Krisis Demokrasi di Tahun Vivere Pericoloso

Krisis Demokrasi di Tahun Vivere Pericoloso
Krisis Demokrasi di Tahun Vivere Pericoloso
Dok. Hayamwuruk/Ilus. Albertus

Tahun Vivere Pericoloso adalah istilah yang dikenal di Indonesia pada tahun 1960an, pada masa rezim Sukarno, yang dikenal karena menjadi judul pidato 17 Agustus 1964. Pidato ini kemudian dikenal dan disingkat menjadi Tavip. Tapi apa sebenarnya arti “Tahun Vivere Pericoloso” itu? apa kaitannya dengan krisis demokrasi yang terjadi di negara ini?

Vivere Pericoloso merupakan istilah dalam bahasa Italia yang berarti “hidup yang penuh bahaya” atau “hidup yang menyerempet bahaya”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi politik Indonesia dan Internasional saat itu yang mana banyak sekali ancaman dan bahaya yang mengintai Indonesia. Mulai dari meningkatnya tensi Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, intervensi Amerika dalam Perang Vietnam, munculnya sengketa politik dengan Malaysia dan menegangnya konflik antara Partai Komunis Indonesia dengan Angkatan Darat.

Hari ini dapat dilihat bahwa kondisi dunia pada tahun 2024 tidak jauh berbeda dengan era 60’an. Dalam geopolitik internasional hari ini terjadi perang dan genosida di Jalur Gaza, Perang Rusia-Ukraina yang belum selesai, Perang Saudara di Myanmar, Konflik di Laut Merah antara Houthi Yaman dengan negara-negara Barat Pro-Israel, hingga memanasnya hubungan antar dua Korea yang diikuti dengan perlombaan senjata di Asia Timur.

Dari segi politik internasional, tahun 2024 ini merupakan tahun yang penting, mengingat ada lebih dari 50 negara di dunia yang menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu), baik pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif. Negara-negara yang menyelenggarakan pemilihan umum pada tahun ini diantaranya ada Indonesia, Rusia, Amerika Serikat, India, Brazil, Portugal, Taiwan, Iran hingga Korea Selatan. 

Tahun ini menjadi bersejarah dan penting untuk disimak karena pemilihan presiden dan legislatif di berbagai negara ini memiliki implikasi yang sangat besar terhadap hak asasi manusia, ekonomi, hubungan internasional, dan prospek perdamaian di dunia yang penuh gejolak. Oleh karena itulah, tahun ini dapat dikatakan sebagai tahun Vivere Pericoloso atau tahun hidup yang menyerempet bahaya. Di luar negeri terjadi pemilihan umum di berbagai negara besar dunia dan juga terjadi berbagai konflik bersenjata yang menjadikan dunia ini penuh gejolak. Sedangkan dari dalam negeri, muncul ancaman akan naiknya seorang pelanggar hak asasi manusia ke kursi kepresidenan, upayanya dalam meraih kursi kekuasaan didukung oleh presiden dan segenap institusi negara yang ada.

Bangsa kita hari ini sedang menyerempet bahaya, baik dari dalam maupun luar negeri, oleh karena itu krisis demokrasi yang terjadi saat ini perlu disikapi secara serius oleh mereka yang masih berpikir logis dan berakal sehat.

Ikut Campur Joko Widodo dalam Pemilihan Calon Presiden

Demokrasi belum mati, tapi sedang dalam krisis. Joko Widodo selaku presiden, seorang kepala negara dan kepala pemerintahan telah nyata melakukan penyelewengan kekuasaan dengan memperalat institusi negara dan aparatur kekuasaan untuk mendukung dan memenangkan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kritikan dan desakan mengalir deras dari kalangan akademisi perguruan tinggi di seluruh Indonesia, akan tetapi belum ada tindakan nyata dari presiden untuk menanggapi kritikan tersebut.

Hal ini tentu semakin memperkeruh kondisi politik nasional, disaat banyak pihak merasa kecewa atas sikap presiden, perilaku pelanggaran hukum, konstitusi dan etika terus berlanjut. Seolah suara penolakan itu hanya bagaikan angin lalu.

Melihat kondisi perpolitikan internasional yang sedang penuh gejolak, maka pemilihan umum 2024 di Indonesia ini sangat rawan untuk diintervensi hasilnya oleh pihak-pihak asing, maka amat disayangkan jika pemilu tahun ini justru dibajak oleh kepentingan presiden dan kroninya. Kegagalan menyelenggarakan pemilu yang kondusif, adil dan stabil dapat membahayakan keselamatan dan integrasi bangsa. Oleh karena itu, sikap presiden beserta kroninya yang melanggar hukum, konstitusi dan etika itu harus dihentikan dan jika perlu presiden dapat dimakzulkan demi menyelamatkan bangsa.

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Joko Widodo hari ini sudah pernah terjadi di masa lalu dan sejarah sedang terulang kembali. Pada 1959, Presiden Sukarno membubarkan Majelis Konstituante. Setelah pembubaran Majelis Konstituante hasil pemilu tahun 1955, Sukarno malah menegakkan kembali sistem pemerintahan dan negara yang berpusat pada dirinya dengan dalih “keadaan darurat”. Sukarno melakukan semua ini dengan alasan bahwa dia harus memimpin langsung “revolusi Indonesia untuk mewujudkan Indonesia adil dan makmur” yang ia anggap belum selesai. Selain tiga partai politik utama (kecuali Masyumi yang sudah dibubarkan), tindakan presiden juga didukung oleh militer.

