Pandangan Tabu Aborsi, Nasib Perempuan Masih Dinomorduakan

Ilustrasi/Imam

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) mencatat 26.363 kasus kekerasan yang 11.471 di antaranya merupakan kekerasan seksual berdasarkan laporan kejadian sepanjang tahun 2024 lalu. Menilik jumlah kejadian yang tercatat di tahun 2024 oleh Kemenpppa, sangat memprihatinkan karena Indonesia masih belum bisa menciptakan ruang aman bagi rakyatnya, terlebih untuk perempuan dan anak-anak yang rentan menjadi korban kekerasan seksual.

Dilansir dari Detik.com, lebih dari delapan ribu anak merupakan korban kekerasan seksual. Hal ini mengungkapkan bahwa masyarakat gagal menciptakan ruang tumbuh-kembang anak yang aman dan nyaman. Tak hanya sampai di situ, kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada perempuan dewasa juga tengah menjadi sorotan karena jumlahnya terus bertambah. Naasnya lagi, kasus kekerasan seksual berakhir dengan kehamilan juga kerap terjadi dan masih jauh dari perhatian masyarakat hingga pemerintah.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa 103 perempuan korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) berakhir dengan kehamilan sejak tahun 2018 hingga 2023 dan hampir seluruhnya tidak mendapatkan akses aborsi aman. Hal ini menyebabkan para korban menghadapi masa-masa sulit karena dihadapkan dengan pilihan yang berisiko. 

Korban tidak mendapatkan wewenang atas tubuh dan nasibnya sendiri ketika menjadi korban kekerasan seksual, terlebih praktik aborsi aman yang belum dilaksanakan dengan tegas hingga kini. Situasi ini akan lebih buruk ketika mereka memilih untuk tetap melakukan aborsi, namun mengaksesnya secara ilegal. Satu kasus tercatat pada tahun 2018, seorang anak perempuan berusia 15 tahun di Jambi yang menjadi korban perkosaan oleh kakak kandungnya berakhir dikriminalisasi karena melakukan aborsi ilegal akibat perkosaan tersebut. 

Jika dikaji lebih jauh, kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia tampak masih belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Lembaga-lembaga bantuan hukum susah-payah merangkak memperjuangkan keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual, namun pemerintah masih belum melayangkan keputusan yang bijak dan suportif. Kasus-kasus aborsi yang dilakukan oleh korban kekerasan seksual berakhir pada dikriminalisasikannya korban, hal tersebut justru menambah siksaan dan penderitaan yang dialami. Jika diperhatikan, perempuan terus-menerus menjadi korban yang tak dianggap sebagai manusia berarti.

Eksistensi dan Kemunduran dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 

Pada Jumat, 26 Juli 2024 lalu, mantan Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) meresmikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang berfungsi sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 dan mengatur hal-hal terkait kesehatan. Salah satu yang ditekankan pada PP tersebut adalah perizinan aborsi bagi korban perkosaan. 

Seperti layaknya hal di dunia ini, banyak kekurangan yang masih perlu dibenahi terkait implementasi PP 28/2024 tersebut. Pada masa PP Nomor 61 Tahun 2014, kepolisian diberikan tugas untuk mendukung penyediaan kontrasepsi darurat dan mengeluarkan surat keterangan bagi korban kekerasan seksual yang ingin mengakses aborsi aman. Namun hingga saat ini, di tahun 2025, kepolisian tidak kunjung menunjukkan respons positif terkait kebutuhan tersebut. 

Melihat situasi tersebut, PP 28/2024 tampaknya belum ditanggapi secara serius oleh pihak-pihak yang sudah dilibatkan, termasuk kepolisian. Bahkan, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan bahwa belum ada komitmen nasional di kepolisian untuk merilis aturan internal terkait pemberian kontrasepsi darurat dan menerbitkan surat keterangan untuk mengakses aborsi aman. 

