Penyalin Cahaya: Cermin Kelam Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

Dok. imdb.com

Judul Film: Penyalin Cahaya
Sutradara: Wregas Bhanuteja
Penulis Skenario: Wregas Bhanuteja
Produser: Ajish Dibyo. Adi Ekatama
Rumah Produksi: Rekata Studio, Kaninga Pictures
Tahun Rilis: 2021
Durasi: 130 menit
Genre: Drama, Miateri
Pemain Utama: Shenina Cinnamon sebagai Sur, Chicco Kurniawan sebagai Amin, Jerome Kurnia sebagai Rama, Lutesha sebagai Farah, Dea Panendra sebagai Anggun
Negara Asal: Indonesia
Bahasa: Indonesia
Platform Tayang: Netflix

Film Indonesia tahun 2021, “Penyalin Cahaya”, yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja, sukses menarik perhatian publik berkat keberaniannya mengangkat isu-isu krusial dan sensitif yang sering terjadi seperti kekerasan seksual, penyalahgunaan kekuasaan, dan ketidakadilan sosial. Dengan latar belakang dari dunia perkuliahan, film ini tidak hanya membahas trauma yang dirasakan korban, tetapi juga mengupas bagaimana lingkungan sosial di sekitarnya yang turut mempengaruhi proses penyelesaian masalah.

Kisah “Penyalin Cahaya” berpusat pada tokoh utama Sur atau Suryani, yang diperankan oleh Shenina Cinnamon. Sur merupakan seorang mahasiswi berprestasi dari keluarga sederhana yang berhasil meraih beasiswa di sebuah kampus terbaik. Agar bisa menopang biaya hidup selama kuliah, ia bekerja paruh waktu sebagai penyalin fotokopi di sebuah percetakan kecil. Pada satu malam, Sur menghadiri pesta perayaan organisasi teater kampus di tempat ia menjadi anggota dengan posisi web designer. Namun, malam itu menjadi malah yang secara kontras mengubah total kehidupannya. Pagi harinya, Sur terbangun dengan kondisi di mana ia tidak jelas mengingat tentang apa yang terjadi semalam, dan yang lebih mengejutkan, foto-foto akan dirinya dalam kondisi memalukan telah tersebar luas di seluruh lingkungan kampus.

Sejak kejadian yang membingungkan itu, Sur mulai menyadari kemungkinan dirinya telah menjadi korban kekerasan seksual. Akan tetapi, perjuangannya untuk mencari keadilan justru menjadi perjalanan yang terjal. Lingkungan kampus, yang seharusnya menjadi ruang aman dan suportif, justru menunjukkan sisi gelapnya. Pihak kampus, alih-alih memberikan dukungan penuh kepada korban, lebih memprioritaskan citra dan reputasi institusi. Akibatnya, beasiswa Sur dicabut dengan alasan ia telah mencemarkan nama baik kampus. Tidak berhenti di situ saja, ia juga menghadapi tekanan dari teman-teman organisasinya yang berusaha untuk menutupi kasus tersebut demi menjaga nama baik circle mereka.

Dalam usahanya untuk mengungkap kembali kebenaran yang hampir di telan bumi, Sur mendapat bantuan dari Amin (diperankan oleh Chicco Kurniawan), rekan kerjanya di tempat fotokopi. Bersama sama, mereka berdua berusaha memperagakan kembali peristiwa malam nahas itu. Mereka memanfaatkan salinan-salinan data dari ponsel dan kamera para tamu yang hadir di pesta. Proses investigasi yang dilakukan Sur dan Amin ini secara terbuka menunjukkan bagaimana teknologi sederhana seperti mesin fotokopi, yang seringkali dianggap tidak penting, mampu memainkan peran penting dalam membongkar kejahatan besar yang sengaja ditutupi oleh kekuatan dan kekuasaan.

Wregas Bhanuteja, melalui karyanya ini, berhasil menghadirkan narasi yang sangat kuat, menyimpan emosi, dan mampu membangkitkan kesadaran sosial penonton. Menghadirkan visual dalam film ini cenderung menggunakan tone gelap, sangat sesuai dengan nuansa alur cerita yang kelam dan suram. Penggunaan simbol-simbol visual yang unik, seperti tumpukan kertas fotokopi yang berserakan, ruang kerja sempit yang terasa sesak dan gerah, dan koridor kampus yang sepi, secara efektif memperkuat nuansa kegelisahan, keterasingan, dan keputusasaan yang dirasakan oleh korban.

Kualitas akting para pemain dalam film ini pantas diberi apresiasi tinggi. Shenina Cinnamon berhasil memerankan sosok Sur dengan sangat meyakinkan dan natural. Ekspresi ketakutan, rasa bersalah, hingga keberaniannya dalam melawan ketidakadilan mampu tersampaikan dengan jelas. Chicco Kurniawan sebagai Amin juga memberikan performa yang solid, dengan meyakinkan menampilkan loyalitas dan empati yang tulus terhadap perjuangan Sur.

Salah satu poin utama dari “Penyalin Cahaya” adalah keberaniannya dalam membongkar victim blaming atau menyalahkan korban, yang sayangnya masih sering terjadi dalam kasus-kasus kekerasan seksual di dunia nyata. Film ini secara terbuka mengajak penonton untuk memahami sudut pandang korban, di mana mereka seringkali tidak mendapatkan dukungan yang layak, justru malah disalahkan, dan terpaksa menghadapi sanksi sosial yang menyakitkan. Sisi lain film ini juga yang menyoroti praktik penyalahgunaan kekuasaan di institusi pendidikan, sebuah institusi yang seharusnya menjunjung tinggi moral, etika, dan keadilan.

Selain itu, “Penyalin Cahaya” memaparkan kritik sosial yang tajam terhadap berbagai aspek, mulai dari budaya patriarki yang masih kuat, sikap senioritas dalam organisasi kampus yang sering disalahgunakan, hingga bagaimana kekuasaan sering kali digunakan sebagai tameng untuk melindungi pelaku daripada korban. Masalah kompleks ini disampaikan dengan sangat baik melalui alur cerita yang mengalir lancar dan dialog-dialog yang terasa realistis.

Secara keseluruhan, “Penyalin Cahaya” adalah sebuah karya seni yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga memberikan makna atau pelajaran yang sangat mendalam mengenai aktifitas sosial yang terjadi di sekitar kita. Film ini secara inspiratif menunjukkan bahwa keberanian untuk mengungkap kebenaran seringkali muncul dari individu kecil yang suaranya selama ini sering diabaikan, dibungkam atau diremehkan.

Melalui film ini, Wregas Bhanuteja tidak hanya berhasil menciptakan sebuah tontonan berkualitas tinggi, tetapi juga berhasil membuka ruang diskusi yang sangat penting dan mendesak mengenai isu kekerasan seksual, budaya diam yang merugikan, serta pentingnya keberpihakan yang nyata terhadap korban.

Penulis: Amanda
Editor: Mahes

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top