Hari ini, Joko Widodo memberikan dukungan kepada anaknya, Gibran Rakabuming, untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto. Namun, tindakan ini menuai kontroversi setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi secara resmi menyatakan sebagai pelanggaran etika. Langkah-langkah Joko Widodo dalam mendukung anaknya menjadi semakin kontroversial ketika ia menyatakan bahwa presiden dapat ikut berkampanye, meskipun aturan negara menentukan bahwa hal tersebut hanya dapat dilakukan jika presiden mengambil cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara.

Menggali lebih dalam, dapat dipahami bahwa upaya Joko Widodo turut campur dalam pemilihan ini bertujuan untuk menjamin kelangsungan pembangunan dan proyek ambisiusnya. Beberapa retorika yang berkembang menyebutkan bahwa jika pembangunan tidak dilanjutkan oleh penerus Joko Widodo, dalam hal ini Prabowo-Gibran, maka proyek-proyek pembangunan infrastruktur seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) bisa terancam untuk dihentikan.

Kedua tokoh, Sukarno dan Joko Widodo, memiliki persamaan dalam cita-cita dan tujuan kepemimpinannya. Sukarno bermimpi tentang “revolusi”, sedangkan Joko Widodo memiliki mimpi pada “pembangunan.” 

Bagi dua tokoh itu, “revolusi” dan “pembangunan” dianggap belum selesai kecuali jika dipimpin oleh diri mereka sendiri. Sukarno menciptakan konsep “demokrasi terpimpin”, sedangkan Joko Widodo berusaha memastikan penerusnya melanjutkan ambisi memindahkan ibukota dari Jakarta ke IKN di Pulau Kalimantan. Meskipun pernah muncul isu bahwa Joko Widodo mencoba memperpanjang masa kekuasaannya menjadi tiga periode, isu tersebut segera disambut penolakan berbagai pihak  dan menemui kegagalan.

Sejarah mencatat bahwa kedua tokoh ini sama-sama memiliki rekam jejak politik yang anti kritik. Sukarno membubarkan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), dua kekuatan oposisi utama pada masanya, sementara Joko Widodo melakukan tindakan serupa terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Keduanya menganggap kelompok-kelompok tersebut sebagai ancaman terhadap negara dan visi mereka, semuanya dibubarkan tanpa melalui proses hukum di pengadilan.

Kekeliruan Akademisi

Sejak 2014, pada masa-masa naiknya kekuatan konservatisme Islam yang dimotori oleh Front Pembela Islam, banyak akademisi dan pengamat politik menilai bahwa kubu Islam ”radikal” dan konservatif sebagai ancaman terhadap demokrasi di Indonesia. Namun hari ini, semua pernyataan-pernyataan tersebut terbantahkan dengan segala kebobrokan pemilu tahun ini. Ancaman nyata demokrasi justru datang dari pusat kekuasaan, satu bentuk aliansi antara dinasti politik dan oligarki, satu bentuk dinasti politik dari pusat kebudayaan Jawa. Usaha-usaha yang mereka lakukan akan melempar negara ini kembali pada masa Amangkurat. 

Para akademisi perlu melakukan “pertobatan ilmiah”, mengakui “dosa-dosa” mereka dan menudingkan segala macam penolakan atas akrobat politik presiden yang sewenang-wenang.

Kita perlu ingat betul, dalam masyarakat dan negara yang dikelola oleh kelas borjuis atau kapitalis, maka segala bentuk kekuasaan dan kekuatan akan digunakan untuk melayani kelas borjuis, alih-alih melayani mayoritas masyarakat. Apa yang dilakukan presiden hari ini adalah bukti nyata pernyataan saya sebelumnya, segala bentuk ikut campur pada jalannya pemilu adalah usaha perpanjangan tangan kuasa oligarki dan dinasti politik yang ada disekitar presiden.

Bergeraklah Mahasiswa!

Di tahun Vivere Pericoloso ini, gerakan mahasiswa perlu segera mengambil sikap yang konkrit dan aksi yang nyata. Gerakan mahasiswa tidak perlu takut untuk dicap ditunggangi oleh pihak tertentu, juga jangan takut dianggap sebagai aksi bayaran, mungkin untuk sementara waktu nama gerakan mahasiswa akan dianggap kotor akan tetapi angin sejarah-lah yang akan membersihkan nama baik itu.

Berbagai perguruan tinggi di penjuru Indonesia, termasuk Universitas Diponegoro, kampus kita tercinta, telah mengeluarkan pernyataan sikap yang berisi kritik dan desakan kepada rezim penguasa untuk menghentikan upaya-upaya licik dan dzalim untuk memenangkan kuasa nepotisme dan korup. Pernyataan sikap para guru besar ini adalah salah satu bentuk “restu” bagi mahasiswa untuk mengambil langkah yang lebih besar untuk menyikapi permasalahan ini.

Penulis: Muhammad Farhan Prabulaksono

Referensi

Lawless, Jill. Over 50 countries go to the polls in 2024. The year will test even the most robust democracies. 10 Januari 2024. https://apnews.com/article/global-elections-2024-preview-cb77b0940964c5c95a9affc8ebb6f0b7 (diakses Februari 7, 2024).
Mudzakkir, Amin. Krisis Demokrasi Kita. 27 Januari 2024. https://alif.id/read/amin-mudzakkir/krisis-demokrasi-kita-b248901p/ (diakses Februari 7, 2024).
Sukarno. Dibawah Bendera Revolusi Jilid 2. Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1965.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top