hanya bisa membayangkan musik dulunya berupa barang mahal yang hanya bisa diakses dengan mudah oleh para bangsawan. Hal itu membuatnya sangat bersemangat, sebab hari itu musik sudah menjadi milik semua kalangan. Milik semua orang.

Setelah musik berada pada jeda, Kartini menemukan sesuatu yang begitu akrab dengannya, yang ia sering temukan pada pada perayaan-perayaan atasnya. Kartini hampir selalu bertemu dengan hal ini. Pelengkap perayaan atas dirinya; diskusi yang sepi. Seolah-olah diskusi membicarakan dirinya adalah sebuah pelengkap, agar perayaan yang dilaksanakan bisa didasarkan atas memperingati dirinya. Hal yang membuat sedih baginya adalah diskusi itu dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Hujan turun dan segalanya menjadi basah. Kini yang menghiburnya selain hujan adalah musik yang kembali dari jeda. Kartini kembali menemukan perempuan bernyanyi bebas tanpa hierarki dan hanya terbatas oleh waktu. Sebab setelahnya ada suara lain yang asing baginya, yang asing dalam perayaan-perayaan atasnya.

Kartini menemukan suara asing, ada irama yang menjelma ekspresi yang didominasi laki-laki, ada maskulinitas yang sedikit agresif, ada euforia yang tidak terkontekstualisasi, ada risiko pengaburan makna atas irama sebagai suara Kartini. Semuanya terjadi dalam bentuk dominasi momen oleh laki-laki. Bukan salah acara ini. Sebab memang dari awal Kartini gegabah menganggap itu perayaan atas dirinya dan ia memutuskan datang melihatnya. Ini memang hanya perayaan bukan untuk peringatan Kartini, tapi untuk orang-orang yang ingin dan haus akan perayaan.

Dan setelah sebagian dari acara ini menjelma irama yang asing bagi Kartini, terlihat bahwa tubuh orang-orang juga punya toleransi atas perayaan. Kerumunan menjadi lelah atas perayaan yang cukup lama. Pada irama yang berhenti, orang-orang bergegas pulang untuk istirahat dan menyusun siasat untuk menyambut lagi perayaan. Perayaan-perayaan yang lain.

Kartini hanya bisa termenung pada bagaimana ia terlalu gegabah menganggap itu perayaan atas dirinya dan keputusan datang melihatnya.

 

Catatan: Kartini yang dituliskan adalah Kartini yang imajiner, Kartini yang ada di kepala penulis.

 

Penulis: Zulkifli Muhammad (kontributor)

Editor: Cattleya

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top