Kebijakan Cantrang yang Dilematis

Dok. Hayamwuruk

Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK)
Universitas Diponegoro (Undip) mengadakan talkshow
hari kedua bertema “Problematika Cantrang dan Impor Garam di Negara Maritim”
yang berfokus pada problematika cantrang di Indonesia. Acara diadakan pada
Sabtu (3/3/18) bertempat di Gedung Auditorium FPIK.


Meningkat
d
ibanding hari pertama, acara
ini dihadiri oleh sekitar 500 peserta dengan

menghadirkan pembicara
 Sudirman Said (tokoh masyarakat), Suradi Wijaya Saputra (akademisi
FPIK Undip), Riyono (Perwakilan aliansi nelayan Indonesia), dan Heddy Kusyono
(perwakilan Balai Besar Penangkapan Ikan). Sedangkan Ganjar Pranowo (tokoh
masyarakat), berhalangan hadir

karena suatu alasan.

Agus Sabdono, Dekan FPIK Undip, mengatakan bahwa acara
ini dapat dijadikan sarana untuk menyerap formula atau rumusan-rumusan
kebijakan dari mahasiswa. Sehingga kebijakan tidak hanya berasal dari pusat. Ia
juga mengatakan bahwa problematika cantrang menjadi hal yang penting untuk
diperbicangkan karena presiden pun sampai turun tangan untuk mengevaluasi
kebijakan mengenai cantrang ini.

Menurut Riyono, perwakilan aliansi nelayan Indonesia, mengungkapkan
kebijakan mengenai pelarangan cantrang merupakan suatu bentuk penindasan kepada
para nelayan. “Orang mau menilai apa terserah, tapi bagi kami, bagi kawan-kawan
cantrang, kebijakan yang diberikan oleh Bu Susi ini adalah merupakan bentuk
penindasan kepada kawan-kawan nelayan kepada kawan-kawan cantrang,” ujarnya.

Lebih lanjut, Riyono  mengatakan bahwa pelarangan cantrang menambah
tingkat kemiskinan, terutama di Jawa Tengah. “Melarang cantrang, menambah orang
miskin di Jawa Tengah. BPS (Badan Pusat Statistik) 2017 di Jawa tengah
mengatakan orang miskin di Jawa Tengah mencapai 4,2 juta. Warga yang terkena
dampak cantrang 250 ribu. Maka orang Jawa Tengah yang bertambah miskin
seperempat juta orang,” ucapnya.

Sudirman
Said, tokoh masyarakat, menyarankan bahwa kebijakan tentang cantrang, yang
telah menjadi isu sosial politik yang rumit, harus dibarengi dengan aturan
pelaksana, “Kebijakan tingkat tinggi itu harus dibarengi dengan aturan
pelaksana.”

Hal berbeda dikatakan Heddy
Kusyono, perwakilan Balai Besar Penangkapan Ikan, mengungkapkan bahwa tujuan dari
pembangunan perikanan adalah ekosistem yang sehat dan memakmurkan rakyat. Oleh
karena itu, menurutnya alat tangkap yang kita gunakan harus diperhatikan.

Senada dengan Heddy, Suradi, akademisi FPIK Undip, pun
mengatakan bahwa belum ada kesadaran kolektif dari para nelayan untuk melestarikan
ekosistem dan nelayan saat ini cenderung egois dalam mencari ikan karena tidak
mempertimbangkan aspek-aspek kelestarian ekosistem laut. “Belum ada kesadaran
kolektif bahwa kita harus lepas (spesies laut yang bukan menjadi tujuan
tangkapnya), bukan aku harus lepas. Kalau nelayan sudah bisa seperti itu, nanti
kesejahteraan secara bertahap akan membaik,” uc
apnya.



Penulis: Dwi
Editor: Ulil

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top