
Masa lalu memang hanya akan menjadi sejarah kehidupan.
Namun, bagaimana bila sebuah sejarah senantiasa mendebat dan merongrong tentang
hak keadilan setiap tahunnya? Jumat malam itu (29/09), ruang teater Fakultas Ilmu Budaya (FIB) penuh
sesak oleh mahasiswa yang mencoba untuk membangun kembali kisah pemberontakan
PKI melalui perjalanan tokoh Adi Rukun di dalam film, Senyap. Mereka berdiskusi tentang bagaimana seharusnya
menyikapi peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965.
Namun, bagaimana bila sebuah sejarah senantiasa mendebat dan merongrong tentang
hak keadilan setiap tahunnya? Jumat malam itu (29/09), ruang teater Fakultas Ilmu Budaya (FIB) penuh
sesak oleh mahasiswa yang mencoba untuk membangun kembali kisah pemberontakan
PKI melalui perjalanan tokoh Adi Rukun di dalam film, Senyap. Mereka berdiskusi tentang bagaimana seharusnya
menyikapi peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965.
Adi Rukun merupakan adik Ramli, seorang laki-laki korban
kekejaman propaganda pemerintah pada waktu itu. Ramli
dibunuh tanpa diadili karena dianggap sebagai antek-antek PKI. Meskipun begitu, di dalam film ini Adi tidak
berusaha untuk balas dendam. Sebaliknya, ia mencoba untuk berdamai dengan masa lalu. Ia
berusaha menguak sejarah peristiwa pembunuhan tersebut. Meski ibunya selalu bercerita tentang
kebenciannya terhadap oknum-oknum yang telah membunuh kakaknya.
kekejaman propaganda pemerintah pada waktu itu. Ramli
dibunuh tanpa diadili karena dianggap sebagai antek-antek PKI. Meskipun begitu, di dalam film ini Adi tidak
berusaha untuk balas dendam. Sebaliknya, ia mencoba untuk berdamai dengan masa lalu. Ia
berusaha menguak sejarah peristiwa pembunuhan tersebut. Meski ibunya selalu bercerita tentang
kebenciannya terhadap oknum-oknum yang telah membunuh kakaknya.
“Sebagaimana dikatakan oleh John Rossa, peristiwa seputar
malam 30 September hingga 1 Oktober agaknya akan sulit untuk diungkap secara
penuh. Namun, yang jelas luput dari perhatian
adalah apa yang terjadi setelahnya, yang agaknya jauh lebih mengerikan,”ujar
Bowo sapaan akrab -Ryan Adhivira Prabowo-, Peneliti Sejarah 1965.
malam 30 September hingga 1 Oktober agaknya akan sulit untuk diungkap secara
penuh. Namun, yang jelas luput dari perhatian
adalah apa yang terjadi setelahnya, yang agaknya jauh lebih mengerikan,”ujar
Bowo sapaan akrab -Ryan Adhivira Prabowo-, Peneliti Sejarah 1965.
“Aku nemoni
wong-wong sing mbunuh Ramli (aku menemui orang-orang yang membunuh Ramli). Nggo ngopo? Menengke wae lah. Mengko koe
malah dibunuh podo Ramli. Ngesuk nek
lunga nggawa piso lipet. Nggo nusuk gulune ben langsung mati. (Buat apa?
Biarkan saja lah. Nanti malah kamu yang dibunuh seperti Ramli. Besok kalau
pergi bawa pisau lipat. Buat nusuk lehernya biar langsung mati),” ucap Bowo menirukan
dialog di film tersebut.
wong-wong sing mbunuh Ramli (aku menemui orang-orang yang membunuh Ramli). Nggo ngopo? Menengke wae lah. Mengko koe
malah dibunuh podo Ramli. Ngesuk nek
lunga nggawa piso lipet. Nggo nusuk gulune ben langsung mati. (Buat apa?
Biarkan saja lah. Nanti malah kamu yang dibunuh seperti Ramli. Besok kalau
pergi bawa pisau lipat. Buat nusuk lehernya biar langsung mati),” ucap Bowo menirukan
dialog di film tersebut.
Bowo menambahkan dampak kejadian tersebut selain menimbulkan ‘sensor’ yang nyata dari negara
terhadap antek-antek PKI dan keluarganya, juga menimbulkan ‘sensor’ dari diri
pribadi mereka (keluarga korban pembunuhan- red.), terhadap kelompok orang yang dirasa telah menjadi
pembunuh di antara mereka.
terhadap antek-antek PKI dan keluarganya, juga menimbulkan ‘sensor’ dari diri
pribadi mereka (keluarga korban pembunuhan- red.), terhadap kelompok orang yang dirasa telah menjadi
pembunuh di antara mereka.
Sementara itu Tsabit Azinar Ahmad, Dosen Sejarah Unnes dan Penulis Sejarah Kontroversial di Indonesia Perspektif Pendidikan mengatakan dalam film ini, sosok Adi seolah-olah mengajak kita untuk berhenti saling
membenci.
membenci.
“Ketika dia menemui para pembantai kakaknya ini, yang
menarik adalah mereka berbicara. Namun, ketika Adi menunjukkan identitasnya bahwa dia
adalah adik dari orang yang telah mereka bunuh, mereka langsung terdiam. Nah
itulah maksud dari judul film ‘Senyap’ tersebut. Sebenarnya dia berhak untuk
menuntut, tapi menurutnya ngapain
juga kebencian-kebencian itu ada dan diwariskan,”. ujar Tsabit.
menarik adalah mereka berbicara. Namun, ketika Adi menunjukkan identitasnya bahwa dia
adalah adik dari orang yang telah mereka bunuh, mereka langsung terdiam. Nah
itulah maksud dari judul film ‘Senyap’ tersebut. Sebenarnya dia berhak untuk
menuntut, tapi menurutnya ngapain
juga kebencian-kebencian itu ada dan diwariskan,”. ujar Tsabit.
Menurut Tsabit, Adi dapat menjadi contoh bagi kita semua, bahwa inilah yang menjadi semangat rekonsiliasi.
“Apa yang kita lakukan pada malam hari ini bukan untuk
membela komunis. Kita diskusi tentang masalah ’65, kita diskusi tentang
pelurusan sejarah, kita nonton film Senyap, kita bukan membela PKI. Tetapi yang
kita bela adalah akal sehat kita sendiri, dengan menonton film itu,
apakah kita terbuka pemikirannya. Tentang bagaimana
sejarah itu dilihat saat ini,” kata Tsabit.
membela komunis. Kita diskusi tentang masalah ’65, kita diskusi tentang
pelurusan sejarah, kita nonton film Senyap, kita bukan membela PKI. Tetapi yang
kita bela adalah akal sehat kita sendiri, dengan menonton film itu,
apakah kita terbuka pemikirannya. Tentang bagaimana
sejarah itu dilihat saat ini,” kata Tsabit.
(HW/Dwi, Qonita)