Dok, Hayamwuruk |
Samuel Rajagukguk, salah satu anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dan sebagai pembicara dalam acara NONSTOP (Nonton Sama Antrop) yang digelar di ruangan Teater gedung Fakultas Ilmu Budaya Undip oleh Keluarga Mahasiswa Antropologi (Kawan), mempertanyakan tentang relevansi cita-cita bangsa, yang kemudian diwujudkan dalam proyek-proyek pembangunan, dengan cita-cita masyarakat. Pertanyaan ini direfleksikan dari film The Mahuzes yang menjadi objek diskusi pada acara yang diadakan pada Jumat (31/08/2018) ini.
The Mahuzes film garapan Dandhy Laksono dan kawan-kawan yang biasa disebut Ekspedisi Indonesia biru ini mengangkat tentang konflik masyarakat Merauke, salah satunya suku Malind, yang mengalami perampasan lahan adat oleh pemerintah. Lahan-lahan tersebut diperuntukkan guna mewujudkan mega proyek Merauke Integrated Food and Energy (MIFEE) 1,2 juta hektar lahan pertanian yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo.
Selain geram karena peramampasan lahan, masyarakat juga sangat tidak setuju dengan program pemerintah mengenai mega proyek MIFEE lahan pertanian tersebut. Selain tidak cocok dengan iklim Indonesia timur, hal ini bertentangan dengan kebiasaan masyarakat timur yang menggunakan sagu sebagai makanan pokok.
Samuel mengatakan bahwa dalam film ini Suku Malind (tokoh utama dalam film The Mahuzes yang mengalami penindasan lahan) mencoba mendobrak nilai-nilai masyarakat (terutama masyarakat adat) yang seringkali dilupakan oleh pemerintah dalam mengadakan pembangunan.
Samuel pun mengutip ujaran salah satu aktivis lingkungan di dalam film tersebut yang mengatakan bahwa badan pangan dunia, United Nations Food and Agriculture Organizations (UN FAO) telah memperingatkan masyarakat adat bahwa pada tahun 2020 akan terjadi krisis pangan, dan masyarakat adat diminta menjaga kelestarian makanan-makanan khas-nya. Menurut Samuel, hal ini tentu bertentangan dengan mega proyek MIFEE yang dicanangkan pemerintah tersebut.
“Krisis pangan ini nantinya akan menjadi tantangan dunia, apakah sebenarnya kita nanti membutuhkan swasembada pangan atau tidak?” imbuh Samuel.
Menurut, Samuel, orang-orang yang telah membudaya tidak bisa ditransformasikan dengan sangat cepat. Samuel menambahkan seharusnya yang dilakukan adalah bagaimana menciptakan ruang-ruang yang bersifat inklusif. “Inklusif itu bagaimana? Nah, kalau dia makan roti saya gak mungkin suruh dia makan nasi. Kalaupun dia mau makan yang lain ya itu terserah dia. Sama rata sama rasa,” ujar Samuel.
Di akhir, Samuel berpesan bahwa untuk mencapai masyarakat yang kita inginkan bukan sekedar melalui pembangunan biasa. Tapi bagaimana menciptakan pembangunan dengan kebijakan berpengetahuan.
Reporter & penulis: Dwi
Editor: Habib