Oleh Sirikit Syah**
Kamis malam kemarin saya sulit tidur. Saya traumatis. Sebelum tidur, saya berkomunikasi lebih dulu dengan Ade Armando dan Sinansari Ecip, keduanya anggota
Komisi Penyiaran Indonesia, dan dengan beberapa news director dan news producer televisi swasta. Saya mungkin tertidur dalam keadaan menangis.
Pasalnya, sore dan malam hari itu di televisi ditayangkan visual kekerasan yang luar biasa sadis. Kerusuhan di Papua perihal tuntutan dihentikannya Freeport telah menjelma menjadi ladang pembunuhan dan penganiayaan. Para aparat yang betugas (polisi, TNI) menjadi bulan-bulanan massa: dikeroyok, dibacok, dinjak, ditendang, dikepruk batu. Sebuah gambar yang membuat saya nyaris histeris adalah gambar seorang
polisi yang merangkak dalam keadaan luka parah, dihujani batu-batu besar di punggung dan kepalanya, dengan kekuatan sepenuh tenaga oleh pelempar, dan gambarnya sangat jelas di televisi kita. Polisi itu berhenti merayap dengan kepala bersimbah darah.
KPI, malam itu juga, berjanji akan mengimbau stasiun televisi untuk menghentikan tayangan yang berpotensi memicu “kemarahan”, “kebencian” “keputusasaan”, dan “semangat balas dendam” itu. Saya berharap hari sesudahnya, Jumat dan seterusnya, gambar itu tidak naik tayang lagi. Rosiana Silalahi membalas SMS saya, “SCTV memutuskan tidak menayangkan visual kekerasan itu. Sedihnya, SCTV dituduh ketinggalan berita. Tapi kami yakin we do the right thing. Terimakasih, mbak.”
Apakah orang-orang seperti saya dianggap menyensor? Dianggap membatasi atau memberangus hak rakyat untuk tahu? Mari kita diskusikan apa itu hak rakyat untuk
tahu. The people have the right to know. To know what? Bila ada kerusuhan di Papua yang menewaskan 4 aparat, rakyat harus diberitahu. Sebuah berita berdurasi 1-2
menit cukup memberi informasi itu secara lengkap.
Bagaimana proses penganiayaan, pembunuhan, detik-detik atau menit-menit orang melalui masa sekarat (dying in agony) sampai detik hidup terakhir, bukan termasuk yang dimaksudkan dalam hak rakyat untuk tahu. Untuk apa rakyat tahu bagaimana kekerasan itu terjadi? Untuk merasa kasihan, sedih, marah, benci, dendam, putus asa?
Untuk apa rakyat tahu adegan rekonstruksi pembunuhan?Rekonstruksi kejahatan hanya untuk keperluan penyelidikan, bukan hal yang terlalu penting untuk publik. Juga rekonstruksi adegan perkosaan. Sebuah tayangan televisi bahkan menggambarkan bagaimana cara memelorotkan celana dengan model boneka. Untuk apa rakyat tahu itu? Untuk ditiru? Kenyataannya, beberapa kasus kejahatan susila anak-anak di bawah umur ada kaitannya dengan terpaan media yang dialaminya (video, televisi, tabloid porno).
Mengapa saya bersikap sangat keras tentang sadisme di Papua Kamis lalu? Karena sadisme itu sudah beyond limit. Di luar batas toleransi kita menerimanya. Bila kita menyaksikan sadisme di film, kita masih bisa menerima, wong itu cuma film, fiksi, imajinasi, rekaan. Yang berdarah-darah dan sekarat adalah aktor yang berakting, dan bahkan ada tipuan kamera. Sengeri apapun, kita tahu itu bukan kenyataan.
Namun menyaksikan bagaimana aparat dianiaya sampai tewas, saya –dan mungkin para penonton lain- tidak tahan. Kita tahu itu real people. Mereka bukan aktor, kesakitannya adalah nyata, darahnya sungguhan, dan tak ada tipuan kamera karena itu adalah kamera TV berita. Memiriskan.
Blood and body journalism (jurnalisme darah dan mayat) sulit kita temui di televisi Amerika dan Inggris. Di Indonesia, itulah jualan televisi kita. Kalau dulu adegan dokter menyuntik saja dipotong pas sequence alat suntik menusuk daging, sekarang gambar orang dikepruki kepalanya ditayangkan bermenit-menit. Insan pers kita sudah immune, sudah kebal. Mungkin hal itu dianggap “berita biasa”?
Sadisme sebetulnya masuk di berbagai kode etik jurnalistik, di KEWI (pasal 4), PWI (pasal 3), AJI (ayat 12), dan IJTI (Ikatan Jurnalis televisi Indonesia) (pasal 5). Bila persoalan privacy, praduga tak bersalah, kamera dan mokrofon tersembunyi, serta penyamaran, keempat Kode Etik itu saling tidak sepakat –tidak seluruhnya memuat- untuk sadisme, keempat kode etik itu menganggap penting.
Ironisnya, seringkali ini dilanggar, dan kali ini jurnalis televisi Indonesia melanggarnya. Gambar kekerasan yang dilepas bermenit-menit tanpa keterangan, tanpa narasi, berpotensi menumbuhkan emosi negatif (marah, benci, dendam, keinginan membalas dendam).
Saya menyampaikan simpati yang sedalam-dalamnya kepada keluarga besar TNI dan Polri atas gugurnya aparat dalam bertugas. Saya mengecam tindakan massa (mahasiswa?) yang sangat kejam. Saya berharap pemerintah lebih serius memecahkan persoalan Freeport.
Dan saya mengimbau jurnalis televisi untuk lebih mengasah hati nurani dan rasa kemanusiaannya.
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di harian Surabaya Post, 18 Maret 2006.
**Sirikit Syah
Waka Stikosa-AWS
Aktivis Media Watch
Looking for information and found it at this great site… » » »
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.