Pemberian wewenang kepada kepolisian untuk merilis surat keterangan resmi korban perkosaan yang dapat mengakses aborsi aman nyatanya merupakan sebuah kemunduran. Hal itu terkait dengan aturan sebelumnya yang memberikan wewenang tersebut kepada tenaga medis dan psikolog klinis. 

Jika diperhatikan lebih jauh, kepercayaan masyarakat terhadap pihak berwenang atau kepolisian, tentu mengalami penurunan. Apalagi kasus-kasus yang mencuat ke permukaan menunjukkan bahwa anggota-anggota kepolisian mampu melakukan rangkaian kejahatan yang tidak bisa dibayangkan oleh masyarakat. Hal tersebut tentu mengurangi kepercayaan para perempuan korban perkosaan, bahkan meningkatkan perasaan tertekan karena rupanya jalan satu-satunya untuk mengakses aborsi aman adalah menuju ke kepolisian.

Persoalan kedua adalah pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dianggap belum responsif terhadap PP 28/2024 ini. Kemenkes belum memutuskan layanan mana yang dapat memberikan aborsi aman. Dilansir dari Tempo.co, pada diskusi publik yang dilaksanakan oleh ICJR, Kemenkes mengatakan bahwa pedoman, kurikulum, dan pelatihan layanan aborsi aman sudah disusun, namun hingga kini belum ada titik terang tentang hal tersebut.

Perubahan aturan terkait fasilitas kesehatan (faskes) yang mampu memberikan akses aborsi aman juga termasuk ke dalam hal yang memberatkan korban. Pasalnya, pada Pasal 119 ayat (1) PP 28/2024 menyatakan bahwa layanan aborsi aman hanya dapat dilakukan oleh faskes tingkat lanjut yang ditentukan oleh Menteri. Peraturan ini berbeda dengan Pasal 13 Permenkes 3/2016 yang mengatur layanan aborsi aman dapat dilakukan oleh faskes sampai tingkat Puskesmas. Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya perubahan ini, faskes tingkat lanjut yang berwenang untuk memberikan akses aborsi aman terbatas pada rumah sakit, balai kesehatan, klinik utama, dan praktik mandiri.

Entah apa yang menjadi pertimbangan pemerintah terkait PP Nomor 28 Tahun 2024 tersebut, yang jelas, hal-hal yang telah ditawarkan dalam peraturan tersebut masih membebani perempuan korban kekerasan seksual. Peraturan tersebut masih perlu dikaji ulang, khususnya alasan di balik berlakunya PP 28/2024 pada tahun 2026 nanti. 

Tampaknya, kasus kekerasan seksual yang berakhir dengan kehamilan masih belum menjadi urgensi dan belum menarik perhatian pemerintah. Aturan yang membebani dan membatasi, belum lagi norma dan sanksi yang harus dihadapi oleh korban tampaknya belum cukup mengembungkan penderitaan mereka. Kasus-kasus yang terus berlanjut juga masih menggiring opini masyarakat untuk menghakimi para korban di setiap celah yang dipaparkan oleh media. Hal-hal tersebut menjadi bukti bahwa nasib perempuan masih dinomorduakan.

Tabunya Praktik Aborsi yang Memberatkan Perempuan

Aborsi atau tindakan menggugurkan kehamilan yang tidak diinginkan masih menjadi salah satu topik yang dianggap sensitif oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Tabu, kata mereka. Sebuah kata yang merepresentasikan sesuatu yang dilarang, suatu pantangan, suatu yang tidak boleh dilakukan, disentuh, dan dilihat. 

Dengan kesadaran penuh, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ikatan erat dengan nilai-nilai religius keagamaan. Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa perizinan dan pelaksanaan aborsi amat dipersulit, bahkan ditentang. Wajar apabila pelaksanaan PP 28/2024 masih sulit dicerna bagaimana cara kerjanya bagi korban perkosaan berakibat kehamilan.

