[OPINI] Sampah Jurnalistik Masa Kini

Ilustrasi: Azril

Miris memang, jika melihat kondisi jurnalistik di ibu pertiwi,

Berita serta artikel sampah bertebaran di sana – sini,

Bukan lagi informasi yang berarti,

Melainkan kehidupan “public figure” serta berbagai macam basa-basi,

Tak memedulikan isi,

Melainkan berapa jumlah click yang dapat diakumulasi,

Tidak lagi mementingkan keaktualan,

Tetapi semakin menjual kesedihan,

Demi banyaknya tautan yang ditekan,

Miris bukan? Keadaan jurnalistik pada masa kini.

Ya, tak bisa dipungkiri media bisa hidup memang karena banyaknya jumlah interest dari pembaca, apalagi di era yang serba online pada saat ini. Oleh karena itu, media berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian dari banyak orang. Banyak cara yang dilakukan. Ada yang bertahan sesuai dengan etika jurnalistik, ada juga yang melenceng dari etika, demi menarik banyaknya jumlah click.

Kalau kita mau menilik lebih lanjut dan berkaca dari negara lain, jurnalisme tidak menjual kesedihan sebagai bahan beritanya. Sebagai contohnya dapat dilihat dari tulisan media Jepang NHK yang saat terjadi bencana tsunami pada tahun 2011 lalu, media lebih menyoroti detail runtutan kejadian, perkembangan bantuan dan kondisi, dan juga kebutuhan penduduk yang terdampak.

Sedangkan, jika kita menilik dari peristiwa jatuhnya pesawat SJ 182, uraian rangkaian kejadian dan upaya pencarian bukan hasil liputan sejumlah media. Alih-alih menyoroti upaya pencarian itu, media malah menyoroti hal-hal yang bukan pokok persoalan, misalnya firasat dari keluarga korban dan juga baju yang lecek. Seakan menjual kesedihan dari keluarga korban, media saat ini tak tahu malu demi adanya sebuah konten dan juga jumlah click yang masuk.

Tak hanya itu, fenomena “artis tv” menjadi bahan pemberitaan pun nampaknya kini menjadi tren bagi dunia jurnalistik di Indonesia. Seakan tak ada bahan berita lagi, kehidupan pribadi para artis pun kini mulai dikuras dan “dianggap penting” untuk diketahui oleh masyarakat luas. Kalau si artis itu disuruh metik rambutan, emang rakyat Indonesia harus apa? Berbondong-bondong beliin “balsam” gitu atau gimana? Apa urgensinya gitu, loh.

Oke oke… mari kita berhenti mengkritik media-media raksasa, daripada Hayamwuruk diboikot, ya, kan? Yak, sip lanjut.

Tak puas dengan dunia para mortal, jurnalis kini mulai memasuki rancah dunia gaib. Ya, dunia para orang mati. Tak percaya? Seperti dalam tulisan Remotivi, demi banyaknya perhatian dari para pembaca, media saat ini tak lagi memedulikan soal isi, validitas, dan juga faktualitas dari sebuah tulisan. Bisa dilihat melalui tautan tersebut, tulisan diacak-acak dengan seenak jidat dan diambil hanya pada punchline-nya saja.

Jurnalisme di Indonesia saat ini terkesan masa bodoh dengan kode etik jurnalistik (KEJ), atau mungkin mereka tidak tahu (KEJ), ya? Ups.

Berita-berita yang tersebar di masyarakat kita saat ini terkesan tak peduli lagi mengenai urgensi, isi, faktualitas, validitas, dan juga privasi. Yang terpenting hanya click, click, dan click. Oleh karena itu pula, banyak bertebaran berita atau artikel sampah dan juga hoaks di kalangan masyarakat.

Media yang dahulu menjadi alat penyiaran sebuah informasi, kini menjadi lelucon dan lahan sampah saja. Media yang dahulu menyiarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia, kini berubah menjadi tempat sampah yang isinya basa-basi dan juga berita-berita sampah yang tak berbobot. Bagaimana masyarakat bisa berkembang, jika sumber informasinya saja sudah busuk?

Penulis: Yuan

Editor: Airell

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top