
Film remake karya Falcon Pictures, yakni A Business Proposal sepi penonton pada hari pertama usai banyak kontroversi yang terjadi. Hal itu terjadi karena netizen menerapkan cancel culture. Apa itu cancel culture? Apakah perlu untuk diterapkan di Indonesia?
Dunia perfilman Indonesia belakangan ini dihebohkan dengan kasus cancel culture yang dilakukan oleh penggemar drama korea terhadap remake A Business Proposal. Hal ini terjadi usai Abidzar, pemeran utama dalam film, dianggap menyinggung penggemar drama Korea dan menyebut mereka dengan sebutan “penggemar fanatik” usai menerima banyak kritikan. Padahal para penggemar drama Korea A Business Proposal awalnya hanya mengkritik pemilihan cast yang tidak cocok dengan drama Korea atau Webtoon aslinya.
Meskipun pada tanggal 3 Februari kemarin rumah produksi dan sang aktor sudah membuat surat permintaan maaf melalui akun Instagram mereka @falconpictures_ dan @abidzar73, tetapi hal itu justru membuat para penggemar geram dan makin mantap untuk melakukan cancel culture. Pasalnya pada surat permintaan maaf yang dikeluarkan dua pihak tersebut tidak terlihat tulus dan malah membuat agar para penggemar merasa simpati dan membatalkan aksi cancel culture yang sudah direncanakan.
Akibatnya pada hari pertama penayangan, film ini hanya mampu menggapai 10.035 penonton dari total 1.270 showtimes, data ini diperoleh dari Cinepoint di akun X. Jika melihat seberapa besar penonton dari drama Koreanya, seharusnya film ini berpotensi untuk menjadi viral seperti beberapa film remake karya Falcon yang lain.
Namun, perilaku Abidzar yang terlihat sombong membuat penggemar drama Korea marah dan melakukan cancel culture. Lalu, apa itu cancel culture?
Cancel culture adalah perilaku memboikot seseorang yang dianggap bermasalah bagi banyak orang, misalnya saat orang tersebut melakukan tindakan yang salah atau melakukan hal yang menyinggung.
Budaya ini diterapkan guna memberikan efek jera pada para publik figur yang melakukan tindakan buruk. Fenomena ini biasanya terjadi di platform digital dimana netizen memberikan kritik dan menyuarakan isu yang terjadi untuk meminta pertanggungjawaban dari tokoh terkait.
Cancel Culture di Korea Selatan
Korea Selatan adalah salah satu negara yang sangat gemar menerapkan cancel culture. Netizen Korea Selatan dikenal akan kritik dan ketikan mereka yang kejam, sehingga membuat para selebriti di sana sangat waspada akan tindakan mereka demi menyelamatkan karirnya.
Masyarakat Korea Selatan menganggap selebriti sebagai sosok yang harus menjunjung nilai moral dan menjadi contoh bagi masyarakat. Hal inilah yang membuat selebriti disana memiliki tekanan yang sangat besar dari berbagai pihak. Industri hiburan di Korea Selatan dikontrol sepenuhnya oleh masyarakat disana, oleh karena itu fenomena cancel culture ini adalah hal yang sering terjadi.
Di Korea Selatan, isu yang bisa memicu terjadinya cancel culture ini antara lain adalah kasus kekerasan seksual, tindakan tidak sopan, bullying, hingga sejarah yang berkaitan dengan Korea Selatan.
Dampak cancel culture sangat fatal bagi mereka. Selebriti yang terkena budaya ini biasanya akan kehilangan banyak sponsor dan pekerjaan, mereka bisa kehilangan peran dalam proyek mereka, berkurangnya pengikut, bahkan diboikot. Belum lagi kritikan dari netizen Korea Selatan yang dikenal kejam dan ganas.
Contoh selebriti yang terkena fenomena ini adalah aktor Kim Jisoo yang pada tahun 2021 terkena skandal bullying terhadap teman sekolahnya. Contoh lainnya adalah Seungri BIGBANG dengan skandal seks, korupsi, dan obat-obatan pada tahun 2019. Kasus itu dikenal dengan sebutan Burning Sun dan sangat menghebohkan Korea Selatan. Setelah skandal tersebut, Seungri kemudian mundur dari dunia hiburan.
Cancel culture tak hanya diterapkan pada selebriti saja. Namun, bisa juga terjadi pada karya seni, drama, atau musik. Drama Joseon Exorcist misalnya, terpaksa berhenti tayang dan kehilangan sponsor usai dianggap melakukan distorsi sejarah yang membuat penonton Korea dan China marah.
Industri Hiburan Indonesia mencari Sensasi
Di Indonesia memang sudah ada penerapan dari budaya ini. Namun, sayangnya Indonesia masih belum bisa menerapkan budaya ini sepenuhnya. Banyak artis atau selebgram yang semakin mereka berbuat buruk, maka semakin viral dan diundang dalam berbagai acara di stasiun TV. Hal ini membuktikan bahwa di Indonesia masih mencari untung yang besar terlepas dari artis tersebut bersikap melanggar moral atau tidak. Cancel culture tidak bisa dilakukan hanya oleh masyarakat saja, tetapi pihak dunia hiburan juga harus menerapkan hal tersebut. Jika pihak Industri tetap memberikan panggung kepada selebriti bermasalah, maka usaha dari masyarakat untuk memboikot selebriti tersebut akan menjadi sia-sia.
Industri hiburan Indonesia hanya mencari sensasi dan keuntungan membuat mereka tak memperhatikan kualitas dari produk yang mereka hasilkan. Akibatnya, banyak masyarakat Indonesia yang memilih untuk mengikuti dunia hiburan luar negeri. Cancel culture adalah salah satu cara agar kualitas industri hiburan Indonesia semakin bagus dan mampu untuk mengambil kembali daya tarik masyarakat yang teralihkan.
Jadi, cancel culture perlu diterapkan sebagai peringatan kepada publik figur agar selalu beretika dan bersikap baik. Cancel culture menjaga agar kualitas publik figur tetap bagus dan dapat memberikan pengaruh baik kepada masyarakat. Fenomena ini juga membuktikan bahwa masyarakat masih menjunjung tinggi nilai moral dan menunjukkan kepedulian terhadap sesama. Bagi publik figur, cancel culture seharusnya dapat dijadikan sebagai cara agar mereka tidak bertindak atau memberikan pengaruh buruk kepada masyarakat yang menjadi konsumen mereka.
Meskipun begitu, cancel culture tetap ada sisi negatifnya. Tak sedikit dari kasus cancel culture yang terjadi disebabkan karena kesalahpahaman atau fitnah yang terlanjur menyebar. Oleh karena itu, sebelum kita menerapkan cancel culture, kita harus terlebih dahulu mencari kebenaran informasi yang ada. Hal ini guna menghindari cancel culture yang berubah menjadi cyberbullying.
Kita harus memberikan kesempatan kepada pihak terkait untuk memperjelas situasi dan tidak secara langsung menghakimi karena ketidaksukaan semata. Kita juga harus menjaga ketikan kita agar masih dalam batas sewajarnya dalam melakukan cancel culture agar tidak berubah menjadi cyberbullying. Karena jika kita salah bertindak, maka karir selebriti tersebut bisa hancur.
Penulis: Arya
Editor: Alena