Menengok sebentar ke negara-negara di luar Indonesia, seperti Rusia, Prancis, dan Singapura. Keputusan melegalkan aborsi sudah dilaksanakan lebih cepat dan terbuka untuk setiap perempuan yang mendapatkan kehamilan tidak diinginkan, tentu saja dengan aturan-aturan khusus seperti maksimal usia kehamilan, perizinan orang tua bagi anak usia 16 tahun ke bawah, hingga kewajiban menjalani konseling. Hal tersebut merupakan bentuk kecil dari perlindungan hak-hak bagi perempuan.

Belajar sedikit dari pengalaman perempuan yang dibagikan melalui media sosial. Pandangan-pandangan negatif terhadap perempuan yang menjalani kehamilan tidak diinginkan nyatanya masih besar, apalagi mereka yang memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Setiap kritikan terhadap mereka berhasil memposisikan diri mereka sebagai korban yang menderita berlapis-lapis. Diperkosa, tidak mendapat bantuan hukum yang efektif, masalah perekonomian yang menyebabkan sulitnya akses ke layanan kesehatan, hingga cacian dan makian yang diterima bertubi-tubi. Sekali lagi, ruang aman bagi perempuan masih dipertanyakan kejelasannya.

Berdiskusi terkait aborsi, telah terbagi dua kubu yang bertolak-belakang dalam menanggapi praktik aborsi. Kubu pertama, biasanya disebut pro-choice, adalah mereka yang setuju bahwa aborsi harus dilegalkan. Mereka beralasan bahwa perempuan berhak menentukan sendiri keputusan untuk mempertahankan kandungannya, pertimbangan terhadap usia yang belum mencukupi, status belum menikah, hingga keadaan ekonomi yang belum stabil. Kubu kedua, mereka yang disebut pro-life, beralasan bahwa menggugurkan kandungan sama dengan melakukan pembunuhan, mengambil hak hidup calon bayi, dan larangan agama. 

Perempuan, di sisi lain, menghadapi hal-hal yang membingungkan. Norma-norma yang dilanggengkan masyarakat pun berdampak begitu bergelombang. Beberapa dari mereka beranggapan norma-norma tersebut menyelamatkan mereka dari perilaku menyeleweng dan serampangan, bagi yang lain memberatkan karena ternyata memperoleh keadilan perlu memenuhi ragam persyaratan. 

Selain praktik aborsi, menghapus pentabuan terhadap alat kontrasepsi juga perlu dilakukan, sehingga setiap masyarakat dapat menjalani hidupnya tanpa merasa dihakimi dan diintimidasi hanya karena kegiatan seksual mereka. Edukasi terkait alat kontrasepsi, alat reproduksi, dan kegiatan seksual perlu dilakukan agar masyarakat menjadi lebih berpandangan terbuka terkait masalah tersebut. Selain itu, edukasi terkait kekerasan seksual juga perlu dilakukan guna meningkatkan perlindungan dan kepedulian terhadap sesama, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak.

Di luar huru-hara legalnya aborsi yang belum tampak kejelasannya, masyarakat dan pemerintah memiliki tugas sederhana yang nyatanya sulit mereka capai. Menciptakan ruang aman bagi perempuan dan anak-anak haruslah menjadi misi penting bagi setiap lapisan masyarakat di Indonesia. Melihat kembali kasus-kasus kekerasan yang jumlahnya mencapai puluhan ribu, misi besar ini harus segera diatasi apapun usahanya.

Tidak dapat dipungkiri, resminya PP 28/2024 merupakan keputusan yang membuka sedikit kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan kendali atas tubuhnya walaupun masih terbatas pada korban kekerasan seksual saja. Mungkin, pemerintah Indonesia dapat mulai belajar dan mengkaji lebih jauh dampak, baik positif dan negatifnya, dari aborsi aman, sehingga keputusan untuk melegalkan aborsi dapat dipertimbangkan. 

Terlepas dari nama baik yang harus dijaga, ini adalah tentang hak-hak perempuan yang terus dirampas oleh negara.

Penulis: Marricy

Editor: Alena

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top