
Rakyat Indonesia sudah sejak lama terus menerus mengalami pembodohan, penipuan dan pemiskinan, baik secara ekonomi, politik dan pengetahuan. Pada zaman kerajaan-kerajaan, rakyat kecil, khususnya masyarakat petani di Jawa mengalami penghisapan dari para bangsawan dan tuan tanah. Pada masa berikutnya, masyarakat terus menerus ditindas dan diperbudak oleh Kolonialisme dan Imperialisme, rakyat mengalami pembodohan, pemiskinan dan perbudakan yang berlangsung secara sistematis, baik yang dijalankan oleh Belanda maupun Jepang. Hingga akhirnya tiba di era kemerdekaan dengan lahirnya Republik Indonesia, rakyat kita masih saja terus menerus menderita dengan membanjirnya korupsi, hoax, dan kemunafikan yang diproduksi oleh para kapitalis birokrat (baca: Oligarki). Kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat juga terus-menerus dibuat seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Hoax yang diproduksi para elit politik menyebabkan kemerosotan dalam bidang informasi dan kebudayaan; nilai-nilai kebenaran, kebudayaan dan intelektualitas yang sebelumya dijunjung tinggi rakyat semakin suram di era Post-Truth, era yang hadir sebagai akibat dari derasnya digitalisasi media.
Melihat kondisi objektif rakyat Indonesia yang terus menerus mengalami pembohongan publik, degradasi budaya dan pembodohan intelektualitas mendorong Hayamwuruk untuk semakin maju, berani dan percaya diri di hadapan tantangan-tantangan yang menghadang. Sebagai bagian dari golongan terpelajar yang mengenyam bangku pendidikan perguruan tinggi, Hayamwuruk memiliki kewajiban untuk melayani rakyat dengan kebenaran, kebudayaan dan intelektualitas.
Pelayanan terhadap rakyat dengan menyajikan kebenaran memanglah sewajarnya untuk dikerjakan oleh institusi pers, sedangkan pelayanan terhadap rakyat dengan kebudayaan dan intelektualitas adalah amanat dari motto Hayamwuruk yaitu “Refleksi Budaya dan Intelektualitas Mahasiswa” sebuah motto yang telah diwariskan selama 40 tahun lamanya.
Pelayanan yang akan diberikan pada rakyat Indonesia ini tentunya dikerjakan melalui koridor pers dengan menyajikan pemberitaan dan tulisan yang mengandung unsur kebenaran, memajukan kebudayaan dan meningkatkan kecerdasan dengan intelektualitas yang dimiliki oleh para anggota Hayamwuruk.
Hayamwuruk sebagai lembaga pers tentunya memiliki karakter dan jiwanya tersendiri mengenai jurnalisme dan kerja-kerja pers, oleh karena itu dirasa amat penting untuk mewarisi karakter dan jiwa ini kepada generasi Hayamwuruk selanjutnya. Sebagai lembaga pers yang hadir di lingkungan Universitas Diponegoro, maka Hayamwuruk juga memiliki tugas penting sebagai sarana kontrol sosial dalam mengawasi jalannya kehidupan kampus, baik dari sisi akademis maupun birokratis, baik sisi tenaga pengajar, karyawan maupun mahasiswa, guna mencegah terjadinya sikap-sikap koruptif. Namun yang lebih penting, Hayamwuruk adalah alat bersuara bagi mahasiswa, alat mahasiswa untuk mencurahkan pemikiran, pendapat hingga keluh kesahnya mengenai kehidupan di kampus tercinta ini.
Guna mencapai tujuan-tujuan mulia itu, melayani rakyat Indonesia, maka anggota Hayamwuruk sebagai jurnalis haruslah memiliki paradigma yang kritis, demokratis dan progresif.
Pertama, menjadi kritis berarti memiliki kemampuan untuk memahami dan mengurai isu secara tajam, sebagai buah dari pembacaan literatur yang mendalam dan luas. Oleh karena itu, seorang jurnalis Hayamwuruk mesti tekun membaca, gemar berdiskusi, dan senantiasa haus akan kebenaran yang melampaui permukaan.
Kedua, demokratis. Seorang jurnalis Hayamwuruk haruslah dapat bersikap demokratis dan egaliter, dapat menjadi teladan bagi sesama dalam berdiskusi dan mengambil keputusan, demokratis dalam proses, solid dalam tujuan.
Ketiga, progresif, berani menentang yang lama dan salah, berani menghancurkan yang dekaden dan ngawur, melawan kebusukan yang mapan, meruntuhkan kepalsuan yang membelenggu, dan berani membela yang baru dan benar, tidak dogmatis dan tidak kolot. Dengan ketiga sikap inilah, Hayamwuruk terus melangkah sebagai pers mahasiswa yang berakar kuat dan bermata tajam, tetap setia pada rakyat, dan terus menyuarakan yang benar di tengah perubahan zaman.
Ada orang pernah berkata, Hayamwuruk ini sering meromantisasi masa lalunya, maka kami menjawab: sesungguhnya, yang kami rawat bukan sekadar kenangan, melainkan warisan nilai-nilai kebenaran yang telah menjadi ruh dan napas Hayamwuruk sejak awal.
Nilai-nilai itu bukan hiasan sejarah semata, melainkan jati diri yang selama puluhan tahun, terus kami pegang dan hidupi. Nilai-nilai yang masih relevan dan menjadi identitas kami selama puluhan tahun lamanya. Bagaimana mungkin identitas, nilai dan sejarah Hayamwuruk yang kaya ini akan dibuang begitu saja? Apakah mereka yang mengatakan itu tidak sadar bahwa itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Hayamwuruk? Sikap seperti ini bukan berarti dogmatis atau kolot, bukan berarti kamu tidak mau move on dari masa lalu. Memegang nilai bukan berarti kolot. Setia pada sejarah bukan berarti enggan bergerak maju. Karena justru dari situlah kekuatan kami bertumbuh: dari akar yang dalam dan prinsip yang tak mudah goyah.
Apakah nilai-nilai yang kami junjung selama ini akan tetap memiliki relevansi di masa depan? Biarlah waktu yang menjawabnya. Namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana generasi Hayamwuruk selanjutnya memahami dan menafsirkan nilai-nilai tersebut sesuai dengan konteks zaman mereka. Selama empat dekade, Hayamwuruk telah menjadi saksi sekaligus pelaku dalam dinamika jurnalisme kampus. Ia telah merasakan pahit-manisnya dunia pers mahasiswa dan menyusuri berbagai fase perjalanan Undip.
Di usianya yang tak lagi muda, kami berharap Hayamwuruk semakin teguh dan konsisten dalam menjaga arah ideologisnya. Siapa pun yang tumbuh dari rahim Hayamwuruk adalah anak dari zamannya—ia dibentuk oleh konteks sosial dan historis tempat ia dilahirkan. Ia dilahirkan oleh zaman itu sendiri.
Selamat ulang tahun Hawe!
Penulis: Muhamad Farhan Prabulaksono (Pimpinan Redaksi LPM Hayamwuruk 2024)