
Perjudian telah dilempar oleh pengurus federasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), layaknya Julius Caesar saat melintasi Rubicon untuk memasuki Italia dan memulai perang saudara panjang melawan Pompey dan para Optimates. Frasa Alea Iacta Est rasanya sangat cocok bagi PSSI saat ini yang mengacu pada titik tanpa kembali yang jelas.
Riuh perdebatan netizen yang menguat pasca kegagalan coach Shin Tae-Yong (STY) di ajang Asean Mitsubishi Electric Cup (AMEC) menjadi kenyataan dengan pengumuman resmi berisi pemecatan dari federasi pada Senin (6/1/2025). Hal ini sungguh menimbulkan pertanyaan dari masyarakat luas, apakah keputusan federasi di tengah perjalanan Tim Nasional (timnas) senior dalam mengarungi kualifikasi ronde 3 piala dunia 2026 merupakan keputusan yang tepat atau ini merupakan perjudian dari federasi karena kegagalan dalam ajang AMEC 2024?
Aneh rasanya bila menilik apa yang dikatakan oleh Presiden Federasi, Erick Tohir. Ia mengatakan alasan STY dipecat PSSI di antaranya adalah karena masalah komunikasi, strategi, dan kepemimpinan di Timnas Indonesia. Padahal selama hampir empat tahun mengasuh Timnas Indonesia, pelatih berusia 54 tahun itu mampu membawa perkembangan kepada tim dengan menduduki posisi runner-up Piala Asean Football Federation (AFF) 2020, kemudian medali perunggu di South East Asian Games 2021. Berikutnya dia kembali membawa Indonesia sebagai runner-up Piala AFF U-23 2023, dan mampu membawa tim ke fase grup Piala Asia U-20 2023.
STY juga memimpin Indonesia mengamankan posisi semifinalis Piala Asia U-23 2024, dan kemudian lolos ke Piala Asia 2027 tanpa kualifikasi. Terakhir, skuad asuhannya yang diperkuat sederet pemain naturalisasi mampu lolos ke putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026. Salah satu yang fenomenal tentunya keberhasilan membawa Timnas Indonesia dari titik terendah saat awal menjabat sebagai pelatih kepala Indonesia pada September 2021. Saat itu, Indonesia masih berada di peringkat ke-175 dan kemudian melejit 42 anak tangga ke 130-an FIFA.
Pelatih asal Korea Selatan itu tercatat sudah memimpin pertandingan Timnas Indonesia senior sebanyak 57 kali dan bertanggung jawab untuk pertandingan timnas U-23 sebanyak 21 kali. STY juga menangani pertandingan timnas U-20 sebanyak 14 kali dan timnas U-19 sebanyak 18 kali.
Dengan sederet prestasi yang sudah ditorehkan, ditambah target yang dibebankan sudah berhasil dilalui, tak heran apabila Alea Iacta Est yang berarti, “dadu telah dilemparkan” kita sematkan kepada PSSI. Bukannya berkaca pada dua kontestan lain seperti Australia dan Arab Saudi yang mengganti pelatih kepala pada pertengahan kualifikasi dan berujung kegagalan dengan nihilnya kemenangan yang diraih, PSSI malah berjudi dengan keputusannya memecat Shin Tae-Yong di tengah kualifikasi berlangsung.
Rasanya jika kita bisa memilih di antara memecat coach STY atau jajaran pengurus PSSI, kita tentu sepakat lebih memilih memecat dan merombak para pengurus PSSI. Keputusan yang diambil dengan pemecatan Shin Tae-Yong membuktikan bahwa para pengurus yang hanya duduk manis berbaju rapi tanpa paham apa itu sepak bola, tidak pernah mengerti mereka yang turun di lapangan, membina pemain, hingga melatih pemain dari dasar.
Geli rasanya mendengar pernyataan Ketua Umum Federasi yang berbicara di awak media bahwa sejatinya rencana pemecatan Shin Tae-Yong akan dilakukan sebelum pertandingan melawan China, namun dengan dalih persiapan yang mepet rencana itu dibatalkan. Hal ini dibiarkan hingga turnamen AMEC digelar dengan hasil kegagalan membawa skuad muda garuda melangkah hingga semifinal, hal ini tentu seakan mempertegas bahwa PSSI sengaja menjebak STY agar membawa skuad muda dengan harapan akan gagal. Padahal permintaan membawa pemain muda merupakan permintaan dari federasi sendiri.
Gagalnya Indonesia di turnamen AMEC seharusnya menjadi refleksi bagi federasi di mana pemain timnas yang diturunkan merupakan jebolan liga 1 Indonesia, bukannya malah memecat pelatih yang harus bertanggung jawab atas buruknya sistem pembinaan dan persepakbolaan nasional.
Bila berkaca pada negara besar dalam industri sepak bola, macam Belgia, Portugal, atau bahkan Belanda sekalipun, mereka tidak pernah menjuarai piala dunia tapi liga mereka tetap yang terbaik di dunia dengan melahirkan banyak bintang di tiap generasinya. Lalu menjadi pertanyaan apakah ukuran sepak bola itu selalu terpacu pada trofi? Jelas tidak. Untuk mengukur sejauh mana kemampuan suatu negara jelas dari ranking FIFA yang diraih oleh suatu negara.
Dadu yang sudah dilempar ini akan menjadi perjudian, pemecatan STY jelas bukan solusi untuk membantu Indonesia lolos menuju piala dunia. Namun, perlu adanya pembinaan bibit muda bangsa dan pembenahan organisasi mulai dari tingkat terendah seperti Asprov, Liga, jajaran pengurus seperti exco, dan sebagainya jauh lebih penting dan mendesak dibanding memecat pelatih kepala timnas senior.
Pengurus PSSI harus bertanggung jawab bilamana timnas gagal mencapai target dengan pelatih baru nanti. Kita bisa melihat bahwa mereka (pengurus) tidak paham dan peduli akan perkembangan sepak bola nasional. Mereka hanya peduli dan paham pada pencitraan, serta gengsi demi kepentingan populis semata tanpa melihat sudah sejauh mana perkembangan timnas saat ini.
Akhir kata, saya hanya bisa berharap PSSI benar-benar bisa berkaca dan berpandangan visioner guna mendukung kemajuan timnas. Bukannya malah kembali menghambat progres yang dimiliki oleh timnas untuk terus terbang tinggi.
Penulis: Rafi
Editor: Marricy