Himpunan Mahasiswa Papua Gelar Aksi Tolak Freeport
Semarang-
Sabtu (06/04/18) sebanyak kurang lebih 30 mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan
Mahasiswa Papua Semarang menggelar aksi terkait konflik PT.Freeport di tanah Papua.
Aksi dimulai sekitar pukul 09.00 sampai sekitar pukul 13.00 WIB. Aksi tunggal yang merupakan bentuk pembelaan dan penolakan PT.Freeport
berjalan kondusif, terutama dengan pengamanan dari pihak kepolisian setempat
yang mengawasi jalannya aksi.
Sabtu (06/04/18) sebanyak kurang lebih 30 mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan
Mahasiswa Papua Semarang menggelar aksi terkait konflik PT.Freeport di tanah Papua.
Aksi dimulai sekitar pukul 09.00 sampai sekitar pukul 13.00 WIB. Aksi tunggal yang merupakan bentuk pembelaan dan penolakan PT.Freeport
berjalan kondusif, terutama dengan pengamanan dari pihak kepolisian setempat
yang mengawasi jalannya aksi.
Ney
Sobolim, selaku koordinator aksi, mengatakan aksi yang di rencanakan pada kamis
(05/04/18) ini mengusung tema tutup Freeport dan berikan hak dan penentuan
nasib sendiri sebagai solusi demokrasi. Puluhan mahasiswa yang berasal dari
berbagai perguruan tinggi di Semarang dan sekitarnya ini, menyuarakan hak-hak
rakyat terkait PT.Freeport yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan di
tanah Papua.
Sobolim, selaku koordinator aksi, mengatakan aksi yang di rencanakan pada kamis
(05/04/18) ini mengusung tema tutup Freeport dan berikan hak dan penentuan
nasib sendiri sebagai solusi demokrasi. Puluhan mahasiswa yang berasal dari
berbagai perguruan tinggi di Semarang dan sekitarnya ini, menyuarakan hak-hak
rakyat terkait PT.Freeport yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan di
tanah Papua.
Ney
menuturkan bahwa pengambilan suara pendapat rakyat dirasa belum menyentuh
rakyat Papua secara keseluruhan. “Penentuan pendapat rakyat dirasa tidak adil.
Pada saat itu hanya sekitar 1.200 orang
yang memberikan hak suara terkait PT.Freport dan hanya
perwakilan-perwakilan saja. Padahal berdasarkan perjanjian internasional yang
digelar di New York pada tahun 1993 dan Roma pada tahun yang sama telah
disepakati bahwa one man one vote satu orang satu suara. Tetapi pada pelaksanaannya tidak sama. Dari sekitar 18.000 penduduk Papua hanya
1.200 orang yang memberikan hak suara,”
tutur Ney.
menuturkan bahwa pengambilan suara pendapat rakyat dirasa belum menyentuh
rakyat Papua secara keseluruhan. “Penentuan pendapat rakyat dirasa tidak adil.
Pada saat itu hanya sekitar 1.200 orang
yang memberikan hak suara terkait PT.Freport dan hanya
perwakilan-perwakilan saja. Padahal berdasarkan perjanjian internasional yang
digelar di New York pada tahun 1993 dan Roma pada tahun yang sama telah
disepakati bahwa one man one vote satu orang satu suara. Tetapi pada pelaksanaannya tidak sama. Dari sekitar 18.000 penduduk Papua hanya
1.200 orang yang memberikan hak suara,”
tutur Ney.
Ney mengatakan aksi yang serupa juga dilakukan di
bagian daerah lain di seluruh Indonesia
dengan tujuan masing–masing
yaitu mengatasnamakan kesejahteraan dan hak–hak warga Papua.
Begitu pula jajaran mahasiswa asal Papua yang beraksi menuntut agar PT.Freeport
ditutup dan pemerintah segera memberikan hak – hak secara demokratis terkait
penentuan nasib warga Papua sendiri.
bagian daerah lain di seluruh Indonesia
dengan tujuan masing–masing
yaitu mengatasnamakan kesejahteraan dan hak–hak warga Papua.
Begitu pula jajaran mahasiswa asal Papua yang beraksi menuntut agar PT.Freeport
ditutup dan pemerintah segera memberikan hak – hak secara demokratis terkait
penentuan nasib warga Papua sendiri.
Terlepas
dari itu, aksi ini juga meminta kepada pemerintah agar menghentikan pengiriman
militer ke tanah Papua dan menghentikan kekerasan. Selain itu Ney Sobolim
mengajak seluruh rakyat indonesia untuk menyikapi pemerintah Indoensia dan
bergabung untuk menggugat serta keluar dari pikiran penguasa. Meneggakan hak
asasi manusia dan kita sebagai manusia tidak boleh ada penindasan satu sama
lain. “Ini bukan masalah agama ataupun ras tapi bagaimana
sistem yang berlaku,” ucap Ney.
dari itu, aksi ini juga meminta kepada pemerintah agar menghentikan pengiriman
militer ke tanah Papua dan menghentikan kekerasan. Selain itu Ney Sobolim
mengajak seluruh rakyat indonesia untuk menyikapi pemerintah Indoensia dan
bergabung untuk menggugat serta keluar dari pikiran penguasa. Meneggakan hak
asasi manusia dan kita sebagai manusia tidak boleh ada penindasan satu sama
lain. “Ini bukan masalah agama ataupun ras tapi bagaimana
sistem yang berlaku,” ucap Ney.
Reporter: Tyas
Editor: Dwi
LPM Hayamwuruk
Refleksi Budaya dan Intelektualitas Mahasiswa